Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mendalami potensi tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan aktivitas pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Kajian awal telah dilakukan oleh tim dari Deputi Koordinasi dan Supervisi KPK untuk mengidentifikasi indikasi penyimpangan dalam pengelolaan sektor tambang tersebut.
Ketua KPK Setyo Budiyanto menyebutkan, proses kajian masih dalam tahap penelaahan mendalam.
Lembaga antikorupsi itu belum mengambil kesimpulan soal ada atau tidaknya unsur pidana korupsi dalam kegiatan tambang yang berlangsung di kawasan sensitif tersebut.
“Sebenarnya kami sudah melakukan kajian. Jadi dari Kedeputian Koordinasi dan Supervisi, itu sudah melakukan semacam kegiatan di sana, kemudian melihat potensi-potensinya seperti apa,” ujar Setyo di Gedung KPK, Jakarta, Jumat, 13 Juni 2025.
Namun, lanjutnya, kajian tersebut belum sampai pada kesimpulan akhir. “Apakah memang ada indikasi korupsi? Tentu itu masih menjadi sebuah telaah, dan nanti ada proses yang harus dilewati,” imbuhnya.
Belum Masuk Proses Penindakan
KPK menegaskan bahwa saat ini kajian masih berada dalam ranah koordinasi dan supervisi. Belum ada peningkatan ke tahap penyelidikan atau penindakan.
Meski demikian, hasil kajian nantinya akan diteruskan kepada kementerian dan lembaga terkait untuk ditindaklanjuti secara administratif maupun kebijakan.
Setyo menjelaskan, kementerian yang akan menerima rekomendasi tersebut mencakup Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta pemerintah daerah Papua Barat Daya.
“Termasuk soal potensi permasalahan yang sudah ada atau bisa terjadi ke depannya, tetap akan kami sampaikan,” ujar Setyo.
Langkah ini mencerminkan pendekatan awal KPK yang bersifat preventif dan berbasis pengawasan lintas sektor, sebelum mengambil langkah hukum yang lebih lanjut jika ditemukan cukup bukti.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto memutuskan mencabut izin usaha pertambangan (IUP) milik empat perusahaan tambang nikel di Kabupaten Raja Ampat.
Keputusan itu diambil dalam rapat terbatas bersama sejumlah menteri di Hambalang, Jawa Barat, pada Senin lalu, 9 Juni 2025.
Empat perusahaan yang dicabut izinnya adalah PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengatakan bahwa langkah Presiden dilakukan untuk merespons kekhawatiran terhadap dampak lingkungan serta perlunya penataan kembali tata kelola tambang di wilayah kepulauan tersebut.
“Beliau memutuskan pemerintah akan mencabut izin usaha pertambangan untuk empat perusahaan di Kabupaten Raja Ampat,” kata Pras.
Arah Investigasi Menguat
Kajian KPK terhadap kegiatan tambang ini menambah daftar lembaga negara yang menyoroti aktivitas eksploitasi nikel di kawasan Raja Ampat.
Sebelumnya, Komnas HAM juga menyoroti potensi pelanggaran hak asasi manusia yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut, khususnya hak atas lingkungan hidup yang sehat.
Rangkaian pencabutan izin, pengawasan lintas lembaga, dan perhatian publik yang tinggi menjadi tanda bahwa pengelolaan tambang di Raja Ampat tidak lagi bisa berjalan tanpa transparansi dan akuntabilitas.
Meski KPK belum menyatakan akan naik ke tahap penyelidikan, sinyal awal dari lembaga antikorupsi ini memberi pesan kuat bahwa sektor tambang nikel di wilayah timur Indonesia kini berada di bawah radar pengawasan ketat.[]