Makassar - Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Sulawesi Selatan menilai pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes MP) menimbulkan masalah baru di tingkat desa.
Ketua Apdesi Sulsel, Sri Rahayu Usmi, menyebut banyak perangkat desa kini mulai memikirkan untuk mundur karena khawatir tersangkut persoalan hukum akibat regulasi yang dinilai tidak berpihak pada desa.
“Banyak pengurus desa yang mau mundur karena aturan yang tidak peduli dengan desa, takut akan masuk ke ranah hukum,” kata Sri Rahayu dalam keterangannya, Senin (27/10/2025).
Ia menuturkan, dalam Inpres tersebut terdapat aturan yang dinilai menggerus kemandirian desa, terutama soal penunjukan PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero) sebagai pelaksana utama sekaligus pengendali dana proyek. Dalam skema itu disebutkan hingga 30 persen Dana Desa menjadi jaminan, sementara pengelolaan teknis berada di tangan pihak luar.
“Sentralisasi ini membuat banyak pihak resah. Dana Desa dijadikan jaminan 30 persen dan dikelola PT Agrinas. Seharusnya yang mengelola adalah Pemerintah Desa. Ketika dana dimasukkan ke rekening desa dan dikelola orang luar tanpa musyawarah desa, maka mestinya itu pelanggaran,” ujarnya.
Apdesi Sulsel juga mengkritik pembangunan fisik koperasi yang dinilai dipaksakan tanpa studi mendalam mengenai potensi ekonomi desa masing-masing.
“Fisik gudang yang mesti dibangun diawali-awal padahal belum ada kajian yang komprehensif akan potensi desa yang bisa menjadi sumber penghasilan Kopdes,” ujar Sri Rahayu.
Ia menekankan, pengembangan Kopdes seharusnya berawal dari peningkatan kapasitas pelaku dan pemberdayaan warga, bukan semata-mata pembangunan infrastruktur.
“Mestinya anggaran untuk Kopdes Merah Putih ini diprioritaskan dalam peningkatan kapasitas SDM yang nantinya akan mengelola koperasi tersebut,” tegasnya.
Apdesi Sulsel juga menolak pelibatan TNI AD dalam pembangunan koperasi karena dinilai tidak selaras dengan prinsip pemberdayaan desa.
“Pelibatan TNI dalam pembangunan ruang usaha koperasi membuat suasana di desa jadi tidak sehat. Desa bukan wilayah operasi militer, tapi ruang partisipasi warga,” ujar Sri Rahayu.
“Yang dibutuhkan desa itu pembinaan, bukan komando,” tegasnya.
Dampak kebijakan Kopdes MP juga disebut mulai menghambat pencairan Dana Desa di beberapa wilayah.
Hal ini karena desa harus menyesuaikan administrasi dengan aturan baru, sehingga program prioritas masyarakat ikut tertunda.
“Banyak desa yang laporan ke kami bahwa pencairan Dana Desa tersendat karena harus menyesuaikan aturan Kopdes Merah Putih. Ini membuat kegiatan pembangunan dan pemberdayaan warga jadi mandek,” ujar Sri Rahayu.
Karena itu, Apdesi Sulsel mengusulkan agar pengoperasian Kopdes MP efektif dijalankan mulai 2026 lantaran sebagian desa sudah terlanjur mencairkan dana sebelum regulasi terbit.
Ia menilai implementasi Inpres saat ini bertentangan dengan arah kebijakan Presiden Prabowo yang ingin menguatkan ekonomi desa.
“Aturannya semua sepertinya sangat berbeda ketika mengupas apa yang menjadi niat baik Prabowo,” tegasnya.
Sri Rahayu mengungkapkan, bahwa Apdesi mendukung niat baik Presiden Prabowo, tetapi berdasarkan informasi yang ia dapatkan baik dari Pemdes, pengurus Kopdes, dan masyarakat, eksekusi Inpres ini di lapangan tidak sejalan dengan semangat presiden.
“Kopdes MP itu sudah berbadan hukum, boleh melaksanakan kegiatan. Mengapa bukan pengurus Kopdes ini yang mengurus? Sangat disayangkan ketika kemudian dalam hal pelaksana tidak sesuai dengan niat baik Pak Prabowo,” lanjutnya.
Sebagai tindak lanjut, Apdesi Sulsel mendesak agar Kementerian Koperasi dan UKM bersama Komisi VI DPR RI menggelar rapat dengar pendapat untuk membahas keresahan desa.
“Apdesi meminta agar seluruh organisasi desa melakukan rapat dengan pendapat antara Kementerian Koperasi dengan Komisi VI terkait keresahan akan Kopdes Merah Putih,” tuturnya.
Apdesi mengingatkan bahwa tanpa pelibatan penuh pemerintah desa dalam perencanaan dan pengelolaan, Inpres 17/2025 berpotensi mengulang kegagalan serupa proyek Koperasi Unit Desa (KUD) di masa lalu.[]