News Selasa, 29 Juli 2025 | 15:07

Perbankan Nasional Masih Lemah dalam Komitmen Lingkungan

Lihat Foto Perbankan Nasional Masih Lemah dalam Komitmen Lingkungan Ilustrasi perbankan. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

Jakarta – Sebagian besar bank di Tanah Air, masih menempatkan aspek lingkungan sebagai prioritas rendah dalam keputusan pembiayaan.

Meskipun telah ada kemajuan formal melalui penerbitan laporan keberlanjutan dan adopsi sebagian prinsip ESG (Environmental, Social and Governance).

Hal ini sebagaimana terungkap dalam laporan Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF) bersama Forest Watch Indonesia (FWI).

Kedua lembaga meluncurkan laporan Indeks Investasi Hijau II yang mengkaji praktik keuangan berkelanjutan oleh 13 bank nasional dan internasional di Indonesia pada periode 2017–2023. 

Bank Rakyat Indonesia (BRI) meraih skor tertinggi dengan nilai indeks 82,85 dan satu-satunya bank yang dikategorikan “Sangat Bagus”. 

Diikuti oleh Bank Negara Indonesia (BNI), Bank BTPN, dan Bank OCBC dalam kategori “Bagus”. Sebaliknya, Bank Permata mencatat skor terendah, mencerminkan masih rendahnya komitmen terhadap pembiayaan hijau dan pelaporan ESG.

Direktur IWGFF Willem Pattinasarany, menyatakan bahwa hasil ini memperlihatkan adanya gap serius antara kepatuhan administratif dengan transformasi substansial. 

“Banyak bank telah mematuhi kewajiban administratif seperti pelaporan keberlanjutan, tetapi sangat sedikit yang benar-benar mengubah orientasi bisnisnya untuk mendukung transisi ekonomi hijau. Padahal, sektor jasa keuangan bisa menjadi motor utama perubahan menuju pembangunan berkelanjutan," katanya dalam rilis yang diterima, Selasa, 29 Juli 2025.

Diungkap, kajian ini menilai lima prinsip utama dalam praktik perbankan hijau, yakni pengelolaan risiko sosial dan lingkungan; pengembangan sektor ekonomi berkelanjutan; tata kelola dan pelaporan; kemitraan dan peningkatan kapasitas; serta rencana aksi keuangan berkelanjutan.

BACA JUGA: GMKI: Usut Tuntas Pelaku Perusakan Rumah Ibadah di Kota Padang

Marius Gunawan, peneliti kajian ini, menjelaskan bahwa tantangan utama terletak pada transparansi dan keberanian lembaga keuangan untuk menyasar proyek hijau yang sesungguhnya berdampak. 

“Masih banyak bank yang tidak mengadopsi prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent), bahkan enggan mempublikasikan Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan mereka. Ini menunjukkan bahwa prinsip keberlanjutan belum benar-benar menjadi inti strategi bisnis,” jelasnya.

Selain itu, Derry Wanta, salah satu penyusun laporan, menyoroti bahwa pendekatan bank masih bersifat reaktif dan tidak proaktif dalam mendorong transisi hijau. 

“Beberapa bank memang telah menerbitkan green bonds dan mendanai proyek energi terbarukan. Tapi jumlahnya masih sangat kecil dibanding portofolio kredit sektor berbasis lahan yang berdampak tinggi terhadap lingkungan,” katanya.

Laporan juga menemukan bahwa inisiatif Green Banking cenderung lebih berkembang di bank besar milik negara seperti BRI dan BNI. 

Namun, bank-bank swasta seperti OCBC dan BTPN juga menunjukkan progres positif. Praktik terbaik yang diidentifikasi antara lain penggunaan energi terbarukan di kantor pusat, pembentukan divisi ESG khusus, serta integrasi asesmen risiko lingkungan dalam proses kredit.

Meski begitu, sebagian besar bank belum secara konsisten menerapkan pendekatan keberlanjutan pada sektor-sektor berisiko tinggi seperti kehutanan dan perkebunan.

IWGFF lantas merekomendasikan sejumlah langkah strategis untuk memperkuat adopsi perbankan hijau, termasuk mewajibkan publikasi RAKB secara terbuka, mendorong adopsi FPIC dalam pembiayaan sektor berbasis lahan, memberikan insentif fiskal untuk investasi hijau, dan memperkuat regulasi agar tidak hanya bersifat administratif.

IWGFF berharap regulator, industri keuangan, dan masyarakat sipil dapat bersama-sama mendorong praktik pembiayaan yang lebih bertanggung jawab dan berpihak pada kelestarian lingkungan serta perlindungan hak masyarakat terdampak. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya