Pilihan Senin, 03 Januari 2022 | 14:01

Resensi Buku: Diplomasi Soekarno dan Tantangan Presidensi G20

Lihat Foto Resensi Buku: Diplomasi Soekarno dan Tantangan Presidensi G20 Cover buku Diplomasi Soekarno dan Tantangan Presidensi G20. (Foto: Opsi/Istimewa)
Editor: Eno Dimedjo

Oleh: Virdika Rizky Utama, Peneliti di PARA Syndicate

Diplomasi acap kali terpinggirkan dalam narasi utama sejarah Indonesia. Justru, perjuangan fisik—terutama militer— hampir selalu mendapat tempat utama dalam sejarah Indonesia dengan dalih perjuangan fisik memiliki nilai heroisme dan patriotik.

Padahal, diplomasi memiliki peran dan fungsi yang tak kalah penting bagi sejarah sebuah bangsa. Hanya dengan diplomasi, secara tidak langsung Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai sebuah negara dan bangsa yang berdaulat. Sebab, diplomasi erat kaitannya dengan pengakuan dari negara lain—sebuah faktor yang sangat diperlukan sebagai syarat berdirinya negara.


Perjalanan sejarah diplomasi Indonesia mengalami pasang-surut dalam tahun-tahun awal kemerdekaannya. Sebagai negara yang memproklamasikan diri pada 17 Agustus 1945, tetapi baru mendapat pengakuan sebagai sebuah negara merdeka pada 27 Desember 1949, setelah menyepakati hasil Konferensi Meja Bundar (KMB)—salah hasilnya penundaan pemindahan kekuasaan Irian barat.

Namun, mendapatkan pengakuan sebagai negara merdeka, tak lantas membuat Indonesia dapat dengan mudah bergaul dan bekerja sama dengan negara-negara di dunia. Padahal, sebagai negara yang baru merdeka Indonesia memerlukan kerja sama dengan negara-negara lain yang jauh lebih mapan untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan politik pasca-perang dunia II.

Setidaknya, ada dua sebab Indonesia dipersulit untuk mengadakan diplomasi antara negara: pertama, tuduhan terhadap Presiden Soekarno sebagai kolaborator fasisme Jepang. Kedua, perang dingin yang terjadi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pasca-perang dunia II—Indonesia harus memihak salah satu diantaranya. Melihat situasi tersebut, Soekarno mencanangkan politik luar negari Indonesia yang bebas aktif; berkawan dengan siapa saja dan tidak mau memihak Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Selain Konferensi Asia-Afrika (KAA), menurut Sigit Aris Prasetyo, praktik politik yang tidak memihak sudah dijalankan oleh Soekarno dengan mencoba bekerja sama dengan Amerika Serikat. Pada 1956, Soekarno mengunjungi Amerika Serikat dengan salah satu tujuannya adalah membeli persenjataan untuk melawan Belanda di Irian Barat.

Namun, perlakuan yang mengecewakan justru dialami Soekarno. Ia ditelantarkan oleh Presiden Amerika Serikat Einshower di Gedung Putih. Tak hanya itu, Amerika Serikat juga menolak untuk menjual senjatanya ke Indonesia, karena dikhawatirkan akan digunakan untuk melawan Belanda—sekutu Amerika Serikat (hlm.74).

Tak kehabisan akal, Soekarno mencoba untuk berdiplomasi dan bernegosiasi dengan Uni Soviet yang kala itu baru dipimpin oleh Khrushchev. Hasilnya tak mengecewakan. Soekarno menerima perlakuan yang sangat baik tak hanya oleh pemimpin, tapi juga oleh rakyat Uni Soviet dengan upacara penyambutan yang megah dan meriah. Padahal, Soekarno awalnya tak pernah sama sekali mentedekati Uni Soviet untuk berdiplomasi mendapatkan kerja sama ekoomi dan militer. (hlm.75).

Sigit mencatat, tak banyak kendala yang dihadapi oleh Soekarno dan Uni Soviet dalam menyepakati poin-poin kerja sama di bidang militer, ekonomi, dan budaya.  Salah satu penyebabnya hal itu dapat berjalan dengan lancar adalah adanya kedekatan pribadi antara Soekarno dan Khrushchev.

Kedua pemimpin ini memiliki kesamaan sifat yang tegas, tak mau didikte oleh siapapun, tetapi juga dapat menghargai lawan bicaranya. Sifat-sifat tersebut tercermin dalam sikapnya yang sama-sama menolak imperiaslisme, tetapi berbeda pendapat soal ideologi yang dianut untuk melawan imperealisme. Maka sangat tepat bila penulis memberi judul "Soekarno & Khrushchev: Beda Ideologi, Satu Hati."

Khrushchev sebagai pemimpin besar negara komunis memercayai bahwa hanya dengan komunisme, imprealisme bisa runtuh. Tak hanya memercayai, ia juga membanggakan komunisme saat berkunjung dan mendapat kesempatan berpidato di Indonesia pada 1960 serta meminta rakyat Indonesia untuk turut serta dalam gerakan komunisme dunia (hlm.159-160).

Namun, hal itu ditentang oleh Soekarno. Menurut Soekarno, rakyat Indonesia tak bisa dipaksakan untuk menganut komunisme. Rakyat Indonesia memiliki caranya sendiri, yaitu dengan semangat nasionalisme dan Pancasila. Sebab, rakyat Indonesia memiliki keyakinan kuat terhadap agama yang juga memiliki semangat untuk melawan penindasan. “Rakyat Indonesia telah memilih dan memiliki landansan berbangsa dan bernegara sesuai dengan nilai dan kepribadiannya sendiri,” tegas Soekarno (hlm.163) Pernyataan tersebut sekaligus menepis anggapan bahwa dengan dekat bekerja sama dengan Uni Soviet, Soekarno menjadi seorang komunis.

Penulis memaparkan, kedekatan personal yang dimiliki dua negara tersebut, membuat diplomasi Indonesia-Uni Soviet sangat dekat dan berkualitas. Indonesia, setidaknya dapat memiliki Stadion Utama Gelora Bung Karno, pabrik pengolahan baja Krakatau Steel dan Rumah Sakit Persahabatan di Jakarta, sebagai buah diplomasinya dengan Uni Soviet (hlm.325).

*
50 tahun berlalu, situasi politik dan ekonomi dunia berubah. Begitu juga dengan Indonesia. Kini, tak ada lagi perang dingin dan konfrontasi yang dihadapi Indonesia. Tantangan yang dihadpi oleh Indonesia dan dunia internasional pun berubah. Tantangan perubahan iklim menjadi yang paling mendesak.

Pada 2019, sebuah survei yang dilakukan YouGov-Cambridge Globalism Project menunjukkan, Indonesia menjadi negara dengan masyarakat yang paling banyak tidak percaya bahwa perubahan iklim terjadi akibat ulah manusia. Indonesia berada di peringkat pertama dari 23 negara, dengan persentase 18 persen. Sementara, posisi kedua dan ketiga ditempati Arab Saudi (16 persen) dan Amerika Serikat (13 persen).

Padahal, dalam sebuah pertemuan Intergovernmental Panels on Climate Change (IPCC) 2015, para ilmuwan di seluruh dunia sepakat bahwa katastrofe pemanasan yang terjadi disebabkan oleh manusia (Christiana Figueres dan Tom Rivett-Carnac: 2020). Bahkan, laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa satu juta spesies tumbuhan dan hewan akan menghadapi kepunahan karena perilaku manusia.

Hal tersebut mendapat prioritas lebih untuk ditangani ketik Indonesia pada akhir 2021 lalu ditetapkan sebagai presidensi negara-negara maju (G-20). Forum G20 merupakan forum internasional yang terdiri dari 19 negara dan Uni Eropa, dibentuk pada 1999 dengan fokus pada perekonomian dan keuangan global.

G20 berisikan kumpulan negara dengan ekonomi terbesar yaitu mencapai 80 persen produk dunia bruto, 75 persen perdagangan dunia, dan 60 persen populasi dunia. G20 tidak memiliki ketua tetap, sehingga tiap tahun salah satu anggota grup digilir menjadi presidensi G20.

Indonesia harus bisa membuat negara-negara itu bersedia masuk ke dalam kesepakatan yang bertujuan menjaga kenaikan suhu bumi tak lebih dari 1,5 derajat celsius. Sebab, sampai saat ini belum ada komitmen dan tindakan nyata untuk menjaga kenaikan suhu bumi, contohnya deforestasi yang terus terjadi.

Di ranah politik internasional, Indonesia mesti mampu memaksmikalkan presidensi G20 ini untuk menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif dan mengimplementasikan cita-citanya untuk menciptakan kedamaian dan ketertiban dunia. Indonesia bisa sangat berperan untuk upaya penyelesaian konflik di kawasan Asia Tenggara—seperti di Myanmar— dan di berbagai penjuru dunia lainnya.

Dengan begitu, apa yang sudah dicita-citakan dan pernah dijalankan oleh para pendiri bangsa terus dapat berlanjut. Dengan begitu, sejarah tak menjadi benda mati, tetapi menjadi kata kerja yang terus dijalankan sepanjang negara ini berdiri. Selain itu, kita tak kebingungan menentukan arah dan tujuan bernegara dan bergaul dengan dunia internasional. []

Resensi:

Judul Buku: Sukarno dan Khrushchev; Beda Ideologi, Satu Hati.
Penulis: Sigit Aris Prasetyo
Tahun Terbit: Cetakan I, Juni 2021
Penerbit: Imania
Tebal: 350 Halaman, ISBN 978-602-7926-59-2

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya