Pilihan Kamis, 13 Oktober 2022 | 01:10

Opini Juliaman Saragih: Mewaspadai Politisasi Agama di Pilpres 2024

Lihat Foto Opini Juliaman Saragih: Mewaspadai Politisasi Agama di Pilpres 2024 Pemerhati Kebijakan Publik sekaligus Direktur Nation and Character Building Institute (NCBI), Juliaman Saragih. (Foto: Opsi/Istimewa)
Editor: Eno Dimedjo

Oleh: Juliaman Saragih, Pengamat Politik, Ketua/Pendiri NCBI

Masih membekas kuat residu hitam pembelahan masyarakat akibat gerakan politisasi agama atau politik identitas saat pemilihan Gubernur DKI 2017.

Fakta lainnya, gerakan politisasi agama dalam berbagai ekspresi radikal ini sudah mengakar jauh dan menjelma menjadi kekuatan sosial dan politik. Tidak heran bila kelompok ini berani secara terbuka mau menggantikan Pancasila dengan ideologi lain yang sangat ekslusif.

Jadi wajar, menyongsong Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Presiden Jokowi menegaskan urgensi pendidikan politik pada masyarakat agar masyarakat tidak terprovokasi bahkan terbelah oleh gerakan politisasi agama ataupun politik identitas bahkan radikalisme agama (12/4/2022).

Mengutip data dan temuan dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang menyatakan sejumlah siswa dan guru terpapar paham radikal dan intoleran melalui materi ajar dan media sosial. Sebesar 34,3% siswa memiliki pandangan (opini) intoleran, dan 17,3% mewujudkannya dalam tindakan; sebesar 58,5% siswa punya opini radikal, dan 7% menyatakannya dalam tindakan; di kalangan guru, sebesar 29,2% berpikir intoleran dan 24,2% mewujudkannya menjadi aksi nyata, serta 23% punya pandangan radikal, dan 6,4% menyatakannya dengan tindakan (21/12/2017).

Badan Intelijen Negara (BIN) menyatakan 43 Mesjid dari 100 Mesjid di beberapa Kementerian hingga BUMN terindikasi terpapar radikalisme (18/11/2018).

Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, menyatakan 23,4% mahasiswa setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam atau khilafah; 23.3% pelajar SMA setuju jihad untuk negara Islam; 18,1% pegawai tak setuju dengan ideologi Pancasila; 9,1% pegawai BUMN menyatakan tak setuju dengan ideolog negara, dan kurang dari 3% ada anggota TNI terpengaruh dan tak setuju Pancasila (19/6/2019).

Bahkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengakui radikalisme sudah masuk ke Kementerian Keuangan (19/12/2019). Belum lagi data dan temuan lainnya juga, termasuk di berbagai lembaga perguruan tinggi, baik negeri dan swasta.

Jika kita konversikan data dan temuan diatas ke dalam jumlah orang, dengan merujuk pada jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilpres 2019 sebesar 192.866.255 orang, akan terbaca kuantitas jumlah yang tidak bisa disepelekan oleh penyelenggara pemilu dan pemerintah.

Misalnya, dari konversi data dan temuan Menteri Pertahanan berarti ada sekitar 45.130.703 mahasiswa setuju dengan jihad; sekitar 44.937.837 pelajar SMA setuju jihad untuk negara Islam; sekitar 34.908.792 pegawai tidak setuju dengan Pancasila; sekitar 17.550.829 pegawai BUMN tidak setuju dengan Pancasila, dan sekitar 5.785.987 anggota TNI terpengaruh dan tidak setuju dengan Pancasila.

Temuan dan pernyataan tersebut diatas mengkonfirmasi bahwa gerakan kelompok radikal sudah merangsek ke sendi-sendi negara, yakni lembaga-lembaga vital dan strategis negara. Kalau lembaga vital dan strategis negara sudah disusupi atau bahkan dikuasi oleh kelompok radikalis, perjalanan bangsa ini ke depan akan mengalami turbulensi yang sangat dahsyat.

Pernyataan Presiden Jokowi diatas menemui titik pembenaran faktual, atau dari sisi ekstrem, wacana negara khilafah sudah mendapatkan tempat dalam sistem birokrasi dan kekuasaan.

Ancaman ini menjadi semakin berbahaya jika tidak segera dicegah dan diurai akar dan jaringannya.

Maka itu selain urgensi pendidikan politik terhadap masyarakat yang dilakukan melalui jalur kementerian dalam negeri (kemendagri), kepolisian dan kejaksaan. Perlu juga segera diambil tindakan kurasi konten agar gerakan kelompok radikal ini tidak merangksek jauh ke sendi-sendi kehidupan kita sebagai bangsa.

Terpenting dan terutama, belajar dari keriuhan media sosial di 2017 dan 2019, Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo) adalah pihak yang harus bertanggung-jawab dalam proses menemukan dan mengumpulkan informasi yang mengandung hoax atau ujaran kebencian baik atas nama agama atau SARA dalam berbagai media sosial atau produk elektronik, sebelum menyajikan dan mendistribusikan isi konten digital tersebut.

Jakarta, 12 Oktober 2022
Juliaman Saragih, Pengamat Politik, Ketua/Pendiri NCBI

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya