Pilihan Minggu, 18 September 2022 | 19:09

MUI Sebut Tak Boleh Ada Konflik Agama, PGI Ungkap Masalah Pendirian Rumah Ibadah

Lihat Foto MUI Sebut Tak Boleh Ada Konflik Agama, PGI Ungkap Masalah Pendirian Rumah Ibadah Ketua MUI Yusnar Yusuf Rangkuti. (Foto: Opsi)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Pendirian rumah ibadah di Indonesia diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 Tahun 2006.  

Hal-hal yang diatur misalnya, daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat dan dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa.

Namun fakta di lapangan, penerapan PBM atau aturan ini yang semula untuk menciptakan kerukunan umat beragama, justru memicu ketegangan dan konflik antar pemeluk agama, seperti yang terjadi di Kota Cilegon, Banten.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Yusnar Yusuf Rangkuti menegaskan, PBM adalah aturan untuk melakukan pendirian rumah ibadah. Aturan yang disepakati oleh semua majelis agama di Indonesia ketika dibentuk.

Dan itu masih diberlakukan sejauh ini. Dia menilai, belum ada satu cara yang paling baik, selain aturan ini yang bertujuan untuk bagaimana supaya harmonisasi di dalam pendirian rumah ibadah itu terjadi Indonesia.

"Tetapi aturan itu ada kekurangan, pasti. Masih ada kekurangan, tetapi sampai hari ini belum ada satu aturan yang lebih baik dari itu," kata Yusnar saat menjadi pembicara dalam dialog Opsi Media TV dengan tajuk `Pelarangan Pembangunan Rumah Ibadah di Cilegon` pada Jumat, 16 September 2022 sore.

"Kita masih mengajukan itu untuk melakukan pekerjaan, agar semua aturan dalam PBM itu, apakah PBM itu kita tingkatkan dengan sebuah aturan yang baru atau barangkali begitu saja. Kemudian narasi-narasi yang ada di dalamnya kita coba untuk rubah sedikit demi sedikit tapi untuk kebaikan bersama," tukasnya.

Yusnar menegaskan, tokoh-tokoh agama di Indonesia semua sepakat tidak boleh ada permasalahan-permasalahan konflik di dalam masyarakat beragama.

"Tidak boleh ada. Saya tidak pernah sakit hati dengan Pak Gultom (Ketum PGI). Saya ini mesra saja, apalagi Pak Gultom orang Batak. Saya ini Rangkuti, kan gampang kita untuk berkomunikasi. Sumampouw itu Manado. Saya kalau datang ke Manado, saya datangi tokoh-tokoh Kristen di situ. Saya datang kemari untuk kepentingan masyarakat beragama kan begitu ya," katanya.

Baca juga:

Mengendus Kelompok `Pemelihara` Konflik Umat Beragama di Indonesia

Sedangkan terhadap orang-orang yang berkepentingan untuk merusak, mengganggu, dan sebagainya, menurut Yusnar, sejak mulai dari dulu sudah ada.

Hanya saja kepada masyarakat dimintakan, tidak cepat terpicu. Tidak dipanas-panasi, langsung terus marah-marah, tidak boleh seperti itu.

"Kita tangani dia, kita tangani dengan baik. Kita kumpul. Kami pernah mendatangi kantor PGI. Lima orang ketuanya datang, hanya karena masalah ucapan Somad. Ini adalah testimoni-testimoni yang sangat baik. Sebuah toleransi yang begitu mesra," ungkapnya.

PGI: PBM Sudah Oke

Jeirry Sumampouw selaku Kepala Humas Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dalam kesempatan yang sama menegaskan, PGI terlibat bersama MUI dan sejumlah tokoh agama lainnya dalam pembuatan PBM.

"Kalau ingat waktu itu memang makin banyak kasus dan kita nggak punya aturan itu sehingga ada kepentingan untuk membuat aturan. PGI ikut sejak awal dalam percakapan-percakapan di situ. Bahkan PGI memberi beberapa catatan," tuturnya.

Baca juga:

Motif Politik dan Ekonomi Pemicu Ketegangan Kerukunan Beragama di Indonesia

Jeirry menyinggung ketika dalam proses pembahasan atau diskusi yang cukup alot, soal 60 dan 90. (Daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat dan dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa).

Namun dia mengakui ada semangat mengatur dalam PBM, karena ketika itu mulai muncul banyak persoalan di lapangan, baik oleh kelompok-kelompok tertentu atau mungkin juga gesekan-gesekan secara sosial yang muncul karena keterbatasan pemahaman-pemahaman di kalangan umat. 

"Nah bagi PGI aturan itu oke saja. Karena spiritnya dia tidak membatasi. Karena kalau tidak dapat diterapkan di struktur paling bawah, dia naik ke atas sampai ke tingkat kabupaten dan spirit PBM itu kan sebetulnya bagaimana negara atau pemerintah itu memfasilitasi orang beribadah di tempat ibadahnya masing-masing," tukasnya. 

Hanya saja kata dia, masalah muncul dalam penerapan PBM di lapangan, yang memang mengalami persoalan.

Dan yang paling penting kata dia, banyak orang yang merasa lebih paham PBM ini daripada yang membuatnya.

"Sehingga mereka jadi yang paling ngotot untuk pemberlakuan PBM ini padahal tafsir atau pemahaman mereka itu menyimpang dari apa yang semestinya dimaksudkan oleh para pembuat PBM. Kan soal kita di situ ya," ungkapnya.

Kemudian, karena PBM ini diberikan kepada kepala daerah, justru didapati banyak kepala daerah tidak cukup paham dengan PBM. Sehingga bingung sendiri menerapkan PBM itu di daerahnya masing-masing.

"Jadi soal kita di situ," tukasnya.

Menyangkut soal perubahan PBM, sebetulnya kata Jeirry, percakapan-percakapan tentang perubahan PBM itu juga sudah terjadi sebelumnya. 

Bahkan dulu ada usulan dari Kementerian Agama untuk meningkatkan itu menjadi undang-undang dan sudah sempat berjalan prosesnya.  

"Nah, bagi PGI sendiri memang kita sudah pernah membuat kajian tentang PBM dan kita memberi beberapa catatan perubahan, kalau itu mau dilakukan perubahan khususnya hal-hal yang tadi ya bagaimana memperkuat peran negara. Katakanlah pemerintah untuk memfasilitasi itu karena tuntutan masyarakat seringkali sulit sekali dikelola oleh pemerintah daerah apalagi kalau itu ada kaitannya dengan atau dekat-dekat ke Pemilu atau Pilkada, ini makin repot," ujar Jeirry.

"Jadi ada tarikan, antara mau konsisten dengan konstitusi atau mau mengakomodir konstituen. Jadi ini makin rumit. Dan kalau kita lihat terakhir, dimensi itu makin kuat," katanya seraya merujuk kasus di Kepri dan Aceh yang berulang-ulang terjadi.

"Jadi kalau bagi kami ya, kalau PBM itu mau dilakukan secara konsisten sebetulnya sudah oke. Bahwa ada keberatan, ya memang itu bagian dari sesuatu yang harus kami jelaskan, misalnya dulu ada keberatan itu ngapain kita urus 60 dan 90, ya kan kita punya kebebasan. Tapi kita bisa jelaskan kebebasan itu juga perlu diatur supaya tidak menimbulkan gesekan di masyarakat," terangnya.

Dan belakangan, banyak gereja akhirnya paham dan harus mengurus perizinan rumah ibadah. Tapi kemudian ada sebuah proses politik di mana izin menjadi sulit untuk dikeluarkan.

Namun PGI kata dia, menyarankan umat tidak mudah terprovokasi. Menjadi tantangan dan tanggung jawab lembaga-lembaga keagamaan bagaimana membuat umat itu tidak reaktif terhadap satu persoalan yang muncul ke permukaan. Tapi lebih adem, lebih sabar, dan mungkin  lebih mau melihatnya secara mendalam apa setiap faktornya.

"Saya kira di kalangan organisasi-organisasi keagamaan di tingkat nasional pemahaman seperti itu sudah bagian dari komitmen mengajak umat untuk melihatnya lebih mendalam, tidak terlalu cepat-cepat marah. Jadi selalu juga menegaskan soal-soal seperti ini memang sebaiknya tidak terlalu diblow up, karena itu tadi keterbatasan pemahaman umat terhadap kasus seperti itu seringkali lebih cepat subjektifnya ketimbang sisi objektifnya untuk meletakkan kasus itu secara lebih objektif dan proporsional," terang Jeirry. []



Berita Terkait

Berita terbaru lainnya