Jakarta - Kasus sengketa tanah almarhum Tan Mokoginta di Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara, diduga melibatkan mafia hukum dan mafia tanah.
Kasusnya menyeret Kantor Pertanahan, Polres Kota Kotamobagu, dan Sonny R.V Mokoginta dkk, yang dilaporkan menyerobot tanah milik alm. Tan Mokoginta.
Para pihak ini diduga aktif secara bersama-sama membungkam penegakan hukum, sebagaimana disampaikan kuasa hukum alm. Tan Mokoginta, Saddan Sitorus SH CLA.
Saddan sangat menyesalkan tindakan-tindakan tidak terpuji tersebut. Mereka dinilai melegitimasi tumbuhnya mafia tanah dan mafia hukum di tengah masyarakat.
"Ini jelas konspirasi, sudah ketebak, kekuasaan menjadi tameng untuk membungkam para ahli waris untuk mendapatkan haknya," kata Saddan dalam keterangan tertulis, Selasa, 11 April 2023.
Sebenarnya ujar Saddan, dasar bukti-bukti kepemilikan ahli waris Tan Mokoginta sangat akurat dan tercantum detail pada SHM No. 335 Tahun 1981.
Jika pun upaya-upaya hukum diambil, merupakan bentuk perjuangan untuk mendapat keadilan dan kepastian hukum, sekaligus melawan tindakan penyalahgunaan wewenang oleh oknum aparatur negara dan aparat penegak hukum.
Disebutnya, sengketa tanah bermula ketika oknum pengukur dan pejabat Kantor Pertanahan Kota Kotamobagu sejak 2008-2023 tidak transparan melakukan pengukuran dan menerbitkan hasil pengukuran.
Semua hasil pengukuran tidak disertakan sebagai bukti autentik, bahkan atas kecurangan-kecurangan ini sudah dilaporkan ke Polres Kota Kotamobagu sejak 2021.
"Namun, hasilnya masih jauh panggang dari api sehingga terkesan sia-sia," kata dia.
Selain melakukan pengukuran yang salah, Saddan menerangkan, kesalahan oknum pejabat di Kantor Pertanahan Kota Kotamobagu adalah melegitimasi pengukuran ilegal dengan menerbitkan produk hukum yang salah juga.
Di mana terbit pengganti sertipikat hak milik Nomor 99 Tahun 1978, yakni SHM Nomor 99 Tahun 2019 beserta sertipikat turunan dari hasil transaksi jual beli secara ilegal yang dilakukan Sonny R.V Mokoginta pada Tahun 2012.
Akibatnya kemudian mempengaruhi luas tanah Tan Mokoginta, sehingga berubah dan berbeda.
"Tindakan Kantor Pertanahan dalam sengketa ini, melebihi kewenangannya. Menerbitkan sertipikat kepemilikan di atas sertipikat yang bersertipikat, itu cacat administrasi. Akibat melegalkan cara yang salah, dampaknya Tan Mokoginta kehilangan hak atas tanah," tukas Saddan.
Saddan menyikapi dua hal dalam sengketa ini. Pertama, Kantor Pertanahan dan penyidik dan pejabat polres sangat pasif sehingga tidak ada tindakan responsif untuk menindaklanjuti sengketa.
Kedua, sebaliknya institusi tersebut sangat aktif untuk membungkam bahkan mengintimidasi para ahli waris dalam mendapatkan hak-haknya sebagaimana tercantum dalam SHM No. 335 Tahun 2019.
Saddan pun lantas mempertanyakan kredibilitas penyidik yang menghentikan proses pemeriksaan tiga laporan polisi.
BACA JUGA: Diduga Ada Mafia Tanah Bermain di Kantor Pertanahan Kotamobagu Sulut
Laporan polisi nomor 169/IV/2021/SULUT/SPKT/RES KTGU, tertanggal 26 April 2021, laporan polisi nomor LP/B/352/VIII/2021/SULUT/SPKT/RES-KTGU, tertanggal 23 Agustus 2021, dan laporan polisi nomor LP/B/467.a/VIII/2022/Sulut/Res-Ktgu, tertanggal 22 Juli 2022.
Penyidik kata dia, tidak melakukan pertimbangan matang merujuk pada putusan pengadilan Inkrah No. 4, Surat Pengukuran Tahun 2016 membuktikan bahwa benar ukuran tanah milik alm. Tan Mokoginta telah diambil tanpa wewenang oleh Sonny R.V Mokoginta.
Menyadari melakukan kesalahan, Sonny mengakui perbuatannya dengan membuat surat pernyataan Tahun 2016 dan Tahun 2019,.
Terakhir ada penyidik pada laporan polisi nomor LP/B/352/VIII/2021/SULUT/SPKT/RES-KTGU, tertanggal 23 Agustus 2021 telah dinyatakan bersalah dalam sidang kode etik Propam Polri.
Intimidasi dan Represif
Pada 8 Februari 2023 pukul 21:00 WIT, ahli waris atas nama Frangki Mokoginta, Hanny Mokoginta, dan Jendri Mokoginta didatangi ratusan anggota Polres Kota Kotamobagu yang dipimpin Kasat Reskrim AKP Ahmad Anugrah dan Kapolsek Kotamobagu Kompol Luther Kadung.
Lokasi tanah objek sengketa di Kotamobagu, Sulawesi Utara. (Foto: Ist)
Hadir juga secara bersamaan orang-orang yang mengaku sebagai pembeli tanah dari Sonny.
Kedatangan polisi tanpa disertai surat tugas. Mereka tiba-tiba meminta secara paksa untuk menurunkan baliho di lokasi tanpa menjelaskan apa maksud dan tujuan kedatangan.
BACA JUGA: Jokowi: Kalau Masih Ada Mafia Tanah, Gebuk Detik Itu Juga
"Ketika dimintai surat tugas atau surat perintah, tidak satu pun dari polisi yang datang dapat memperlihatkan surat tersebut. Patut kami duga bahwa kedatangan tersebut adalah tindakan represif dan menyebabkan para ahli waris merasa terintimidasi dan ketakutan," beber Saddan.
Kedatangan polisi menemui para ahli waris terjadi secara terus menerus. Dimulai dari pagi hari sampai malam hari, terhitung dari 8-10 Februari 2023.
Saddan mengingatkan, tidak akan berhenti memperjuangkan hak-hak kliennya. Dia berkeyakinan masih ada keadilan.
"Tidak selamanya pisau yang tajam itu bisa memenggal kepala orang tidak bersalah, dan sebaliknya pisau yang dianggap tumpul bisa membedah isi kepala seseorang. Adagium ini yang menguatkan kami. Keadilan itu masih ada," tandasnya.
Untuk para oknum yang bermain-main dalam sengketa ini, menurutnya telah secara terbuka melawan kebijakan Presiden Jokowi yang punya prinsip melawan mafia tanah.
"Orang yang mengerti hukum dan mentaatinya adalah orang yang mengerti peradaban, dan bagi melanggar adalah orang-orang biadab, tinggal menunggu waktu apakah negara ini kalah dengan mafia hukum dan tanah," tegasnya.
Dia berharap Kepala Kantor Pertanahan dan Kapolres Kota Kotamobagu dievaluasi, sebagai tindakan konkrit proses upaya hukum yang sudah dilaporkan ke masing-masing instansi. []