News Sabtu, 10 September 2022 | 12:09

Maarif Institute Tegaskan Wali Kota Cilegon Langgar UUD 45 Karena Tolak Pendirian Gereja

Lihat Foto Maarif Institute Tegaskan Wali Kota Cilegon Langgar UUD 45 Karena Tolak Pendirian Gereja Wali Kota Cilegon Helldy Agustian. (Foto: Twitter)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Maarif Institute melayangkan surat terbuka kepada Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Sanuji Pentamarta terkait penolakan pendirian gereja di Kota Cilegon.

Kedua pejabat daerah di Banten itu ikut menandatangani penolakan pendirian gereja bersama sejumlah warga saat melakukan aksi unjuk rasa ke gedung DPRD Kota Cilegon pada Rabu, 7 September 2022 lalu.

Aksi keduanya direkam dalam bentuk video dan beredar di media sosial. Penolakan pendirian gereja di atas lahan milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Maranatha di Cikuasa, Kelurahan Gerem, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon, tersebut menuai sorotan berbagai kalangan.

Direktur Eksekutif Maarif Institute Abd Rohim Ghazali dalam surat terbukanya yang dipetik dari akun Twitter pada Sabtu, 10 September 2022, menyampaikan keprihatinan atas pelarangan kebebasan beragama tersebut. 

"Bapak Walikota dan Wakil Walikota yang kami hormati. Sebagai anak bangsa kami sangat prihatin menyaksikan dan membaca berita tentang bapak berdua yang notabene sebagai pejabat negara ikut menandatangani penolakan pendirian Gereja Maranatha di Cikuasa, Gerem, Kota Cilegon, pada 7 September 2022," tulis Rohim.

Rohim menilai kepala daerah tersebut telah melanggar amanat konstitusi, yakni Pasal 29 Ayat (2) UUD RI yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Tindakan Helldy dan Sanuji dianggap menghalangi warga negara untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan yang dianut. 

Baca juga:

Menolak Pendirian Gereja, Wali Kota Cilegon Khianati UUD 45

"Karena keberadaan rumah ibadah adalah keniscayaan dalam setiap proses peribadatan bagi setiap pemeluk agama. Menghalangi pendirian rumah ibadah sama artinya dengan menghalangi warga negara untuk beribadah," katanya.

Dikatakannya, apabila penolakan itu dilakukan oleh warga negara, anggota masyarakat biasa, dapat dianggap bentuk aspirasi, atau hak untuk berekspresi. 

Walau sikap itu perlu dipertanyakan, karena menghalangi pendirian tempat ibadah atau menghalangi orang lain beribadah adalah bentuk perampasan terhadap hak asasi orang lain.

"Bagi bapak berdua sebagai Walikota dan Wakil Walikota, penolakan pendirian rumah ibadah, selain melanggar konstitusi, juga melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 334 Ayat (2) poin (g) mengenai asas penyelenggaraan pelayanan publik, yakni persamaan perlakuan/tidak diskriminatif," katanya.

Disebutnya, Maarif Institute memiliki data bahwa secara demografis terdapat lima agama yang dianut oleh masyarakat Kota Cilegon, yakni Islam sebesar 97 persen, Protestan 0,84 persen, Katolik 0,77 persen, Hindu 0,26 persen, dan Buddha 0,16 persen. 

Dari kelima agama itu tak ada satupun rumah ibadah selain untuk pemeluk agama Islam. Jumlah masjid 381, mushala 387, sementara Gereja Protestan, Gereja Katolik, Pura, dan Wihara jumlahnya nihil alias zero.

"Bapak Walikota dan Wakil Walikota yang kami hormati. Surat ini kami tulis bukan untuk mendiskreditkan, atau mengecam, tapi sebagai bentuk nasihat kami terhadap sesama Muslim. Bukankah dalam al-Quran kita dianjurkan, atau bahkan diperintahkan untuk saling nasihat-menasihati satu sama lain, agar kita tidak merugi," ungkapnya.

Rohim berharap keduanya dapat menaati amanat konstitusi dan undang-undang dengan memberikan kebebasan kepada warga negara memeluk agama dan beribadah sesuai perintah agamanya masing-masing, tidak diskriminatif, memperhatikan dan memenuhi kebutuhan suatu kelompok penganut agama, tidak mengabaikan kebutuhan kelompok penganut agama yang lain. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya