News Minggu, 01 Mei 2022 | 15:05

Hari Buruh Internasional, YLBHI Desak Pemerintah Batalkan UU Cipta Kerja

Lihat Foto Hari Buruh Internasional, YLBHI Desak Pemerintah Batalkan UU Cipta Kerja Aksi buruh dan mahasiswa menolak Omnibus Law. (Foto: BBC)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Memperingati Hari Buruh Internasional yang jatuh pada 1 Mei 2022, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama 10 LBH di Tanah Air kembali mendesak pemerintah membatalkan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Dalam keterangan persnya, Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur mengatakan, meski UU Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK), namun  UU Cipta Kerja tetap saja menjadi momok menakutkan bagi para buruh. 

Dalam bagian putusan MK Nomor: 91/PUU-XVIII/2020 dinyatakan bahwa untuk menghindari dampak yang lebih besar terhadap pemberlakuan UU 11/2020 selama tenggang waktu dua tahun, MK menyatakan pelaksanaan UU 11/2020 yang berkaitan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu.

Termasuk tidak dibenarkannya membentuk peraturan pelaksana baru serta tidak dibenarkan pula penyelenggara negara melakukan pengambilan kebijakan strategis yang dapat berdampak luas dengan mendasarkan pada norma UU 11/2020 yang secara formal telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat tersebut.

Hal-hal bersifat strategis dimaksud berdasarkan Pasal 4 huruf b UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja meliputi ketenagakerjaan. 

"Oleh karenanya, sudah seharusnya pemerintah tidak melakukan atau tidak membiarkan perusahaan-perusahaan merampas hak-hak buruh dengan menggunakan UU Cipta Kerja," kata Isnur. 

Setidaknya kata dia, berdasarkan data penanganan kasus ketenagakerjaan yang ditangani oleh 10 LBH pasca disahkan UU Cipta Kerja, ada banyak kasus perburuhan yang sebagian besar bersifat massal. 

Seperti terdapat korban buruh mencapai 17.633 jiwa dalam 40 kasus dan lebih dari seribu jiwa di antaranya adalah buruh perempuan. 

Data itu berasal dari 10 provinsi, yaitu Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat Yogyakarta, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, dan Sumatera Utara.

Pihaknya kemudian mencatat dalam kasus ketenagakerjaan, pelaku paling banyak berasal dari perusahaan di bidang jasa, disusul perusahaan manufaktur. 

Pelaku lainnya berasal dari perusahaan perkebunan, pertambangan, transportasi, distributor, konstruksi, pariwisata, bahkan yayasan yang bergerak di bidang pendidikan.

Jika ditelisik lebih jauh, menurut Isnur, permasalahan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kondisi pandemi Covid-19 yang berkelanjutan dan tanpa penanganan yang berperspektif pada kelompok paling terdampak, di antaranya adalah buruh. 

Berbagai kebijakan yang justru dikeluarkan oleh pemerintah selama pandemi Covid-19 justru tidak berpihak kepada buruh. 

Kedua, masih berkaitan dengan faktor pertama, kebijakan yang sangat mencekik buruh adalah kehadiran UU Cipta Kerja. 

Bak diberi jalan bebas hambatan, berbagai pelanggaran yang selama ini dialami oleh buruh dilanggengkan dengan kehadiran UU Cipta Kerja.

Adapun pelanggaran terbanyak yang termasuk di dalam data 10 LBH kantor terkait UU Cipta Kerja adalah praktik pemutusan hubungan kerja yang dilakukan hanya melalui pemberitahuan sepihak tanpa melalui tahapan yang layak. 

Baca juga:

Menkumham Yasonna: Revisi UU Cipta Kerja Tak Perlu Masuk Prolegnas 2022

Hal ini telah terjadi sejak sebelumnya adanya UU Cipta Kerja dan UU ini  kemudian memberi legalisasi terhadap praktik tersebut. 

Setelah pengesahan UU Cipta Kerja, jumlah kasus nampaknya tidak terlalu meningkat namun jumlah korban PHK mengalami peningkatan secara signifikan karena dilakukan secara massal. 

Salah satu masalah mendasar yang mengakibatkan para buruh rentan mengalami PHK, yaitu status para buruh yang masih kontrak dan rendahnya pesangon. 

Di sisi lain, kondisi para buruh hari ini semakin rentan  dengan kebijakan pemerintah yang menaikkan harga kebutuhan pokok. 

Karena tidak sebanding dengan peningkatan upah buruh bahkan sebagian buruh yang mengadu pada LBH menerima upah di bawah UMK. 

Selain PHK, pelanggaran hak-hak buruh juga terjadi berupa pembayaran THR secara bertahap, buruh dirumahkan tanpa upah, pengurangan upah, pengalihan jenis pekerjaan yang bersifat berkelanjutan namun dikerjakan oleh buruh PKWT, kriminalisasi buruh yang bersikap kritis hingga union busting.

"Dari keseluruhan data penanganan kasus tersebut di atas, sesungguhnya UU Cipta Kerja selama dua tahun terakhir ini telah meresahkan para buruh," katanya.

Seturut dengan itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia bersama 10 LBH mendesak pemerintah dan DPR segera membatalkan UU Cipta Kerja beserta peraturan turunannya.

Pemerintah dan DPR untuk menghentikan proses revisi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan karena merupakan upaya melegitimasi inkonstitusionalitas berbagai kebijakan pelanggar HAM, termasuk UU Cipta Kerja.

"Pemerintah untuk tidak lepas tangan dalam menegakkan hukum perburuhan, dengan meningkatkan pengawasan dan pemberian sanksi kepada perusahaan yang melanggar," tandasnya.[]

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya