Oleh: Pangi Syarwi Chaniago (Analis Politik sekaligus CEO & Founder Voxpol Center Research and Consulting)
Nasdem mengambil keputusan yang sangat berani, selalu terdepan dalam mengambil momentum politik. Kandidat capres NasDem akhirnya mengerucut kepada Anies Baswedan.
Anies merupakan salah satu kandidat dalam bursa bakal capres NasDem bersanding dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.
Partai Nasdem dan Surya Paloh tentu saja sudah menghitung, mengalkulasi secara matematika politik, mengkaji secara terukur, pertimbangan matang sadap, keputusan untuk mengusung Anies sebagai capres, apakah keputusan politik ini sudah tepat?
Melihat kembali jam terbang Surya Paloh dalam konteks `king maker` dan membaca `track record-nya` yang mahir dalam membaca momentum politik, piawai dalam mengambil keputusan strategis baik di level pemilihan presiden maupun kepala daerah. Namun, apakah keputusan politik beliau selalu tepat?
Dalam Konteks basis akar rumput (grassroot), ada yang punya pandangan bahwa ketika NasDem mengusung Anies, maka basis `grassroot` NasDem akan melemah dan NasDem berpotensi ditinggal pemilihnya sendiri karena terjadinya `split ticket voting`. Hal ini terjadi karena ketidaksesuaian antara pilihan `elite` dengan suara `akar rumput`.
Perilaku pemilih NasDem ini setidaknya bisa dilihat dari beberapa hasil survei, apakah pemilih NasDem lebih cenderung memilih Ganjar, Andika atau Anies?
Hasil survei Voxpol Center bulan Juli lalu menunjukkan bahwa di Indonesia Timur seperti Papua, NTT, Manado misalnya basis pemilih grassroot NasDem lebih signifikan memilih Ganjar sebesar 78,8 persen, Anies sebesar 36,7 persen.
Sebaliknya Anies Baswedan justru unggul di DKI Jakarta 81,3 persen, Jawa Barat dan Banten. Ada potensi NasDem melakukan penetrasi melebarkan wilayah basis pemilihnya, betulkah pemilih partai akan migrasi memilih NasDem apabila nantinya terbukti pengaruh Anies efek menguat?
Analis Politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago.(Foto:Opsi/Dok Pangi)
Betulkah NasDem piawai membaca peta politik? Apakah NasDem sedang berburu `coattail effect`? semua partai punya kepentingan yang sama mengusung kandidat capres dalam rangka menyelamatkan elektabilitas partai, dalam konteks kandidat yang diusung membawa berkah elektoral untuk partai.
Dengan kata lain, kunci kemenangan pemilu legislatif sangat ditentukan seberapa besar efek kandidasi capres ikut mendongkrak elektabilitas partai.
Memahami logika ini, Partai NasDem akan berupaya sekeras mungkin untuk membangun identity NasDem yang seolah kongruen dan sebangun dengan Anies.
Semakin tinggi identity bahwa Anies adalah NasDem dan NasDem identik dengan Anies maka peluang partai itu untuk mendapatkan insentif efek `ekor jas` pada kalender pemilu serentak nanti akan semakin besar.
Namun sebaliknya, jika NasDem gagal dalam stempel identity Anies, maka tidak akan memberikan dampak elektoral yang signifikan terhadap pertumbuhan elektoral NasDem, malah akan berpotensi sebagai pemantik konflik di internal partai.
Dengan demikian, NasDem tinggal meyakinkan Partai Demokrat dan PKS, apakah nanti salah satu dari kader Demokrat dan PKS menjadi cawapres pasangan Anies.
Atau nanti koalisi yang dibangun klik pada `persamaan kepentingan`, misalnya koalisi bersyarat. Partai Demokrat siap bergabung berkoalisi mengusung Anies dengan syarat membawa nama kandidasi AHY sebagai cawapres pasangan Anies.
Begitu juga PKS misalnya `klik` pada persamaan kepentingan dengan tawaran yang lebih praktis dengan meminta `jatah menteri` yang lebih banyak karena tidak memaksakan memasang kadernya untuk diajukan sebagai capres dan cawapres, dan itu sah-sah saja. Partai ikut kontestasi pemilu, kemudian ketika menang, `power sharing` mengambil alih kekuasaan lewat kursi menteri.
Selanjutnya, Anies juga diberikan keleluasaan oleh NasDem untuk mencari pasangan cawapres yang ideal, bagaimana pun karena Pilpres 2024 `lapangan datar`, artinya tidak ada capres incumbent (petahana).
Dengan demikian cawapres menjadi faktor kunci yang sangat menentukan peta Pilpres 2024, salah menggandeng cawapres, `kartu mati` dan `bunuh diri` politik. Sebab, sejauh ini racikan elektoral calon presiden masih sangat kompetitif dan dinamis, tidak ada capres yang leading `tanpa tanding` elektabilitasnya.
Setidaknya kita sudah punya gambaran sementara `peta koalisi`. Kemungkinan juga bakal ada yang mengalami `patahan`, makin mengerucut mendekati injury time/last minute batas pendaftaran pencalonan capres/cawapres.
Poros pertama yang terdiri dari partai NasDem, Demokrat, dan PKS yang akan mengusung Anies-AHY atau Anies Khofifah atau Anies-Ahmad Heryawan yang direncanakan akan deklarasi capres/cawapres dan parpol koalisi pengusung pada 10 November 2022.
Poros kedua koalisi Golkar-PPP-PAN mengusung capres Ganjar- Airlangga. Poros ketiga Gerindra-PKB-PDIP mengusung Prabowo-Puan atau poros keempat PDIP maju sendiri, artinya akan ada 3 sampai 4 poros koalisi pada Pilpres 2024.
Setidaknya kita sudah punya 2 gambaran capres yakni Anies Baswedan dan Prabowo Subianto, dengan pengumuman lebih awal capres dan parpol koalisi pengusung, tentunya masyarakat punya waktu lebih luang untuk mencermati rekam jejak capres/cawapres 2024. (Kamis, 6 Oktober 2022)