Jakarta — Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher, menggagas arah baru kebijakan kependudukan nasional melalui pendekatan Family Enabling Policy.
Paradigma ini menempatkan keluarga sebagai pusat kesejahteraan sosial dan pembangunan manusia. Gagasan tersebut disampaikan dalam forum yang diselenggarakan oleh United Nations Population Fund (UNFPA) di Jakarta, Selasa, 21 Oktober 2025.
UNFPA dikenal sebagai lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berfokus pada isu kependudukan, kesehatan reproduksi, dan kesetaraan gender di tingkat global.
Dalam paparannya, Netty menekankan bahwa isu Keluarga Berencana (KB) harus dipahami secara menyeluruh, bukan sekadar pengendalian kelahiran, melainkan bagian dari sistem kesejahteraan sosial berbasis hak reproduksi.
“Isu KB bukan sekadar pengaturan kelahiran, tetapi tentang bagaimana negara memastikan setiap keluarga memiliki kemampuan dan daya dukung untuk hidup bermartabat,” ujar Netty.
Ia menyoroti fenomena meningkatnya pasangan muda yang menikah tanpa perencanaan matang dan tanpa kesiapan ekonomi maupun psikologis. Kondisi itu, menurutnya, berdampak langsung pada kualitas pengasuhan, tumbuh kembang anak, dan ketahanan keluarga.
“Banyak pasangan yang masuk ke fase pernikahan tanpa bekal keterampilan mengasuh dan merawat anak. Ini berdampak pada ketahanan keluarga secara keseluruhan,” katanya.
Netty menegaskan, kebijakan kependudukan ideal harus bersifat enabling—menciptakan kondisi yang mendukung tumbuhnya keluarga berdaya, sejahtera, dan setara.
Ia juga menyoroti pentingnya reproductive agency, yakni kemampuan individu, terutama perempuan, untuk mengambil keputusan reproduktif secara sadar dan terlindungi oleh sistem sosial yang adil.
“Kita memerlukan kebijakan yang memberdayakan keluarga agar mampu menjadi aktor utama pembangunan kesejahteraan.
Pendekatan ini memerlukan sinergi lintas sektor—dari kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, hingga perlindungan sosial—semuanya harus berpihak pada keluarga,” jelas politisi PKS itu.
Secara akademik, Family Enabling Policy berorientasi pada pemberdayaan keluarga melalui penciptaan lingkungan struktural yang kondusif.
Pendekatan ini mengintegrasikan kebijakan kesehatan reproduksi, perlindungan pekerja perempuan, insentif bagi keluarga muda, serta penguatan ekonomi perawatan (care economy) yang menghargai kerja domestik sebagai bagian dari produktivitas nasional.
Dalam konteks Indonesia, gagasan ini relevan untuk menjembatani ketegangan antara nilai-nilai konservatif, hak reproduksi, dan kebutuhan pembangunan manusia berkelanjutan.
Nilai yang terkandung dalam Q.S. An-Nisa:9, kata Netty, menjadi pengingat agar negara tidak meninggalkan generasi yang lemah, melainkan memastikan setiap keluarga memiliki ketahanan dan kemampuan membesarkan anak-anak yang sehat dan berkualitas.
Melalui forum UNFPA ini, Netty menyerukan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, BKKBN, lembaga internasional, dan masyarakat sipil dalam membangun sistem kebijakan kependudukan yang adaptif dan berkeadilan.
“Indonesia harus keluar dari paradigma kuantitas menuju kualitas. Pembangunan nasional harus berangkat dari keluarga sebagai unit terkecil, tetapi paling strategis dalam membentuk kualitas manusia Indonesia,” tegasnya.
Forum tersebut menjadi ruang refleksi strategis atas fenomena penurunan tingkat fertilitas (low fertility) di Indonesia yang berdampak pada dinamika demografi dan pembangunan manusia.
Acara ini dihadiri oleh perwakilan UNFPA Hassan Mohtashami dan Verania Andria, Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Wihaji, Pimpinan Komisi IX DPR RI Putih Sari, serta sejumlah akademisi dan aktivis seperti Prof. Sri Moertiningsih Adioetomo, Mari Elka Pangestu, Lies Marcoes, Kepala Lembaga Demografi FEB UI I Dewa Gede Karma Wisana, Ph.D., dan Bianti Djiwandono.[]