News Rabu, 21 Agustus 2024 | 12:08

Pakar Soal Putusan MK: Ruang Demokrasi Terbangun Lagi Setelah Isu Kotak Kosong

Lihat Foto Pakar Soal Putusan MK: Ruang Demokrasi Terbangun Lagi Setelah Isu Kotak Kosong Petugas keamanan melintas di depan Gedung Mahkamah Konstitusi. (Foto:ANTARA)

Jakarta - Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah alias Castro angkat bicara menyoal putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) terkait persyaratan pencalonan kepala daerah.

Dia mengungkapkan, dua putusan terbaru MK tersebut memberikan angin segar bagi demokrasi elektoral di Indonesia. Sebab, lanjutnya, ada pihak yang sengaja ingin mendesain Pilkada melawan kotak kosong.

Putusan yang dimaksud adalah Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah, serta Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai syarat usia calon kepala daerah yang diambil saat penetapan oleh KPU.

"Ini adalah putusan yang progresif, terobosan yang memberikan angin segar bagi demokrasi elektoral. Terlebih proses pencalonan yang selama ini disandera oleh kelompok oligarki dengan mendesain kotak kosong," Castro seperti dikutip, Rabu, 21 Agustus 2024.

Dia berpendapat, publik harus mengapresiasi putusan yang dilakukan MK karena esensi tersebut melawan kartel politik. Ia pun menegaskan bahwa putusan MK itu bersifat final dan mengikat.

Oleh sebab itu, sambungnya, sehingga tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan. Ia menjelaskan, jika ada pihak-pihak yang mencoba mengubah putusan tersebut, hal itu adalah upaya pembangkangan terhadap hukum.

"Kalau pembentuk Undang-Undang (DPR dan pemerintah) mengubah regulasi tanpa berpatokan pada putusan MK ini, jelas itu serupa dengan pembangkangan hukum. Ini jelas berbahaya bagi demokrasi kita," ujarnya.

Ia juga menjelaskan terkait Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah dari 20 persen menjadi 7,5 persen.

Kata Castro, perubahan ini diambil dari persebaran jumlah suara. Lantas, dia mencontohkan perolehan suara di DKI Jakarta. Di situ, PDIP yang hanya memiliki 15 kursi di DPRD tidak mencapai ambang batas 20 persen.

Namun, dengan putusan MK, persebaran suara PDIP yang mencapai sekitar 800 ribu suara dapat mengajukan calon.

"Kalau jumlah pemilih tetap di Jakarta adalah 6 sampai 12 juta, menurut putusan MK hanya mensyaratkan 7,5 persen. Artinya, kendati PDIP tidak memenuhi threshold 20 persen di DPRD, persentase suaranya mencukupi sesuai putusan MK," tuturnya.

Selain itu, dia menyebut putusan ini otomatis memberikan ruang bagi demokrasi untuk terbangun kembali setelah menyeruaknya isu kotak kosong.

"Ini perkembangan yang bagus, ada semacam progres dari MK yang memberikan ruang untuk demokrasi agar terbangun lagi setelah isu kotak kosong. Saya rasa ini hal paling signifikan yang memberikan dampak positif bagi demokrasi kita," katanya.

Lebih lanjut, dia juga menganggap Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai syarat usia calon kepala daerah ini sangat penting.

Castro bilang, dalam pertimbangannya MK tidak menyebutkan kapan putusan ini diberlakukan. Lantas, ia membandingkan dengan putusan MK sebelumnya yang berkaitan dengan syarat umur capres dan cawapres yang berlaku pada saat Pilpres kemarin.

"Beda misalnya dengan putusan MK yang berkaitan dengan parliamentary threshold yang ditegaskan akan berlaku pada 2029. Sementara putusan yang ini tidak menyebutkan apakah berlaku 2029 atau tidak, yang artinya, seharusnya berlaku untuk Pilkada 2024," ujarnya.

Putusan-putusan ini, tegasnya, dapat dijadikan landasan bagi pembentukan undang-undang yang lebih demokratis dan adil.

"Kita berharap bahwa putusan MK ini dapat menjadi landasan bagi pembentukan Undang-Undang yang lebih demokratis dan adil, serta menghindari praktik-praktik oligarki yang merugikan demokrasi kita," ucap Castro.[]

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya