Jakarta – Wakil Ketua Umum DPP PAN dan Ketua Komisi VII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, mengapresiasi kenaikan insentif bagi guru honorer sebesar Rp 100.000 per bulan yang akan berlaku efektif per 1 Januari 2026.
Namun, di balik kabar gembira tersebut, ia mengingatkan nasib segelintir pahlawan pendidikan yang sering terlupakan: tenaga administratif sekolah.
Dengan kenaikan tersebut, total insentif yang diterima guru honorer akan terkumpul menjadi Rp 400.000 per bulan, setelah sebelumnya mendapat tambahan Rp 300.000 di tahun lalu.
Saleh mengakui bahwa meski nominal per orang terlihat kecil, total anggaran negara yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sangat signifikan.
"Kalau masing-masing mendapat tambahan Rp 100.000 per bulan, maka Kemendikdasmen akan mengeluarkan anggaran sebesar Rp 3,12 triliun per tahun untuk 2,6 juta guru honorer," ujar saleh dalam keterangan resminya, Sabtu, 27 Desember 2025.
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah 2010-2014 ini menegaskan bahwa meski disyukuri, besaran insentif tersebut belum ideal dan perlu ditingkatkan lagi.
Namun, perhatiannya justru lebih tertuju pada nasib tenaga administratif—seperti tenaga tata usaha, laboran, dan pustakawan—yang menurutnya bekerja "seakan tanpa pamrih" dan kerap terabaikan dalam pembahasan kesejahteraan pendidik.
Beban Berat di Balik Layar
Lebih lanjut, dia memaparkan betapa beratnya tugas tenaga administratif. Mulai dari menyiapkan kelas, absensi, alat tulis, alat peraga, hingga mengelola dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Mereka juga yang bertugas menginventarisasi, memesan, memelihara aset sekolah, dan menyusun laporan pertanggungjawaban yang rentan diperiksa.
"Yang lebih heroik lagi, para tenaga administratif ini sering sekali juga harus menagih pembayaran SPP setiap siswa. Kalau SPP tidak lancar, otomatis semua aktivitas akan terkendala," jelas politisi asal Dapil Sumut II itu.
Padahal, lanjutnya, tanpa kerja keras mereka di balik layar, proses belajar mengajar bisa sangat terganggu.
Ironisnya, sementara guru honorer mendapat insentif dan berkesempatan mengajukan tunjangan sertifikasi yang nilainya lumayan besar, tenaga administratif sama sekali tidak menikmati tunjangan serupa.
"Dalam setiap pembahasan kesejahteraan guru, mereka ini sengaja ditinggalkan. Padahal, faktanya mereka juga harus membiayai kebutuhan keluarganya yang tidak kalah berat," tegas Daulay.
Dukung Pemberdayaan dan Keberpihakan Nyata
Daulay mengungkapkan fakta memprihatinkan di lapangan. Karena minimnya program afirmasi, banyak tenaga administratif yang nekat mengajukan tunjangan sertifikasi meski tidak berhak.
Sekolah pun kerap berada di persimpangan: antara membiarkan pelanggaran aturan atau kehilangan tenaga andalan yang sulit diganti.
"Pihak sekolah berada di persimpangan jalan; antara memberdayakan mereka di satu sisi atau membiarkan mereka melanggar aturan dan moralitas," ujarnya.
Oleh karena itu, Daulay mendesak Kemendikbudristek untuk segera berdiri di barisan terdepan membela dan memberdayakan tenaga administratif pendidikan.
"Mereka adalah pejuang-pejuang kemajuan pendidikan kita. Mereka tidak boleh ditinggalkan, apalagi dilupakan. Sama dengan guru, mereka juga adalah pahlawan tanpa tanda jasa," tuturnya.
Ia mendorong langkah konkret, seperti membuka ruang penggunaan dana BOS yang lebih luas untuk menunjang kesejahteraan tenaga administratif.
"Keberpihakan harus dibuktikan dengan tindakan nyata. Kalau peduli, tentu tidak perlu berbelit. Narasinya boleh kecil, tetapi dampaknya harus terasa," pungkas Saleh Partaonan Daulay menegaskan.[]