Jakarta - Kondisi politik dunia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan harga bahan bakar minyak (BBM) dan liquefied petroleum gas (LPG).
Seperti yang terjadi saat ini Perang Rusia-Ukraina mengakibatkan berkurangnya suplai minyak dan gas sehingga memicu kenaikan harga.
Pengamat energi Ugan Gandar mengatakan, meski harga Pertamax mengalami kenaikan, dampaknya tidak signifikan sebab BBM tersebut lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat menengah ke atas.
“Kalau kita bandingkan kenaikan harga Pertamax dengan kenaikan harga minyak goreng yang sempat langka dampaknya sangat berbeda. Kenaikan harga minyak goreng sangat berdampak terhadap kehidupan seluruh lapisan masyarakat,” kata Ugan dalam keterangan tertulisnya yang diterima Opsi pada Senin 11 April 2022.
Ugan mengungkapkan, porsi penjualan Pertamax pada tahun 2021 juga relatif kecil hanya sekitar 13-16 persen dari total konsumsi BBM di Indonesia. Jikalau pun ada sedikit antrean produk Pertalite itu terjadi hanya sebentar karena kondisi psikologis panic buying masyarakat.
Ugan meyakini konsumen setia akan kembali mengkonsumsi ke Pertamax karena yang diutamakan itu adalah menjaga kualitas mesin kendaraannya untuk jangka panjang.
Di sisi lain, Ugan menjelaskan, jika dibandingkan dengan harga dunia ataupun di Asia, harga BBM di Indonesia paling rendah karena pemerintah masih memberikan subsidi.
"Walaupun tidak bisa dibandingkan apple to apple, karena banyak variabel yang berpengaruh seperti wilayah dan sistem pendistribusian BBM," tuturnya.
Ia juga mengingatkan kepada para konsumen Pertamax, sebelum harga naik, tanpa disadari selama ini mereka telah mendapat subsidi dari Pertamina karena Pertamax sebagai Jenis Bahan Bakar Umum (JBU) atau nonsubsidi masih dijual di bawah harga keekonomian.
“Besaran subsidi dari Pertamina ini kurang lebih senilai Rp 3.500 per liter, jika pengguna kendaraan yang tergolong mewah lebih dari 3 juta penduduk di Indonesia, bisa dibayangkan berapa besar biaya selisih harga keekonomian yang ditanggung oleh Pertamina?” ungkap Ugan.
Sementara untuk BBM Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT) atau subsidi Biosolar yang disubsidi oleh pemerintah sekitar Rp 7.800 per liter, seharusnya JBT ini betul-betul selektif digunakan untuk masyarakat kelas menengah ke bawah ataupun sesuai peruntukannya.
Untuk menjaga penyaluran solar subsidi tepat sasaran harus dilakukan pengawasan sampai ke tingkat konsumen akhir oleh tim gabungan yang dibentuk oleh pemerintah. Karena disparitas harga solar ini terlalu lebar dengan BBM yang memiliki kualitas di atasnya, sehingga sangat berpotensi BBM subsidi ini dikonsumsi oleh yang oknum yang tidak berhak menggunakannya.
"Kondisi ini mengakibatkan di beberapa daerah terjadi kelangkaan solar," ungkapnya.
Baca juga:
Polisi Tangkap Tiga Orang Pelaku Penimbun BBM Solar Subsidi di Mamuju
Polisi Grebek Rumah yang Menimbun 6,2 Ton BBM Jenis Solar di Mamuju
Dia menyebutkan, saat ini khusus di Jakarta ada sekitar 10 persen konsumen Pertamax yang pindah ke Pertalite. Artinya yang selama ini disubsidi oleh Pertamina karena harga Pertamax yang tidak naik, maka mereka berpindah menjadi tanggungan subsidi Pemerintah, karena Pertalite merupakan Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP) dengan besaran subsidi sekitar Rp 4 ribu per liter.
Ugan juga berpesan kepada Pertamina dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) agar mampu mengantisipasi penerapan kebijakan seperti kenaikan harga BBM Pertamax ini, serta harus mampu memitigasinya sehingga tidak membuat masyarakat panik.
"Saya juga berharap stok Pertalite dan Biosolar harus terjaga, semua harus terencana dengan baik dan terstruktur," imbuhnya. []