Pilihan Selasa, 02 Agustus 2022 | 12:08

Pluralisme sebagai Rahim Manusia Maluku Utara

Lihat Foto Pluralisme sebagai Rahim Manusia Maluku Utara Dosen Universitas Halmahera Maluku Utara, Melky Molle. (Foto:Istimewa)

Oleh: Melky Molle (Dosen Universitas Halmahera Maluku Utara">Maluku Utara)

Sesuai semboyan para pendahulu kita " Mari Moi Ngone Foturu, Ho Mari Moi Ua Ngone Foruru ". Semboyan ini memang tidak dapat direspons biasa saja sebagai penegasan menyambut tahun politik dan bulan, di mana proses penyelenggara Pemilihan Umum (Bawaslu Provinsi Maluku Utara) sudah hampir rampung. 

Di mana seleksi berkas, tes psiko, kompetensi, dan wawancara menjadi poin penting. Mari Moi Ngone Foturu haruslah menjadi semangat kompetitor Bawaslu.

Semboyan ini tentu sangat menguatkan manusia Maluku Utara dikala harapan para kompetitor Bawaslu Maluku Utara haruslah menjadi pertimbangan pluralitas masyarakat menjadi representatif perwujudan Demokrasi Pancasila di Maluku Utara. 

Karena itu, demokrasi haruslah diwujudkan pada nilai-nilai ke-Indonesia-an kita, termasuk nilai pluralitas. 

Prinsipnya adalah Sila ke 4 Pancasila yaitu, 1. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat. 2. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. 3. Mengutamakan budaya musyawarah dalam mengambil keputusan bersama. 4. Bermusyawarah sampai mencapai kata mufakat diliputi semangat profesionalisme, dan didukung oleh prinsip kekeluargaan. ( Pancasila Rumah bersama).

Memang sila ke 4 Pancasila seharusnya termanifestasikan dalam sikap pada setiap momen perekrutan Bawaslu Maluku Utara (pendaftar).

Karena itu apa yang di pikirkan Foucault terkait Reproduksi sosial adalah nyata melahirkan generasi yang sama, Jika secara empirikal fakta pluralistik manusia Maluku Utara tidak jadi prioritas pertimbangan keputusan. 

Jika fakta pluralis diabaikan maka Foucault mengatakan " Orang bebal melahirkan orang bebal". Karakter yang sama ini teradopsi dengan sendirinya oleh generasi baru terhadap yang tua. Kita butuh kontemplasi, sehingga abrasi moral mengikis perilaku kekosongan jiwa, tindakan pun tidak bermakna, demokrasi tanpa makna.

Agama apa pun di Maluku Utara berkewajiban memberi makna demokrasi sesuai amanat kitab sucinya, yang berdiri tegak pada keterpanggilan Imannya. Sejalan dengan keterpanggilan itu, Amir Sjarifuddin juga pernah menjuastivikasi dan menekankan bahwa Gereja harus berjiwa nasionalis. 

Ketika seorang Pdt. bertanya, " Bolehkah orang Kristen jadi Nasionalis? " Amir menjawab, " Bukannya boleh, melainkan dengan sendirinya. Nasionalisme adalah bagian dari Iman Kristen. " ( Andar Ismail).

Pendiri bangsa seperti Amir, sudah memberi contoh dan menggagas bagaimana agama di Indonesia terpanggil untuk turut serta mengajarkan keindonesiaan dan perjuangannya, sebagai panggilan agama Indonesia. 

Juga seperti diktum Nietzsche, yang mengajarkan bahwa manusia itu adalah sesuatu yang harus dilampaui. Jadi asal menjadi manusia saja tidaklah cukup: manusia harus "benar-benar" menjadi manusia, dan itu bisa terjadi bila ia melampaui kemanusiaannya.

Jadi sikap menghargai pluralitas sebenarnya menjadi hal` penting dan utama, bahwa manusia dalam konteks Maluku Utara adalah manusia yang sadar konteks, konteks pluralitas masyarakat, suku, agama ras dan golongan sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa, dan tidak bisa diabaikan. 

Jika diabaikan maka otoritas Tuhan yang plural itu direduksi hanya karena perbedaan agama, maka fatalistik terkuak.

Secara ideal, bahwa agama-agama dianugerahkan kepada manusia untuk menyampaikan cinta kasih dari Tuhan. Cinta kasih itulah yang mestinya direfleksikan dalam menjalin relasi dengan sesama, bahkan dengan semua ciptaan Tuhan. ( A.A. Yewangoe). Relasi-relasi yang telah terbina, dan teruji, ada sebagaimana ada adalah keterberian Tuhan yang Maha Esa.

Jika sudah terbina, teruji dan terbukti maka fakta ini harus diupayakan dirawat sedemikian rupa sebagai potensi daerah, sebagai wujud eksistensi Maluku Utara, maka konsep keberagaman haruslah menjadi pertimbangan-pertimbangan untuk penyelenggara pemilu (Bawaslu Provinsi) dan lain-lain.

Upaya menjaga dan menggiatkan harmonisnya pluralitas masyarakat Maluku Utara tanpa diskriminasi adalah panggilan kemanusiaan Maluku Utara. Karena itu Maluku Utara harus bebas diskriminasi, bahkan bebas politik peniadaan. 

Mari menjadi garda terdepan untuk demokrasi Maluku Utara, sebagai rahim pluralitas masyarakat. Mari bersatu supaya kita kuat, dengan semboyan Maluku Utara : Mari Moi Ngone Foturu, ho mari Moi Ua Ngone Foruru Salam Nasionalis.[] (Selasa, 2 Agustus 2022)

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya