Pilihan Kamis, 23 Mei 2024 | 18:05

Antara Filantropi Korporat dan Realitas Sosial: Implementasi CSR di Indonesia

Lihat Foto Antara Filantropi Korporat dan Realitas Sosial: Implementasi CSR di Indonesia Ilustrasi Corporate Social Responsibility (CSR). (Foto:Istimewa)

*Oleh: Afni Sari Silaban, Praktisi Keuangan

Salah satu penggagas ide filantropi di korporasi yang terkenal adalah John David Rockefeller. Ia sukses menjadi miliarder pertama di dunia setelah berhasil melakukan praktik monopoli minyak lewat perusahaan Standard Oil Co. Ia mendapatkan kekayaan besar dengan mengeksploitasi dan melakukan kekerasan kepada para pekerja hingga mendapat julukan “orang paling dibenci di Amerika”. 

Setelah mendapatkan banyak kecaman dan kritik, Ia dan jajarannya mulai mendonasikan sebagian hartanya melalui aksi filantropi untuk menghapus citra buruknya. Seorang Titan memoles diri bak dermawan. Kegiatan filantropi tersebut kini lebih dikenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR).

Menurut ISO 26000:2010, cakupan CSR meliputi isu-isu yang berhubungan dengan lingkungan, pengembangan masyarakat, hak asasi manusia, ketenagakerjaan, praktik operasional bisnis yang adil, dan isu konsumen.

Prayudi dalam bukunya Corporate Social Responsibility - Teori & Aplikasi (2021), konsep CSR muncul oleh keputusan manajemen untuk mempertimbangkan perubahan yang terjadi di lingkup korporat akibat meningkatnya tuntutan para pemangku kepentingan dan persaingan bisnis; dan dibutuhkannya dukungan stakeholder oleh korporat. 

Dengan demikian, CSR dianggap sebagai bagian yang terintegrasi dengan dari bisnis bahkan menjadi faktor penentu utama berkembang atau tidaknya suatu korporat.

Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, keberadaan CSR diarahkan untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) yang fokus pada isu kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, lingkungan. 

Oleh karena itu, konsep yang biasa digunakan adalah triple bottom line (People, Planet, Profit). Keseriusan untuk melancarkan implementasi CSR menjadikan Indonesia sebagai negara pertama yang melegitimasi kewajiban melakukan CSR.

Undang-undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mendefinisikan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) sebagai komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. 

Dalam Penjelasan UU tersebut dinyatakan bahwa TJSL bertujuan mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi Perseroan itu sendiri, komunitas setempat, dan masyarakat pada umumnya. 

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. 

CSR bahkan menjadi syarat untuk diterimanya suatu investasi (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Pasal 15 huruf b)

Dengan segala maksud “baik” untuk melakukan aksi filantropi, realitas pelaksanaan CSR di Indonesia dapat dikatakan problematik. 

Sebagai contoh, sebagaimana dilansir oleh Egsa UGM (2022), PT Timah menyelenggarakan program pemberian beasiswa untuk anak sekolah tingkat SMA dan memberikan bantuan dana langsung untuk masyarakat miskin di daerah terkena dampak penambangan. 

Dibanding dengan profit ratusan miliar, beasiswa yang hanya diberikan untuk satu sekolah dengan kuota sedikit menjadi tidak signifikan. Sumbangan dana yang diberikan juga tidak menyelesaikan masalah struktural pengentasan kemiskinan karena PT Timah sendiri menjadi pelaku yang mempekerjakan banyak buruh murah. Lebih parah lagi, munculnya kolong bekas tambang yang mencapai lebih dari 20.000 hektar. 

Kerusakan tersebut belum termasuk kerusakan pada terumbu karang dan hutan mangrove, serta timbulnya korban jiwa akibat kandungan zat logam bekas area pertambangan (Mongabay.co.id). Yang terbaru, kasus dugaan tata niaga dan perizinan yang melibatkan perusahaan yang sama berpotensi merugikan negara hingga 271 T.

Terdapat setidaknya tiga hal mendasar yang perlu mendapat perhatian terkait perlu atau tidaknya pelaksanaan CSR. Pertama, daripada sibuk memperbaiki citra lewat program CSR, Perusahaan seharusnya lebih dulu memastikan terpenuhinya kesejahteraan dan hak pekerja lainnya selaku stakeholder utama perusahaan. Selain itu, perlu adanya jaminan hak pekerja dalam berserikat dan berpartisipasi mengawal arah kebijakan perusahaan. 

Karena sejatinya pekerja bukanlah sumber daya melainkan manusia utuh yang memerlukan pengembangan identitas diri, sebagaimana yang disampaikan Prof. Mochtar Mas’oed dalam pengantar buku Dilema Kapitalisme Perkoncoan. 

Setelah terpenuhinya kewajiban tersebut, barulah Perusahaan bisa menjalankan aksi sosial yang justru harus ditentukan oleh komunitas yang terkena dampak, bukan oleh internal Perusahaan.

Kedua, dalam hal perizinan dan pengawasan investasi, korporasi wajib menyajikan perhitungan potensi biaya ekonomi yang timbul akibat proses bisnis perusahaan, seperti potensi kerusakan lingkungan, yang kemudian dikaji kembali oleh lembaga pemerintahan yang berwenang. 

Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi potensi kerusakan dan juga membandingkan cost-benefit antara potensi pendapatan dengan biaya ekonomi keseluruhan yang ditimbulkan akibat operasional perusahaan terkait.

Ketiga, aksi “bagi-bagi rezeki” tidak menyelesaikan masalah kemiskinan dan ketimpangan sebagaimana yang diharapkan Pemerintah. Diperlukan reformasi kebijakan untuk mengubah fokus dari distribusi pendapatan menjadi distribusi sumber daya. 

Masyarakat banyak perlu diberikan akses terhadap faktor-faktor produksi seperti tanah dan lapangan pekerjaan untuk dapat mengupayakan penghidupan yang layak, atau setidaknya lebih layak. 

Dengan demikian, Pemerintah tidak lagi melanggengkan konglomerasi bisnis di Indonesia sekalipun mereka dianggap royal dalam melakukan filantropi.

Di luar ketiga hal tersebut, yang tak kalah penting adalah tidak menggunakan Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai indikator utama untuk mengukur kualitas perekonomian (Baswir, 1999). 

Sebagai salah satu komponen dalam PDB, konsumsi selalu didorong untuk terus meningkat. Konsumsi yang berlebihan berpotensi memberikan dampak buruk bagi ekologis dan kemanusiaan. Pada akhirnya, semua yang berlebihan itu tidak baik dan tanggung jawab sosial sesungguhnya adalah menjadi manusia yang saling menjaga.[] (Kamis, 23 Mei 2024)

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya