Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati menyampaikan catatannya kepada Badan Pusat Statistik (BPS) saat membahas pendataan awal Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) dan perubahan undang-undang tentang statistik.
Hal itu disampaikan Anis saat Komisi XI DPR RI menghadiri rapat bersama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) di Jakarta, Senin, 3 Oktober 2022.
Regsosek merupakan pemutakhiran data yang terintegrasi, pemetaan penerima manfaat yang terpusat.
Dalam rapat itu, dia berharap data Regsosek mampu mewujudkan pemetaan yang terpusat untuk membangun satu pusat rujukan program perlindungan sosial dan pemberdayaan masyarakat.
Sehingga, lanjutnya, penyaluran program memenuhi prinsip tepat sasaran, tepat waktu, tepat jumlah, tepat harga, tepat kualitas, dan tepat administrasi.
Anis mengatakan, saat ini masyarakat yang mengalami kesulitan tidak hanya terjadi di daerah-daerah saja.
Menurut dia, masyarakat yang ada di kota-kota besar seperti Jakarta juga turut merasakan hal serupa.
"Kemiskinan sudah tampak secara kasat mata di lapangan," kata Anis seperti mengutip keterangan tertulisnya, Kamis, 6 Oktober 2022.
Berdasarkan data BPS, sambungnya, salah satu pemicu kenaikan harga-harga di pasaran adalah kenaikan harga BBM.
Ia berpandangan, tingginya inflasi sangat terasa di kalangan masyarakat seiring dengan melonjaknya harga-harga bahan pokok.
Selain itu, Anis juga mengingatkan bahwa dalam laporan `East Asia and The Pacific Economic Update October 2022`, Bank Dunia (World Bank) mengubah batas garis kemiskinan, dengan mengacu pada keseimbangan kemampuan berbelanja pada tahun 2017.
Sementara, basis perhitungan yang dipergunakan Bank Dunia sebelumnya adalah keseimbangan kemampuan berbelanja pada tahun 2011.
Dalam basis perhitungan terbaru ini, Bank Dunia menaikkan garis kemiskinan ekstrem dari US$1,9 menjadi US$2,15 per kapita per hari.
Dengan asumsi kurs Rp 15.216 per dolar AS, maka garis kemiskinan ekstrem Bank Dunia adalah Rp 32.812 per kapita per hari atau Rp 984.360 per kapita per bulan.
"Jika menggunakan standar Bank Dunia, secara otomatis jumlah penduduk miskin di Indonesia bertambah 13 juta orang," ujar Wakil ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini.
Namun, Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan itu pun menjelaskan bahwa Indonesia tidak serta merta harus mengacu kepada standar Bank Dunia.
Hal ini karena BPS telah memiliki standar tersendiri dalam mengukur garis kemiskinan yaitu dengan mengartikan garis kemiskinan sebagai cerminan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan maupun non-makanan.
Garis kemiskinan terdiri dari garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non-makanan (GKNM). Pada Maret 2022 Garis kemiskinan yang digunakan BPS tercatat Rp 505.469,00 per kapita per bulan, dengan komposisi GKM sebesar Rp 374.455,00 (74,08 persen) dan GKNM sebesar Rp 131.014,00 (25,92 persen.
Terkait dengan garis kemiskinan yang ditentukan oleh BPS, Anis menekankan agar indikator yang digunakan dalam pemetaan hendaknya dirumuskan lebih tajam lagi.
Lantas, ia mempertanyakan angka Rp 505.469,00 per kapita per bulan sebagai batas garis kemiskinan yang dipakai oleh BPS.
"Kita perlu meninjau Kembali apakah angka tersebut masih relevan dengan situasi saat ini di mana masyarakat masih terdampak oleh pandemi ditambah dengan inflasi yang sangat tinggi," tuturnya.
"Mengamati kondisi lapangan, angka Rp 505.469,00 per kapita per bulan ini sangat jauh dari memenuhi kebutuhan pokok," kata dia menambahkan.
Oleh karena itu, Anis turut menegaskan sangat penting untuk membuat indikator yang tepat terkait garis kemiskinan.
"Kejelasan indikator yang dipakai akan berpengaruh pada regsosek yang akan dilakukan demi tercapainya prinsip tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga, tepat kualitas, dan tepat administrasi. Jangan sampai secara riil di lapangan seseorang mengalami kemiskinan akan tetapi regsosek tidak memasukkannya menjadi masyarakat miskin," ucap Anis.[]