Jakarta - Sejumlah parpol termasuk Partai Gerindra mengusulkan pilkada dilakukan di DPRD, tidak lagu langsung seperti yang sudah berjalan selama ini.
Alasan pengembalian pilkada di DPRD ini didasarkan pada alasan efisiensi anggaran dan menekan politik uang.
Merespons wacana tersebut, Komite Pemilih (Tepi) Indonesia menilai bahwa alasan menekan "ongkos politik" untuk mengembalikan pilkada ke DPRD adalah sebuah penyesatan logika publik.
Koordinator Tepi Indonesia Jeirry Sumampow mengatakan, masalah ongkos politik mahal itu akarnya ada pada perilaku elite dan tata kelola partai politik sendiri, bukan pada sistem pemilihan langsungnya.
"Karena itu, mengubah sistem menjadi tidak langsung tak akan menghapus politik uang, melainkan hanya melakukan lokalisasi korupsi. Transaksi gelap yang tadinya menyasar massa, kini cukup dilakukan di ruang-ruang tertutup antar-elit fraksi dan elite partai. Ini jauh lebih berbahaya bagi integritas demokrasi," katanya dalam keterangan media pada Selasa, 30 Desember 2025.
Disebutnya, para elite yang menyuarakan kembali ke DPRD saat ini sebenarnya tidak punya posisi etik untuk bicara soal politik uang.
Karena selama ini merekalah pelaku sekaligus penikmat dari praktik politik uang dalam sistem pilkada.
"Sangat ironis dan munafik ketika mereka menggunakan "politik uang" sebagai alasan untuk mencabut hak rakyat, padahal mereka sendiri yang melanggengkan praktik tersebut," katanya.
Menurut Jeirry, alasan ini otomatis batal secara etik; mereka yang menciptakan masalah, lalu rakyat yang dihukum dengan kehilangan hak suaranya.
Dikatakannya, pilkada langsung adalah mandat reformasi untuk memutus rantai "praktik dagang sapi" yang dulu masif terjadi di DPRD.
Mengembalikan pemilihan ke DPRD adalah sebuah kemunduran luar biasa.
"Kita akan kembali ke era di mana kepala daerah hanya menjadi "sandera" atau petugas partai di daerah. Hubungan akuntabilitas kepada rakyat akan putus, digantikan oleh hubungan balas budi kepada pimpinan partai di tingkat pusat dan daerah," katanya.
Jeirry mengingatkan agar jangan jadikan biaya politik sebagai alasan untuk merampas kedaulatan.
Jika pilkada dianggap mahal, solusinya adalah digitalisasi pemilu (e-voting/e-recap), reformasi pendanaan parpol, dan penegakan hukum yang galak terhadap pelaku politik uang.
"Jangan rakyat yang dikambinghitamkan. Rakyat sudah makin baik dengan hak pilih langsung sejak 2005, jangan lagi dipaksa kembali menjadi penonton dalam menentukan nasib daerahnya sendiri," tandasnya.
Karena itu, Tepi Indonesia kata dia, secara tegas menolak wacana ini. Pilkada melalui DPRD hanya akan memperkuat cengkraman oligarki dan mempermudah para cukong untuk "membeli" kepemimpinan daerah dengan harga yang lebih "murah" di meja makan para petinggi partai.
"Kedaulatan rakyat tidak boleh dikalahkan oleh kalkulasi penghematan anggaran yang semu dan menyesatkan tersebut dari elit politik dan partai," tutupnya. []