News Jum'at, 03 Februari 2023 | 16:02

Indeks Persepsi Korupsi 2022 Turun, Mahfud Tak Ingin Hanya Pemerintah yang Disalahkan

Lihat Foto Indeks Persepsi Korupsi 2022 Turun, Mahfud Tak Ingin Hanya Pemerintah yang Disalahkan Menko Polhukam Mahfud Md. (Foto: Twitter)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Tahun 2022 Indonesia menurut masyarakat internasional mengalami penurunan. Pemerintah menurut Mahfud Md risau dengan penilaian ini.

Mahfud yang merupakan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan mengakui kerisauan pemerintah itu dalam keterangan pers, Jumat, 3 Februari 2023.

"Kerisauan kami, pemerintah yang mengurusi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, pada tahun ini indeks persepsi korupsi kita menurut Transparency International Indonesia (TII), turun," kata dia.

"Indeksnya dari 38 menjadi 34. Ini satu keprihatinan, karena kita dulu melakukan reformasi itu IPK kita itu 20 pada tahun 1999. Ini setiap tahun naik sampai mencapai puncaknya 2019 itu 39. Lalu turun 38, bertahan di 38, terus sekarang turun menjadi 34," ungkapnya.

IPK itu kata Mahfud, artinya persepsi masyarakat internasional tentang seberapa besar skor korupsi di Indonesia. Berarti dari interval 0 sampai 100, sekarang ini Indonesia berada di angka 34.

Mahfud mengakui, ini merupakan penurunan yang tertinggi. Selama pemerintahan reformasi naik termasuk pada era Presiden Jokowi, naik secara konsisten nah ini tiba-tiba turun.

"Apakah korupsi semakin banyak, bisa ya. Karena buktinya kita nangkap orang, OTT. Ya, tapi sebenarnya kalau peningkatan korupsi itu sendiri, yaitu normal seperti itu terus. Nah, yang sekarang menjadi masalah kenapa turun (IPK), itu bukan karena penegakan hukumnya di bidang korupsi," ujarnya.

Menurut dia, sejauh ini penegakan hukum itu mengalami kenaikan. Namun dalam penilaian TII itu bukan hanya korupsi, tapi juga misalnya soal perizinan usaha. Di mana menurutnya, orang berpendapat di sana banyak terjadi kolusi.

"Investasi aja kok sulit, orang sudah punya izin di satu tempat lalu kok diberikan izin ke orang lain, seperti-seperti itu. Sehingga yang masalah ini, masalah birokrasi perizinan dan kolusi, di dalam proses birokrasi perizinan," tuturnya.

Itulah sebabnya kata Mahfud, pemerintah mengeluarkan UU Cipta Kerja dalam bentuk omnibus law.

Itu maksudnya agar perizinan, misalnya, tidak bertele-tele. Tidak dikerjakan beberapa meja, tapi bisa satu pintu.

"Seperti saudara lihat sendiri dalam tiga tahun terakhir ini, kalau pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh negara itu sudah luar biasa," katanya.

Kejaksaan Agung disebutnya seperti melakukan amputasi terhadap tangan pemerintah sendiri. Orang pemerintahan ditangkapi semua, seperti kasus Jiwasraya, Asabri, Satelit, Kemenhan, menteri dua ditangkap, bupati-bupati ditangkap OTT dan sebagainya.

Baca juga: Indeks Persepsi Korupsi Tahun 2022 Indonesia Turun, Ini Kata Jokowi

"Itu kita pemerintah sudah sungguh-sungguh memberantas kalau dalam arti tindakan. Tapi kalau dalam arti administrasi birokrasi, kita ini sedang merintis sekarang kuat-kuatan yang pertama menyiapkan instrumen hukum yang memugkinkan kita bekerja cepat dan mengontrol cepat," ungkapnya.

Salah satu terobosan adalah program digitalisasi yang disebut dengan SPBE atau sistem pemerintahan berbasis elektronik.

"Ini akan segera disahkan presiden agar korupsi-korupsi, kolusi pembayaran di bawah meja dan sebagainya itu bisa ditangkal," tukas eks Ketua MK itu.

Menurut Mahfud, banyak proses perizinan di daerah pertambangan atau kehutanan dan lain sebagainya terjadi kolusi yang kemudian ditangani negara. Itu kemudian menurutnya yang dirasakan atau persepsi masyarakat internasional.

"Kepastian berusaha di Indonesia itu gimana, itu. Bukan kita tidak menindak, kita menindak. Tapi kepastian-kepastian itu harus diatur dengan kebijakan baru yang sifatnya strategis. Jadi kita akan bangun digitalisasi agar tidak banyak orang kena OTT. Tetapi OTT itu tetap harus dilakukan sebelum SPBE ini jadi. Kalau ada SPBE sudah jadi, kok masih ada misalnya korupsi, ya tangkap juga tapi upaya untuk itu sudah dilakukan," terangnya.

Mahfud kemudian menyebut, bahwa turunnya IPK Tahun 2022 tersebut bukan hanya penilaian ke pemerintah. Penilaiannya itu terhadap legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 

Di sisi eksekutif kata dia, pemerintah sudah habis-habisan, yang dibuktikan dengan naiknya penegakan hukum. 

"Tapi korupsi itu ketika pembuatan UU, ya kan korupsi ketika proses peradilan dan dan sebagainya dan orang tidak tau lalu menyalahkan eksekutif saja," terangnya lagi.

"Padahal kita tidak boleh masuk proses peradilan sama sekali. Kita hanya nangkapin orang serahkan ke pengadilan, lalu kalau dibebaskan pengadilan kita juga gak boleh ikut campur," imbuhnya.

Itu karena asumsi hukum di dalam demokrasi, kata Mahfud, pengadilan itu bebas dan tidak boleh dicampuri oleh pemerintah. 

"Jadi kita akan terus bersungguh-sungguh dan pemerintah telah melakukan itu secara sungguh-sungguh seperti terberitakan setiap hari siapapun ditangkap, siapapun diproses," tandas dia. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya