News Kamis, 24 Februari 2022 | 16:02

Jokowi Cabut Izin, Pembukaan Lahan Malah Merajalela di Jayapura

Lihat Foto Jokowi Cabut Izin, Pembukaan Lahan Malah Merajalela di Jayapura Ekskavator membabat hutan Sagu, salah satu sumber makanan pokok masyarakat Papua, untuk membuka lahan bagi perkebunan kelapa sawit. (Foto: Greenpeace)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Peninjauan izin lahan sejumlah perusahaan pertambanggan dan kehutanan oleh Presiden Jokowi pada awal tahun ini dinilai setengah hati. Sejumlah perusahaan yang izinya dicabut justru membuka lahan kembali.

Greenpeace Indonesia menyerukan agar kebijakan tersebut diklarifikasi, untuk memastikan perusahaan yang izinnya terdaftar untuk dicabut tidak diperbolehkan melakukan panic clearing tersebut.

Seruan itu setidaknya terungkap dalam webinar bertajuk `Pencabutan Izin, Land Bank, dan Masa Depan Masyarakat Adat` yang digelar pada Kamis, 24 Februari 2022 lewat live Zoom dan YouTube.

Diketahui bahwa pada 6 Januari, Presiden Jokowi mengumumkan pembatalan ratusan izin sektor kehutanan, termasuk keputusan pelepasan kawasan hutan untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Beberapa dari mereka berada di Provinsi Papua dan Papua Barat. Di antara perusahaan yang pelepasan kawasan hutannya dicabut adalah PT Permata Nusa Mandiri (PT PNM) di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.

Menurut laporan Mongabay, pemilik tanah adat mengatakan tidak ada aktivitas di kamp perusahaan selama hampir dua tahun, kemudian pembukaan hutan tiba-tiba dimulai kembali dalam beberapa hari setelah pengumuman presiden.

Pengamatan di lapangan dan satelit menunjukkan bahwa jalan dan blok penanaman kelapa sawit sedang dibuka dengan cepat di beberapa wilayah hutan.

Baca juga: Jokowi Cabut 2.078 Izin Perusahaan Penambangan Minerba

Greenpeace Indonesia memperkirakan bahwa sampai 19 Februari 2022, sekitar 70 hektare hutan telah ditebang, oleh masyarakat adat setempat lokasi tersebut diidentifikasi sebagai situs ekowisata untuk mengamati Burung Cenderawasih.

Pelepasan kawasan hutan yang dicabut tercantum dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) No.1/2022 tanggal 5 Januari 2022.

Dasar untuk memilih izin mana yang dicabut tetap tidak jelas, bahkan Greenpeace telah mengajukan surat keterbukaan informasi ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan tanggapannya tidak menjawab apapun.

Greenpeace prihatin bahwa banyak izin yang seharusnya dicabut dalam proses peninjauan izin Moratorium Kelapa Sawit, tidak dimasukkan.

Paparan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya kepada Komisi IV DPR mempersoalkan pencabutan tersebut, memenuhi syarat sebagai “deklaratif” dan menyarankan agar beberapa pencabutan yang dilakukan melalui Keputusan KLHK No.1/2022 dapat dibatalkan oleh meja “klarifikasi/verifikasi”, sebelum pencabutan “definitif” diumumkan.

“Saya khawatir pemerintah telah menyerah pada proses peninjauan izin, yang seharusnya melindungi hutan yang tersisa dan melindungi hak-hak adat. Pencabutan izin harus dikoordinasikan secara baik dengan pemilik hak adat, pemerintah daerah (kabupaten dan provinsi) dan dilaksanakan secara transparan, dan harus memastikan peniadaan kegiatan pembukaan lahan oleh perusahaan,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Nico Wamafma berbicara dari Sorong, Papua Barat.

“Lahan hutan harus diambil kembali dari perusahaan perkebunan dan dikembalikan ke pemilik asli yang sah, tetapi langkah terakhir yang penting ini hilang dari proses saat ini,” imbuhnya.

Beberapa perusahaan yang izin pelepasan hutannya dicabut, juga memiliki izin lain yang dikeluarkan oleh instansi lain adalah IUP atau izin usaha perkebunan dan HGU atau hak guna usaha.

PT PNM, perusahaan yang baru-baru ini memulai pembukaan lahan dan telah diungkap oleh Greenpeace sebelumnya, perusahaan ini memiliki hubungan dengan taipan Anthoni Salim, memperoleh izin HGU pada 15 November 2018, meskipun Moratorium Kelapa Sawit selama tiga tahun telah berlaku.

Dengan dicabutnya izin pelepasan hutan perusahaan seluas 16.182 hektare melalui Keputusan KLHK No. 1/2022, operasi pembukaan hutan berikutnya di dalam Kawasan Hutan akan tampak ilegal menurut UU Kehutanan.

Namun kegagalan pemerintah pusat untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional untuk memastikan pembatalan izin lain seperti IUP dan HGU telah menyebabkan kebingungan di lapangan mengenai legalitas pembukaan hutan tersebut.

“Peninjauan izin di bawah Moratorium Kelapa Sawit seharusnya dikoordinasikan di semua tingkat pemerintahan dan lintas lembaga. Sayangnya KLHK di Jakarta tampaknya berjalan sendiri tanpa melibatkan instansi lain dan pemerintah daerah. Sekarang kebingungan merajalela, dan ada insentif yang salah. Perusahaan bereaksi dengan bergegas membuka hutan, tidak diragukan lagi berharap untuk terlihat aktif beroperasi, dan menghadirkan lanskap tandus sebagai fait accompli,” kata Syahrul Fitra selaku juru kampanye hutan senior Greenpeace Indonesia.

Sudah seharusnya PT PNM menghentikan segala aktivitas mereka di lapangan, terutama aktivitas pembukaan lahan. Pemerintah harus menindak jika perusahaan tetap melakukan aktivitas konversi lahan.

Saat ini evaluasi izin di Provinsi Papua juga tengah dilakukan. Sudah saatnya bagi Pemerintah Provinsi Papua mengumumkan hasil evaluasi terhadap PT PNM ini, dengan memperhatikan tuntutan masyarakat adat. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya