*Oleh: Andre Vincent Wenas (Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Perspektif)
Fenomena Donald Trump dan Brexit sebagai tonggak sejarah kontemporer yang berkorelasi dengan politik pasca-kebenaran (post-truth), melampaui yang benar, mestinya jadi mercusuar penanda atau pengingat bagi kita semua agar tidak karam gegara terbentur karang-bohong.
Kita semua (yang waras) tentu menyesalkan masih banyaknya pihak yang terus membangun opini-ngibul, misalnya saja soal utang negara, soal ijazah Jokowi, soal dukungan konferensi uskup untuk Anies, piagam penghargaan palsu/beli, ganti-ganti istilah atau nama serta upaya tipsani (tipu sana-sini), apalagi di masa menjelang pemilu serentak ini. Pathetic memang.
Pandangan berat sebelah, tidak berimbang, memalsukan atau menutupi sebagian kebenaran. Seolah "telling the truth, BUT NOT the whole truth" maka tetaplah intensinya menyesatkan.
Akibatnya masyarakat bisa saling curiga, kredibilitas negara tererosi, yang ujungnya memecah-belah bangsa. Kalau sudah terpecah-belah begitu, mereka bakal merangsek menguasai (devide et impera). Siapa "mereka" itu? Mereka adalah jamaah-koruptiah, barisan sakit-hati yang berkolusi dengan mafia-politik serta kaum radikal-fundamentalis yang punya agenda trans-nasional.
Kibulan mereka kalau terus menerus dikumandangkan berisiko menginfeksi rasionalitas masyarakat. Inilah taktik politik post-truth para tukang kibul.
Menurut kamus Oxford, post-truth atau pasca-kebenaran adalah suatu kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik. Fakta itu terkubur oleh emosi dan keyakinan personal. Idolatry, pemberhalaan tokoh, parpol atau paham tertentu. Kritik ideologi mati suri.
Sikap pengecut para penyiar kabar bohong yang terus giat mempropagandakan kibulannya yang kerap juga disertai sumpah serapah, makian dan cacian ini tentu saja tidak bisa dibiarkan tanpa perlawanan.
Narasi tandingan (counter narrative) yang lebih kuat frekuensinya mesti terus mengudara membersihkan ruang publik dari polusi siaran kebohongan itu. Hanya saja narasi tandingan dari kita mesti yang cerdas, tetap elegan dan mendidik. Bukan saling balas sumpah serapah.
Maka sudah tepatlah langkah banyak tokoh masyarakat sipil yang tanpa kenal lelah terus menerus membeberkan fakta, data dan argumentasi logis dalam narasi tandingannya. Mematahkan sesat pikir dan logika bengkok para penyiar kabar bohong.
Para pengibul ini - seperti biasa - akan membengkokkan logika berpikir dengan lari dari argumentasi yang sahih dengan cara menyerang individu penyampai pesan (argumentum ad hominem), atau "killing the messenger". Ketika substansi pesan tak mampu dibantah maka yang dijatuhkan adalah kredibilitas si penyampai pesan. Ibarat buruk rupa cermin dibelah.
Sikap kurang beradab seperti ini kerap diperlihatkan oleh orang-orang yang sakit hati lantaran kalah di sana-sini.
Mentalitas pecundang seperti ini berakar pada kepahitan yang membeku jadi dendam kesumat, akhirnya berbuah sinisme. Ujungnya actus dendam yang menghalalkan segala cara hanya demi menyalurkan kesumatnya.
Maka dualitas pengendalian sosial (persuasif dan koersif) perlu dilakukan, baik olah otoritas maupun masyarakat sipil. Kita perlu menjernihkan kembali ruang publik yang terkotori polusi kibulan mereka.
Sekaligus menyetop segala propaganda jahat (agitasi, kampanye bohong terus-menerus) yang berisiko bikin bingung masyarakat sekaligus bisa menghancurkan sistem demokrasi itu sendiri.
Lantaran sistem demokrasi (demos-kratos), pemerintahan oleh rakyat) itu mensyaratkan kejujuran dan keadilan (jurdil) dalam mekanisme yang terbuka (transparan) dan dialog-cerdas (argumentatif). Bukan duolog-dungu (debat kusir) tanpa jangkar argumentasi logis berdasar fakta.
Berbagai media (arus utama maupun sosmed) harus digunakan sebagai saluran pesan yang intensinya demi menjernihkan ruang publik dari disinformasi yang memecah-belah bangsa.
Kabarkan kembali, berulang-ulang tanpa lelah, bahwa kita semua ini sejatinya bertanah air yang satu, tanah air Indonesia. Berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Punya satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Jangan mau dibodohi, jangan mau membalas sumpah serapah, dan jangan mau dipecah-belah.
Selamat memperingati hari Sumpah Pemuda. Solidaritas Indonesia! (28 Oktober 2022)