Jakarta - Ketua Majelis Hakim Panel, Aswanto serta Hakim Anggota Suhartoyo, dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh kembali menggelar sidang mendengarkan jawaban termohon KPU Kabupaten Yalimo dan pihak terkait serta laporan pengawasan dari Bawaslu Kabupaten Yalimo, di Mahkamah Konstitusi, Kamis, 17 Februari 2022.
Dalam laporannya Bawaslu Kabupaten Yalimo diwakili oleh Demianus Bayage menanggapi laporan permohonan Lakius Peyon Nahum Mabel.
Bawaslu Yalimo membenarkan bahwa Lakius Peyon dan Nahum Mabel mendapat dukungan dari Partai Bulan Bintang (PBB) dengan surat Keputusan SK.PP/163/PILKADA/2021 dan melakukan pendaftaran pada tanggal 5 Desember 2021.
Namun, Partai PBB membatalkan pendaftaran tersebut pada tanggal 6 Desember 2021 dengan keputusan nomor. SK.PP/164/PILKADA/2021. Di hari yang sama, partai itu mengusung pasangan Nahor New Wek dan Jhon W Wilil dengan Keputusan Nomor. SK.PP/165/PILKADA/2021.
Selanjutnya pasangan Lakius Peyon dan Nahum Mabel telah melaporkan KPU Kabupaten Yalimo atas pelanggaran dalam Pemilihan Suara Ulang yang sedianya dilakukan pada Jumat, 17 Desember 2021, menjadi Rabu 26 Januari 2022.
Hal ini dianggap telah melanggar amar putusan angka 5 tentang 120 hari kerja pelaksanaan PSU Kabupaten Yalimo, bahwa Bawaslu Yalimo menyatakan telah mengeluarkan Surat Pemberitahuan Status Laporan atas laporan pasangan Lakius Peyon dan Nahum Mabel tersebut dengan Nomor Register 04/Reg/LP/PB/Kab/33.21/XII/2021 dan juga telah melakukan klarifikasi kepada ketua dan anggota KPU Yalimo, serta saksi pelapor.
Bahwa terhadap perbuatan KPU Kabupaten Yalimo yang mana PSU dilakukan tidak sesuai amar Putusan Mahkamah Konstitusi angka 5 yang menyebut bahwa KPU Kabupaten Yalimo wajib melaksanakan pemungutan suara ulang dalam waktu 120 hari kerja.
Dapat dikatakan KPU Yalimo telah terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu sebagaimana tertuang dalam pasal 6 ayat (2) huruf (d) dan ayat (3) huruf a, d dan g Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum.
Selain itu juga telah terbukti melakukan pelanggaran Pidana Pemilihan pasal 193A ayat (2) yaitu sesuai ketentuan pasal 14 dapat dikenakan pidana paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 144 bulan dan selanjutnya Bawaslu Kabupaten Yalimo telah meneruskan laporan perkara tersebut ke DKPP dan Pada Sentra Gakumdu.
Dalam menanggapi pertanyaan Ketua Majelis Panel Aswanto tentang laporan Calon Bupati Lakius Peyon Nomor.51/LP/PB/RI/00.00/XII/2021 tanggal 16 Desember 2021, Bawaslu Yalimo menyampaikan bahwa telah ditindak lanjuti dengan nomor Bawaslu Provinsi Papua Surat Nomor.2908/PP.01.00/K1/12/2021 dengan bukti PK4.
Namun saat ditanya terkait laporan tersebut, ternyata Bawaslu Yalimo belum melakukan tindak lanjut.
Dalam tanggapan Termohon KPU Yalimo yang disampaikan oleh Kuasa Hukum Heru Widodo antara lain menyampaikan bahwa keterlambatan pelaksanaan PSU disebabkan keterlambatan penanda tanganan NPHD oleh pemerintah Kabupaten Yalimo , disampaikan bahwa termohon mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi Nomor.102/PL.02/01/2021 pada tanggal 27 Oktober 2021.
Namun, Penasehat Hukum Lakius Peyon dan Nahum Mabel Jonathan menyampaikan bahwa fakta hukum dalam jawaban termohon terhadap perkara 153/PHP.BUP-XIX/2022 pada halaman 10 disebutkan bahwa jelas surat Nomor.102/PL.02/01/2021 tanggal 27 Oktober 2021 adalah bentuk laporan sebagaimana Bukti T-60 dan Bukti T-76 laporan tindak lanjut penandatanganan NPHD tanggal 12 Oktober 2021.
Oleh karena itu, KPU Yalimo, KPU Provinsi, dan KPU Pusat seharusnya mengakui kekeliruan yang dilakukan dengan tidak mengajukan penetapan perpanjangan pelaksanaan pemilihan ulang Pilkada Yalimo dikarenakan diduga KPU sudah bertindak menjadi tim sukses paslon lain malah seakan-akan menyalahkan Makhamah Konstitusi karena tidak menggelar sidang penetapan.
Oleh karena itu lanjut Jonathan apa yang terjadi di Pilkada Kabupaten Yalimo menjadi pengalaman berharga dikemudian hari buat jajaran KPU dan Bawaslu dalam hal melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi di masa mendatang.
Marheini Ria Siombo, salah satu dosen dan pengajar di universitas terkemuka di Jakarta mengatakan bahwa pasal 24 (c ) ayat 1 Undang-undang 1945 menjabarkan kewenangan Mahkamah Konstitusi mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 ,memutuskan pembubaran partai politik; dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan kewenangan lain yang diberikan UU.
Kewenangan lain yang dimaksud ini adalah ketentuan dalam Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 yang berbunyi perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus oleh karena itu asas putusan MK berkekuatan hukum tetap dan bersifat final sebagaimana disebutkan dalam pasal 10 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
"Kata final dan mengikat ini dengan tidak adanya upaya hukum lain terhadap putusan MK tersebut dikarenakan guna untuk memutus ketidakpastian hukum yang berlarut-larut Jika terus ada upaya hukum, maka akan terbentur menjalankan norma, padahal norma itu harus dijalani dan itulah karakteristik putusan MK," kata Marheini Ria Siombo.
Bahwa kewibawaan, lanjutnya, suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan terletak pada kekuatan mengikatnya maka itulah putusan MK merupakan putusan yang tidak hanya mengikat para pihak (inter parties) tetapi juga harus ditaati oleh siapapun (erga omnes).
Asas erga omes tercermin dari ketentuan yang menyatakan bawa putusan MK langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang.
Sehingga dia mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh KPU Yalimo dengan memperpanjang pemilihan ulang melewati batas waktu amar putusan mahkamah konstitusi tanpa melewati sidang penetapan untuk menguji permasalahan yang ada adalah keliru.[]