Pilihan Minggu, 18 September 2022 | 12:09

Motif Politik dan Ekonomi Pemicu Ketegangan Kerukunan Beragama di Indonesia

Lihat Foto Motif Politik dan Ekonomi Pemicu Ketegangan Kerukunan Beragama di Indonesia Jeirry Sumampouw dan Yusnar Yusuf Rangkuti. (Foto: Kolase Opsi)
Editor: Tigor Munte

Jakarta -  Munculnya ketegangan antar umat beragama di Indonesia dalam kurun 12 tahun terakhir, semisal gangguan terhadap pendirian rumah ibadah, bukan semata faktor agama.

Ada motif politik dan ekonomi yang melatarinya. Di mana kelompok-kelompok tertentu yang memiliki kepentingan kemudian memainkan faktor-faktor subjektifitas agama.

Hal itu diungkap dua tokoh agama dari Islam dan Kristen, yang menjadi pembicara dalam dialog Opsi Media TV bertajuk `Pelarangan Pembangunan Rumah Ibadah di Cilegon` pada Jumat, 16 September 2022.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Antar Umat Beragama, Yusnar Yusuf Rangkuti mengatakan, dalam sejarah beragama di Indonesia mulai masuknya Islam pada abad ke-11 melalui Barus, Sumatra Utara, adalah sesuatu yang sangat mengasyikkan.

"Karena Islam masuk ke sana tidak ada pertentangan. Tidak ada peperangan masuknya Islam. Boleh kita lihat dengan adanya situs-situs peninggalan sejarah itu melalui makam-makam orang -orang Islam yang ada di sebuah bukit di daerah Barus," kata Yusnar dilansir dari YouTube Opsi Media TV.

Jika kemudian hari ini di Indonesia ada sebuah pertentangan, menurut ustaz asal Sumatra Utara tersebut, terjadi karena dilatari kepentingan-kepentingan. Misalnya kepentingan ekonomi, kepentingan jabatan, kepentingan status sosial.

"Ingin terkenal. Mulai terjadi perbedaan pendapat," katanya.

Namun secara khusus Yusnar menyebut, untuk wilayah Sumatera secara khusus di Sumatera Timur, sampai hari ini tidak pernah terjadi pertentangan atau konflik agama.

Baca juga:

Yaqut Cholil Qoumas Janji Memperjuangkan Penerbitan Izin Gereja HKBP di Cilegon

"Kalaupun ada sedikit-sedikit perbedaan pendapat dan kemudian terjadi konflik, itu bukan agama. Tapi orang yang berebut kekuasaan, merebut apa saja. Konflik yang terjadi, ada motif politik," kata dia.

Yusnar lebih mempertegas bagaimana Islam masuk ke Tidore dan Papua, juga jauh dari konflik. Orang-orang Islam Tidore masuk ke Papua itu justru melalui pendeta-pendeta. 

"Ndak pernah ada konflik. Kenapa sekarang ada konflik, karena kepentingan yang begitu besar terhadap apa saja. Bagaimana cara menguasai Indonesia," katanya.

Dia kemudian mengungkap, bagaimana ada provokasi dilemparkan orang-orang tertentusoal pejabat di Kementerian Agama yang selalu dipimpin orang Islam.

Seperti Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen atau Konghucu, atau peneliti di Kementerian Agama selalu dari kalangan Islam.

"Banyak orang melakukan provokasi. Kenapa Kementerian Agama itu, pemimpinnya tetap orang Islam. Orang bertanya kenapa di Kementerian Agama itu tidak ada tidak ada peneliti yang orang bukan Islam. Kita jawab, silakan masuk siapa saja. Tapi karena tidak ada tokohnya. Kemarin saja untuk menjadi seorang direktur agama Konghucu, harus orang Islam. Karena tidak tokohnya. Ia harus pegawai negeri," terang Yusnar.

Baca juga:

Wali Kota Cilegon Menolak Gereja, Pura, Vihara, dan Abaikan Konstitusi

Diingatkan bahwa untuk menjadi pejabat di Kementerian Agama tidak berkaitan dengan agama, tetapi menyangkut birokrasi, seperti pangkat, eselon, dan lainnya.

Kepala Humas Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Jeirry Sumampouw senada dengan Yusnar.

Dia menegaskan, secara faktual kerukunan dan toleransi beragama di tingkat masyarakat basis, berjalan dengan baik.

Jika kemudian ada sebuah survei dari sebuah lembaga yang menyebut sebuah daerah dinilai tidak toleran, bisa jadi berdasarkan kasus yang muncul di daerah tersebut.

"Secara prinsip kalau kita menilai historical ya toleransi kerukunan di Indonesia itu sebetulnya di tingkat masyarakat basis itu oke-oke saja dan ini yang kita alami," katanya.

"Jadi kalau ada indeks toleransi, yaitu indeks kerukunan yang dimunculkan itu, selalu seringkali dipersoalkan. Lembaga-lembaga tertentu yang melakukan itu mengatakan bahwa kota kita atau daerah kita tidak toleran. Nah ini kenapa, karena ada situasi secara umum di mana masyarakat sebetulnya nggak punya masalah. Tetapi ya, ukuran-ukuran mereka akan berdasarkan kasus ya. Jadi semakin banyak kasus di daerah itu muncul, ya daerah itu akan disebut sebagai daerah yang mungkin tidak rukun ya intoleran dan lain-lain," terang pria yang juga pengamat Pemilu tersebut.

Jeirry sepakat dengan Ketua MUI Yusnar Yusuf Rangkuti, bahwa faktor yang membuat konflik kerukunan beragama sebetulnya ketika ada kepentingan, secara khusus pendirian politik dan mungkin kepentingan ekonomi yang banyak bermain di sana kemudian.

"Ada orang-orang tertentu yang merasa kurang atau merasa terganggu, katakanlah mempolitisasi agama gitu ya. Lalu kemudian memainkan itu. Kalau kita periksa hampir di semua kasus yang muncul, ya memang dimensi politik dan ekonomi itu cukup kuat," tandasnya.

Baca juga:

Maarif Institute Tegaskan Wali Kota Cilegon Langgar UUD 45 Karena Tolak Pendirian Gereja

Jadi agama itu bukan menjadi faktor menurutnya, tapi menjadi menjadi pemicunya. Unsur-unsur lain di luar agama yang memang mengelaborasi unsur-unsur subjektivitas orang, secara khusus terkait dengan agama.

"Dan itu yang kemudian menjadi atau terekspresi dalam bentuk-bentuk yang kita sebut mungkin intoleran ya, tidak rukun, dan seterusnya," tukasnya.

Untunglah kata Jeirry, muncul ikatan-ikatan atau relasi antar agama yang relatif berjalan baik melalui pembentukan organisasi seperti forum kerja sama umat beragama atau FKUB, seperti yang sekarang ada di Sulawesi Utara.

"Nah, sebetulnya munculnya organisasi-organisasi seperti itu ya karena ada gejala-gejala di masyarakat, ada kepentingan-kepentingan lain yang dimainkan dan membawa agama dan kemudian mempengaruhi masyarakat kita, sehingga mereka juga menjadi terprovokasi untuk mengikuti apa yang dimainkan oleh orang-orang yang punya kepentingan itu," tuturnya. []

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya