News Selasa, 13 September 2022 | 15:09

TAMPAK Sebut Penolakan Pembangunan Gereja HKBP di Cilegon adalah Tragedi

Lihat Foto TAMPAK Sebut Penolakan Pembangunan Gereja HKBP di Cilegon adalah Tragedi Wali Kota Cilegon Helldy Agustian. (Foto: Twitter)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Tim Advokat Penegakan Hukum dan Keadilan atau TAMPAK menyebut peristiwa penolakan pembangunan gereja HKBP Maranatha di Kota Cilegon, Banten, adalah sebuah tragedi.

Massa yang berdemo ke kantor DPRD Kota Cilegon pada Rabu, 7 September 2022 menyerukan penolakan pendirian gereja.

Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Sanuji Pentamarta ikut meneken pernyataan menolak pembangunan gereja di sebuah kain yang dibawa massa Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon tersebut.

"Penolakan pembangunan rumah ibadah bagi jemaat HKBP Maranatha Cilegon  ini menunjukkan betapa berkuasanya sekelompok massa untuk menentukan perizinan pembangunan rumah ibadah bagi warga negara di Cilegon," kata Judianto Simanjuntak selaku Jubir TAMPAK lewat pernyataan tertulis diterima Opsi, Selasa, 13 September 2022.

Ironisnya, Pemerintah Kota Cilegon melalui wali kota tunduk pada tekanan massa, bahkan turut serta menandatangani penolakan pembangunan gereja HKBP Maranatha Cilegon.

Menurut Judianto, TAMPAK menilai tindakan wali kota jelas merupakan pengingkaran dan pelanggaran terhadap hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB).

KBB dijamin dalam Pasal 28I Ayat (1) dan Pasal 29 Ayat (2) UUD 45, Pasal 22 Ayat (1) dan (2) UU No 39/1999 tentang HAM.

Baca juga:

Helldy Agustian, Wali Kota yang Ikut Menolak Bangunan Gereja di Cilegon

Pasal 18 Ayat (1) UU No 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 29 Ayat (2) dengan jelas menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

TAMPAK menegaskan, Pemerintah Kota Cilegon tidak melaksanakan dan mengabaikan kewajibannya untuk memenuhi, dan melindungi hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan jemaat Gereja HKBP Maranatha Cilegon.

Peristiwa Berulang

Kejadian yang terjadi di HKBP Maranatha Cilegon merupakan peristiwa berulang di negara ini. Baik yang dilakukan sekelompok massa dan pemerintah melalui aparat penegak hukum. 

Baca juga:

Polemik Gereja Cilegon, Menag: Kita akan Diskusikan Solusinya dengan Wali Kota dan Tokoh Masyarakat

Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) 2021 Setara Institute menyebutkan, tiga isu pelanggaran KBB yang dominan dilakukan oleh aktor negara, yakni diskriminasi (25 kasus), kebijakan diskriminatif (18 kasus), dan pentersangkaan penodaan agama (8 kasus). 

Enam isu pelanggaran KBB yang dominan dilakukan oleh aktor non-negara adalah intoleransi (62 tindakan), ujaran kebencian (27 kasus), penolakan pendirian tempat ibadah (20 kasus), pelaporan penodaan agama (15 kasus), penolakan kegiatan (13 kasus), penyerangan (12 kasus), dan perusakan tempat ibadah (10 kasus). 

Tren ini masih serupa dengan data KBB Setara Institute tahun 2020, dimana pelarangan kegiatan, gangguan rumah ibadah, dan tuduhan penodaan agama merupakan tiga isu dominan.

Laporan KBB Setara Institute tahun 2021 tersebut menyebutkan pada tahun 2021, pelanggaran KBB oleh aktor negara paling banyak dilakukan oleh kepolisian (16 tindakan) dan pemerintah daerah (15 tindakan). 

Pelanggaran KBB oleh aktor non-negara paling banyak dilakukan oleh kelompok warga (57 tindakan), individu (44 tindakan), dan organisasi masyarakat/ormas (22 tindakan). 

Adapun ormas yang paling banyak melakukan pelanggaran KBB adalah Majelis Ulama Indonesia atau MUI dengan 8 tindakan pelanggaran. 

Tiga diantaranya adalah penyesatan, yaitu menyatakan suatu aliran sebagai sesat dan menyesatkan, yang berimplikasi pada hilangnya hak untuk menganut kepercayaan sesuai nurani karena diberikan pembinaan maupun hilangnya hak menyebarkan suatu ajaran yang telah dianggap sesat oleh MUI.

"Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang dialami jemaat HKBP Maranatha Cilegon hanya salah satu kasus pelanggaran KBB, bahkan dari laporan KBB Setara Institute 2021 tersebut ada 20 kasus penolakan pendirian tempat ibadah," terang Judianto. 

Penolakan pembangunan Gereja HKBP Maranatha Cilegon dalam pandangan TAMPAK kata Judianto, juga mencederai prinsip  kehidupan berbangsa, yaitu kebhinekaan. 

Dimana negara yang menganut kebhinekaan, seharusnya menghormati setiap perbedaan termasuk perbedaan agama dan keyakinan.

Itu sebabnya TAMPAK mendesak pemerintah pusat harus melakukan upaya untuk menyelesaikan kasus ini. 

Pemerintah pusat memberikan perintah kepada Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon agar membatalkan tanda tangan penolakan pembangunan gereja HKBP Maranatha Cilegon.[]

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya