Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memberikan apresiasi pada usaha majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung dengan memberi hukuman seumur hidup dan menolak hukuman kimia kebiri terhadap Herry Wirawan.
Hanya saja ada masalah yang rumit bagi hakim dalam membuat putusan, dikarenakan Herry Wirawan dituntut dengan pidana mati oleh penuntut umum. Hakim menyatakan maka penjatuhan restitusi tidaklah dimungkinkan dengan mempertimbangkan Pasal 67 KUHP.
Peneliti ICJR Maidina Rahmawati menilai, carut marutnya sistem pemulihan bagi korban berdampak pada ketidakjelasan hak yang dapat diperoleh korban ini tidak kunjung diperbaiki.
Revisi UU Perlindungan Anak di tahun 2016 yang merupakan momen yang tepat bagi negara untuk memperbaiki kebijakan soal jaminan pemulihan korban, justru menghadirkan kebijakan kepada pelaku saja, dengan hadirnya “gimmick” seperti kebiri kimia dan pidana mati.
"Salah satu permasalahannya adalah inkonsistensi pembentuk undang-undang dan APH serta hakim dalam melihat posisi restitusi dalam sistem peradilan pidana," kata Maidina dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 15 Februari 2022.
BACA JUGA: Putusan Herry Wirawan Refleksi Pemulihan Korban yang Terabaikan
Apakah restitusi merupakan respons pemulihan bagi kerugian korban atau sebagai bentuk pidana pada pelaku? Menurut Maidina permasalahan ini ditemukan dalam kebijakan soal restitusi di Indonesia, mulai dari UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU Perlindungan Anak hingga UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
"Jika dilihat dalam analisis historis tentang gerakan hak korban, harusnya restitusi dapat dilihat sebagai respons terhadap kerugian korban," ungkapnya kemudian.
Dengan adanya korban tindak pidana dan kerugian yang dialaminya, negara menurut dia, bertanggung jawab menyediakan pemulihan yang efektif, baik dibebankan kepada pelaku ataupun ditanggung oleh negara.
Pemulihan bagi korban bukan sebagai bentuk penghukuman yang bergantung pada putusan pengadilan bagi pelaku.
Dikatakannya, terdapat catatan jika restitusi hanya dilihat sebagai penghukuman kepada pelaku, yaitu berlaku ketentuan Pasal 67 KUHP yang melarang penjatuhan pidana lain apabila pelaku dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup.
Dampaknya, korban menjadi tidak dapat memperoleh haknya ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku apabila hakim menjatuhkan pidana mati maupun pidana seumur hidup.
Maka dari itu, ujar Maidina, penegasan posisi dari restitusi atau setidaknya harmonisasi posisi restitusi di dalam perundang-undangan pidana perlu untuk segera dilakukan.
Korban kekerasan seksual baik anak maupun dewasa tentu saja berhak untuk memperoleh ganti kerugian atas peristiwa yang dialaminya baik dalam bentuk restitusi ataupun kompensasi.
Dalam skema kekerasan seksual, kompensasi tidak dimungkinkan dalam skema UU hari ini. Sedangkan pembebanan ganti kerugian kepada pelaku memiliki sejumlah kendala, salah satunya persoalan eksekusi oleh jaksa dan pelaku yang tidak memiliki uang.[]