Pilihan Sabtu, 02 Agustus 2025 | 17:08

Abolisi dan Absolusi: Politik, Iman, dan Rasa Keadilan

Lihat Foto Abolisi dan Absolusi: Politik, Iman, dan Rasa Keadilan Rudolf V Saragih. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

Oleh: Dr Rudolf V Saragih SE Ak CA MH

Mungkin Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan yang saleh, pernah berlutut di ruang pengakuan di depan Pastor. "Mea culpa, mea maxima culpa," (saya berdosa, saya sungguh berdosa)," gumamnya. 

Pastor memberi absolusi—bam!—dosanya diampuni Tuhan. Beberapa waktu kemudian, Presiden Prabowo Subianto bak deus ex machina (tuhan dari mesin, namun dengan niatan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat sebagai hukum tertinggi), memberi abolisi—bam!—vonis 4,5 tahun penjaranya lenyap. Tom bisa kembali minum kopi tanpa khawatir jeruji besi. 

Kata Mahfud MD, ini langkah "strategis" meski bau politiknya semerbak.

Dua konsep pengampunan, satu untuk dosa, satu untuk hukum. In hoc signo vinces? Tanda apa yang sebenarnya menang di sini?  

Thomas atau Tom, penganut Katolik taat, divonis 4,5 tahun karena kasus impor gula—padahal hakim akui ia "tidak mencuri uang" maupun berniat jahat (mens rea).

Paradoksnya? Vonis ini justru jadi anti-efek jera: pejabat jujur malah takut ambil kebijakan, sementara koruptor sejati mungkin tersenyum lega.  

Sebagai orang yang rutin menerima absolusi di gereja, Tom paham betul arti penyesalan. Tapi di pengadilan, ia seperti terjebak dalam dura lex sed lex (hukum itu keras, tapi itulah hukum)—sampai Presiden Prabowo datang dengan abolisi, ibarat Ctrl+Z komputer untuk vonisnya.  

Tak jauh beda, Hasto Kristiyanto—Sekjen PDIP yang juga Katolik—divonis 3,5 tahun kasus suap. Bedanya, ia dapat amnesti (pengampunan setelah vonis tetap, tentu juga dengan niatan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat sebagai hukum tertinggi) dari Presiden Prabowo, sementara Tom dapat abolisi (penghentian proses hukum).

Keduanya, Tom dan Hasto, mungkin korban dari bellum politicorum (perang politik), dan Presiden memilih jalan pax et reconciliatio (damai dan rekonsiliasi) dan memakai adagium salus populi suprema lex esto.

Hasto, yang juga pasti akrab dengan ritual Sakramen Tobat, mungkin paham betul makna "penitensi" (silih dosa). Namun, di dunia politik, "penitensi"-nya adalah duduk manis di kursi oposisi atau gabung koalisi gemuk setelah bebas. Quid pro quo? Tanya publik yang curiga.

Absolusi vs Abolisi

Kata "absolusi" berasal dari kata Latin absolutio, dari kata kerja absolvere yang artinya membebaskan atau melepaskan. Verba absolvere terdiri dari dua kata: ab- artinya "dari" dan solvere artinya "melonggarkan".

Sedangkan abolisi berasal dari kata Latin abolitio dan verba abolere, yang berarti menghancurkan, membunuh, melenyapkan, mengusir, menghapus, membatalkan. Kata kerja abolere dibentuk dari dua kata: ab- yang berarti "dari" atau "menjauh dari" dan verba olere, yang artinya mencium atau menyimpan sesuatu.

Absolusi itu diberikan pastor setelah pengakuan dosa. Syaratnya adalah penyesalan tulus (contritio cordis), pengakuan jujur, dan janji tak mengulang.  

Sementara, abolisi diberikan presiden demi kepentingan negara. Syaratnya, kepentingan nasional (atau mungkin koalisi?) dan persetujuan DPR.  

Lucunya, di gereja, absolusi tak bisa dibeli. Tapi di politik? O tempora, o mores! (Wahai zaman, wahai moralitas!)

Ada yang berpendapat bahwa pemberian abolisi untuk Tom karena alasan "rekonsiliasi". Sedangkan untuk Hasto, mungkin "stabilitas politik".

Fiat justitia ruat caelum! Teriak para pakar hukum. Biarlah keadilan ditegakkan meski langit runtuh.

Namun, abolisi ini justru bikin langit nggak runtuh—malah mungkin lebih cerah buat Tom. Seperti kata pepatah Latin Cui bono? Siapa yang diuntungkan? Apakah ini rekonsiliasi politik atau sekadar akrobat hukum?  

Jadi, bagi Tom dan Hasto—dua penganut Katolik yang paham betul arti pengampunan—hidup ini seperti Sakramen Tobat versi politik. 

  1. Pengakuan dosa: "Saya korban kriminalisasi!"  
  2. Penyesalan: Mea culpa (tapi hanya di gereja).  
  3. Absolusi/Abolisi: Langsung bebas, tanpa perlu penitensi!

Jadi, abolisi dan absolusi sama-sama menghapus, tapi satu bikin Anda bebas dari penjara, satu bikin Anda lega dari neraka. Pilih mana? Carpe diem!—tapi jangan sampai kejebak dura lex, sed lex (hukum itu keras, tapi itulah hukum).

Di ruang "public share" banyak anggota masyarakat yang berteriak dan berkomentar terkait peristiwa hukum yang menimpa Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto.

Di saat yang tepat Presiden Prabowo hadir untuk menyatukan berbagai elemen bangsa, dengan kearifan dan kebijaksanaan serta Hak Prerogatif seorang Presiden yang diberikan negara pada dirinya.

Berani dan berpihak bagi kepentingan dan kebahagiaan serta kesejahteraan rakyat yang sangat dicintainya, memberikan Abolisi yang di masyarakat sepertinya tidak pernah ada lagi, ternyata akhirnya ada dan digunakan. Begitu juga kepada Hasto mendapatkan Amnesti.

Karya Tuhan Yang Maha Kuasa terkadang bekerja dengan unik, dan hati Presiden Prabowo Subianto tersentuh mengedepankan keinginan rakyat untuk memberikan keadilan.

Presiden yang sadar dan paham serta benar menerapkan adagium salus populi suprema lex esto. Presiden yang sangat mencintai "damai dan segala kebaikan". Pace e bene.

Salus populi suprema lex esto (Marcus Tullius Cicero 106 SM - 43 SM) seorang Filsuf Romawi.

Sekadar sharing dari tepi Danau Toba yang indah dan sejuk serta sepi, sembari menyeruput kopi, punya harapan besar Indonesia ku akan lebih baik di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Simalungun, 2 Agustus 2025. []

Penulis adalah pensiunan pejabat BUMN dan aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya