Pilihan Sabtu, 10 September 2022 | 13:09

Wali Kota Cilegon Menolak Gereja, Pura, Vihara, dan Abaikan Konstitusi

Lihat Foto Wali Kota Cilegon Menolak Gereja, Pura, Vihara, dan Abaikan Konstitusi Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan wakilnya Sanuji Pentamarta. (Foto: Cilegon.go.id)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Kasus penolakan pendirian rumah ibadah kembali terjadi. Kabar teranyar adalah di Kota Cilegon, Provinsi Banten, yakni soal penolakan pendirian gereja.

Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Cikuasa, Kelurahan Gerem, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon, tidak bisa mendirikan bangunan gereja menyusul sikap Wali Kota Cilegon Helldy Agustian yang mengamini penolakan warganya.

Secara terbuka Helldy mendukung sikap warga dengan menandatangani pernyataan menolak pendirian gereja, saat melakukan aksi unjuk rasa ke gedung DPRD Kota Cilegon pada Rabu, 7 September 2022.

Setelah peristiwa itu viral, Helldy berkilah bahwa penandatangan dilakukan demi memenuhi keinginan warga.

"Terkait dengan penandatanganan bersama yang dilakukan pada hari Rabu, 7 September 2022, perlu disampaikan bahwa hal tersebut adalah untuk memenuhi keinginan masyarakat Kota Cilegon yang terdiri dari ulama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan organisasi masyarakat," katanya, Kamis, 8 September 2022.

Meski alasan yang disampaikan sangat normatif, namun sikap Helldy tercermin dalam realitas pendirian rumah ibadah di wilayahnya. 

Sesuai data dari Maarif Institute, bahwa secara demografis terdapat lima agama yang dianut masyarakat Kota Cilegon.

Baca juga:

Kemenag: Jika Syarat Pembangunan Gereja Cilegon Terpenuhi, Kepala Daerah Harus Memfasilitasi

Islam sebesar 97 persen, Protestan 0,84 persen, Katolik 0,77 persen, Hindu 0,26 persen, dan Buddha 0,16 persen. 

Dari kelima agama itu tak ada satupun rumah ibadah, selain untuk pemeluk agama Islam. 

Jumlah masjid 381, dan musala 387. Sementara Gereja Protestan, Gereja Katolik, Pura, dan Vihara sama sekali tidak ada.

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas saat berkunjung ke HKBP di Tapanuli Utara, Sumatra Utara pada 20 Agustus 2022, menyebut pihaknya sudah melakukan komunikasi dengan Wali Kota Cilegon soal izin pendirian gereja HKBP Maranatha.

Dua kali stafnya menemui langsung Wali Kota Helldy. Namun upaya itu terbentur. Menteri Yaqut kemudian berjanji akan datang sendiri menemui wali kota.

Dikatakannya, dari proses awal mulai dari persetujuan warga, kepala desa, dan seterusnya HKBP sudah mendapatkan izin.

Persoalan justru terjadi di level atas, pemerintah kota atau wali kota yang secara sengaja tidak menerbitkan izin pendirian gereja HKBP. 

Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama Wawan Djunaedi meminta Wali Kota Cilegon Helldy Agustian untuk memenuhi hak-hak konstitusi setiap penduduk, termasuk hak beragama dan berkeyakinan.

Menurutnya, terkait pendirian rumah ibadah, sikap kepala daerah seharusnya merujuk pada Peraturan Bersama Menteri (PBM) antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006. 

PBM tersebut mengatur bahwa pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. 

Wawan menyebut pihaknya sudah bertemu dan mendiskusikan persoalan ini dengan Wali Kota Cilegon pada April 2022. 

Kemenag mengimbau Pemerintah Kota Cilegon untuk memedomani PBM Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.

Disebutnya, bertumpu pada data jumlah penganut agama Kristen dan Katolik sekitar 1,61 persen atau sekitar 7 ribuan ikhtiar untuk pendirian rumah ibadah sudah memenuhi kebutuhan nyata.

Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyesalkan aksi penolakan pendirian bangunan gereja yang dilakukan sekelompok warga dan didukung pula oleh Wali Kota Cilegon.

Kepala Humas PGI Jeirry Sumampouw menyebut, bahwa peristiwa ini sungguh mencederai amanat konstitusi yang memberikan garansi kesetaraan bagi setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah secara bebas, menurut agama dan keyakinan yang dianutnya.

Berhadapan dengan situasi ini menurut dia, kehadiran pemerintah mutlak diperlukan, sehingga tidak terkesan membiarkan jiwa konstitusi dilecehkan di hadapan para penguasa daerah.

Meski demikian, PGI akan terus mengupayakan dialog dan kerja sama sebagai cara bermartabat untuk mengelola perbedaan dan mengembangkan kerukunan.

"Kita tak boleh mengesampingkan terjadinya ketidakadilan, sekalipun atas nama kerukunan. Kebebasan beragama yang bertumpu pada keadilan bukanlah paradoks terhadap kerukunan, namun keduanya harus terintegrasi karena menerjemahkan perintah etis setiap agama," tuturnya. 

Jeirry meneruskan pesan PGI kepada seluruh umat Kristen untuk tetap mengedepankan nilai-nilai kasih dalam menyikapi peristiwa seperti ini.  

Koordinator Wilayah III Pengurus Pusat GMKI Andreas Simanjuntak menyebut kepala daerah tidak boleh takut terhadap tekanan massa.

Baca juga:

Maarif Institute Tegaskan Wali Kota Cilegon Langgar UUD 45 Karena Tolak Pendirian Gereja

Wali Kota Cilegon menurutnya, harus memiliki iktikad baik untuk memenuhi keinginan umat Kristiani di wilayah administrasinya.

Dia menegaskan, masyarakat tidak sulit untuk beribadah jika ada kemauan dari Wali Kota Cilegon dan Gubernur Banten untuk memfasilitasi pendirian rumah ibadah.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ikut mengecam sikap Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon yang ikut menolak pendirian gereja HKBP Maranatha di Cikuasa, Gerem, Kota Cilegon, Banten. 

"Kami mengecam keras tindakan diskriminasi, pelanggaran hak asasi manusia serta pengkhianatan terhadap konstitusi tersebut," kata Ketua YLBHI Muhamad Isnur pada Jumat, 9 September 2022.

Menurut Isnur, pihaknya menemukan informasi bahwa tindakan diskriminatif ini bukan merupakan kali pertama dilakukan Pemerintah Kota Cilegon.

Pemerintah Kota Cilegon telah menolak empat kali pengajuan izin gereja HKBP Maranatha sejak tahun 2006 dan lima kali menolak pengajuan izin Gereja Baptis Indonesia Cilegon sejak tahun 1995. 

Menurut Isnur, tindakan ini jelas-jelas bertentangan dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik, yakni persamaan perlakuan/tidak diskriminatif sebagaimana diatur dalam Pasal 344 Ayat (2) point (g) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Tindakan ini kata dia, nyata-nyata bertentangan prinsip pemenuhan, perlindungan dan penghormatan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana bunyi Pasal 29 Ayat (2) UUD NRI.

Konstitusi itu secara tegas menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 

Serta Pasal 22 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang No 39 Tahun 19 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaannya itu. 

Baca juga:

PGI Kecam Pelarangan Perizinan Pembangunan Gereja di Cilegon

YLBHI mendesak Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon segera meminta maaf atas tindakan intoleran dan memfasilitasi pendirian rumah ibadah warga Kota Cilegon, serta segera memberikan izin permohonan pendirian rumah ibadah tersebut di atas dan memberikan perlindungan sepenuhnya. 

Dia juga meminta Menteri Dalam Negeri agar menegur dan memberikan sanksi kepada Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon yang bertindak diskriminatif dalam pelayanan publik, serta menjamin tidak berulangnya tindakan serupa di wilayah lain. 

Presiden RI Joko Widodo juga agar memenuhi sumpah/janjinya untuk menegakkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sepenuhnya menjamin kemerdekaan tiap-tiap umat beragama untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, termasuk untuk mendirikan rumah ibadah.

Direktur Eksekutif Maarif Institute Abd Rohim Ghazali dalam sebuah surat terbuka yang dilayangkan kepada Wali Kota Cilegon, dipetik pada Sabtu, 10 September 2022, menyampaikan keprihatinan atas pelarangan kebebasan beragama tersebut. 

"Bapak Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang kami hormati. Sebagai anak bangsa kami sangat prihatin menyaksikan dan membaca berita tentang bapak berdua yang notabene sebagai pejabat negara ikut menandatangani penolakan pendirian Gereja Maranatha di Cikuasa, Gerem, Kota Cilegon, pada 7 September 2022," tulis Rohim

Rohim menilai kepala daerah tersebut telah melanggar amanat konstitusi, yakni Pasal 29 Ayat (2) UUD RI yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Tindakan Helldy dan Sanuji dianggap menghalangi warga negara untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan yang dianut. 

Dikatakannya, apabila penolakan itu dilakukan oleh warga negara, anggota masyarakat biasa, dapat dianggap bentuk aspirasi, atau hak untuk berekspresi. 

Walau sikap itu perlu dipertanyakan, karena menghalangi pendirian tempat ibadah atau menghalangi orang lain beribadah adalah bentuk perampasan terhadap hak asasi orang lain.

"Bagi bapak berdua sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota, penolakan pendirian rumah ibadah, selain melanggar konstitusi, juga melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 334 Ayat (2) poin (g) mengenai asas penyelenggaraan pelayanan publik, yakni persamaan perlakuan/tidak diskriminatif," katanya.

Konflik pendirian gereja di Indonesia sesuai data yang diperoleh dari PGI sejak 2015-2022 cukup sering terjadi.

Bentuknya adalah penyerangan oleh sekelompok warga hingga perizinan yang belum tuntas atau sulit diperoleh. 

Pada periode 2015-2018 ditemukan sebanyak 26 kasus pendirian gereja, periode 2019, sebanyak 6 gereja bermasalah, tahun 2020 sebanyak 9 gereja, tahun 2021 sebanyak 2 gereja dan tahun 2022 sebanyak 3 gereja ditutup. []

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya