Oleh: Penulis: Dwi Duma CR (Mahasiswa Magister Universitas Indonesia)
Pada tahun 2020, Indonesia dikejutkan dengan langkah Telkom Indonesia yang membatasi akses ke layanan streaming Netflix untuk pelanggan Indihome, salah satu layanan internet utama di Indonesia.
Langkah ini, meskipun diklaim oleh Telkom sebagai upaya untuk "perlindungan konten", memicu perdebatan panjang mengenai praktik monopoli, kebijakan antitrust, dan bagaimana sebuah perusahaan besar bisa menggunakan kontrolnya atas infrastruktur untuk menghambat persaingan.
Banyak yang bertanya-tanya: Apakah ini langkah perlindungan konsumen atau upaya menyingkirkan kompetitor? Dengan alasan "perlindungan konten", Telkom mencegah jutaan pelanggan Indihome menikmati layanan streaming populer ini, sementara layanan internal mereka seperti UseeTV dan MAXstream terus berkembang.
Kasus ini bukan sekadar tentang teknologi, tetapi mencerminkan dilema besar dalam dunia bisnis: kapan tindakan perusahaan menjadi alat efisiensi, dan kapan itu berubah menjadi praktik antimonopoli yang merugikan konsumen? Setelah protes publik yang intens, pembatasan akhirnya dicabut, membuka jalan untuk persaingan yang lebih sehat di industri streaming Indonesia. Tapi, apa sebenarnya yang terjadi di balik layar?
Dalam menganalisis kasus ini, kita dapat menggunakan pendekatan Ekonomi Biaya Transaksi yang dikembangkan oleh Oliver Williamson, serta teori-teori antitrust yang dibahas oleh Paul Joskow dan Williamson (1976).
Pendekatan ini memberi kita kerangka untuk memahami mengapa Telkom bertindak seperti itu dan bagaimana kebijakan antitrust bisa meresponsnya. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi teori ekonomi yang mendasari keputusan Telkom dan dampaknya terhadap persaingan pasar, serta bagaimana kebijakan antitrust seharusnya menanggapi situasi semacam ini.
Latar Belakang Kasus Telkom Indihome dan Netflix
Telkom Indonesia, melalui layanan Indihome-nya, mengontrol sebagian besar infrastruktur internet di Indonesia.
Di sisi lain, Netflix adalah platform streaming internasional yang, pada saat itu, semakin mendominasi pasar hiburan digital Indonesia. Meskipun memiliki banyak pengguna, Telkom merasa bahwa layanan streaming seperti Netflix bisa mengancam keberadaan layanan streaming milik mereka, seperti UseeTV dan MAXstream, yang sudah berjalan.
Oleh karena itu, Telkom mengeluarkan kebijakan yang membatasi akses pengguna Indihome untuk mengakses Netflix.
Dalam kasus ini, Telkom mengklaim bahwa pembatasan tersebut adalah langkah perlindungan konten untuk memastikan tidak ada gangguan pada kualitas layanan mereka.
Namun, banyak pihak menganggap kebijakan tersebut sebagai strategi untuk melindungi produk Telkom dari persaingan yang lebih kuat, yang memunculkan tuduhan adanya praktik anti-persaingan. Netflix, sebagai pesaing yang semakin kuat, tidak hanya mengandalkan akses internet dari Telkom tetapi juga membutuhkan jaringan yang lebih besar dan stabil.
Dengan membatasi akses tersebut, Telkom secara tidak langsung mencoba untuk mengendalikan pasar dan membatasi akses ke pesaingnya. Inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan tentang kebijakan antitrust dan perlindungan terhadap persaingan yang sehat.
Teori Ekonomi Biaya Transaksi: Mengapa Telkom Membatasi Akses?
Untuk memahami motivasi di balik kebijakan Telkom ini, kita dapat merujuk pada teori Ekonomi Biaya Transaksi (Transaction Cost Economics, TCE) yang dikembangkan oleh Oliver Williamson.
Dalam teori ini, keputusan ekonomi perusahaan tidak hanya dipengaruhi oleh biaya produksi langsung, tetapi juga oleh biaya transaksi yang muncul akibat interaksi pasar. Biaya transaksi ini mencakup biaya pencarian informasi, negosiasi, kontrak, pengawasan, dan pemecahan sengketa.
Ekonomi Biaya Transaksi (Transaction Cost Economics/TCE) adalah teori yang mengkaji bagaimana perusahaan mengorganisir aktivitasnya untuk meminimalkan biaya yang timbul dari transaksi pasar.
Dalam konteks Telkom dan Netflix, keputusan Telkom untuk membatasi akses ke Netflix dapat dilihat sebagai bagian dari strategi untuk mengelola biaya transaksi. Dengan mengendalikan akses ke platform streaming terbesar di dunia, Telkom berusaha mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan efisiensi operasional dalam pasar yang sangat kompetitif.
Williamson (2005) mengemukakan bahwa dalam situasi tertentu, perusahaan cenderung mencari cara untuk mengurangi biaya transaksi, terutama ketika ada ketidakpastian atau risiko tinggi dalam interaksi dengan pihak eksternal.
Dalam hal ini, Telkom mungkin melihat pembatasan akses ke Netflix sebagai strategi untuk mengurangi biaya transaksi yang berpotensi tinggi.
Ketika banyak penyedia layanan streaming lainnya mulai muncul, Telkom mungkin merasa bahwa keberadaan Netflix sebagai pesaing yang kuat akan meningkatkan biaya transaksi dalam hal pengelolaan hubungan dengan pelanggan dan penyedia konten.
Vertical Integration (integrasi vertikal) adalah salah satu cara yang digunakan perusahaan untuk mengurangi ketidakpastian dan biaya transaksi.
Dengan mengontrol lebih banyak elemen dalam rantai pasokannya, seperti halnya layanan internet dan streaming, Telkom dapat meminimalkan risiko hold-up (di mana pihak luar bisa mengeksploitasi ketergantungan perusahaan terhadap mereka) dan mengurangi ketidakpastian pasar.
Pembatasan akses ke Netflix, dalam hal ini, adalah upaya untuk menjaga stabilitas dan mengurangi ketergantungan pada penyedia layanan eksternal yang lebih besar. Sebagai hasilnya, Telkom mengamankan posisi mereka di pasar dengan mengurangi peluang pesaing untuk tumbuh lebih besar.
Namun, tindakan Telkom ini juga mengarah pada biaya transaksi yang lebih tinggi untuk konsumen. Pembatasan akses ini menciptakan ketidaknyamanan bagi pelanggan yang ingin mengakses layanan streaming yang lebih mereka sukai.
Dalam konteks ini, meskipun Telkom berusaha mengurangi biaya transaksinya, kebijakan ini justru meningkatkan biaya transaksi bagi pelanggan, yang seharusnya menjadi fokus dari regulasi pasar yang lebih sehat.
Franchise Bidding untuk Mengelola Monopoli Alamiah
Salah satu teori yang relevan untuk melihat kasus ini adalah Franchise Bidding, yang diusulkan oleh Williamson (1976) dalam konteks monopoli alamiah. Monopoli alamiah terjadi dalam industri yang memiliki skala ekonomi besar, di mana satu perusahaan lebih efisien daripada banyak perusahaan kecil yang bersaing di pasar yang sama.
Telkom, sebagai penyedia layanan internet terbesar, memiliki karakteristik monopoli alamiah dalam infrastruktur jaringan internet di Indonesia.
Franchise Bidding adalah mekanisme yang dapat digunakan untuk mengelola monopoli alamiah tanpa membiarkan satu perusahaan mendominasi pasar secara tidak sehat.
Dalam sistem ini, pemerintah atau regulator membuka lelang untuk memberi hak eksklusif kepada perusahaan untuk menyediakan layanan tertentu dalam jangka waktu tertentu, dengan syarat mereka menawarkan harga terbaik untuk konsumen.
Dengan demikian, meskipun ada perusahaan dominan seperti Telkom, franchise bidding bisa menciptakan persaingan yang lebih sehat, dengan memastikan bahwa konsumen tetap mendapatkan harga yang kompetitif dan kualitas layanan yang tinggi.
Namun, dalam kasus Telkom dan Netflix, tidak ada sistem franchise bidding yang diterapkan oleh pemerintah. Sebaliknya, Telkom menggunakan posisi dominannya dalam infrastruktur untuk membatasi pesaingnya.
Praktik ini bisa dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang menghambat persaingan, yang seharusnya diatur oleh kebijakan antitrust.
Kebijakan Antitrust dan Tindakannya Terhadap Praktik Monopoli
Dalam teori kebijakan antitrust, tujuan utamanya adalah untuk melindungi persaingan di pasar dan mencegah perusahaan besar menggunakan kekuasaannya untuk mendominasi pasar dan merugikan konsumen.
Joskow (2002) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa dalam banyak kasus, kebijakan antitrust gagal membedakan antara perilaku yang benar-benar merugikan persaingan dan praktik yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pasar.
Dalam kasus Telkom dan Netflix, pembatasan akses dapat dianggap sebagai praktik anti-persaingan yang merugikan konsumen dengan mengurangi pilihan dan membatasi kebebasan konsumen untuk memilih layanan yang mereka inginkan.
Namun, ada argumen bahwa Telkom bisa jadi memiliki alasan yang sah untuk menjaga kestabilan dan mengurangi ketergantungan pada penyedia eksternal. Dalam hal ini, tindakan Telkom mungkin bertujuan untuk menjaga efisiensi operasional dan meminimalkan biaya transaksi dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat.
Akan tetapi, kebijakan antitrust yang efektif perlu membedakan antara upaya untuk meningkatkan efisiensi dan praktek yang benar-benar menghambat persaingan.
Kebijakan antitrust seharusnya tidak hanya menghukum monopoli atau perusahaan besar yang mencoba mengontrol pasar, tetapi juga mempertimbangkan konteks dan alasan di balik perilaku tersebut.
Sebagai contoh, dalam pasar yang dikuasai oleh monopoli alamiah seperti Telkom, penting bagi regulator untuk memahami motivasi perusahaan untuk mengurangi biaya transaksi dan memperkuat posisi pasar tanpa mengorbankan persaingan yang sehat.
Pembelajaran dari Kasus Telkom dan Netflix
Kasus Telkom dan Netflix (2020) memberikan pelajaran penting tentang peran kebijakan antitrust, biaya transaksi, dan pengelolaan monopoli alamiah dalam pasar digital.
Telkom, sebagai pemain dominan di pasar, menggunakan kekuasaannya untuk membatasi pesaing, yang berpotensi merugikan konsumen dengan mengurangi pilihan dan menghambat inovasi.
Namun, di balik langkah tersebut terdapat motif untuk mengurangi biaya transaksi dan mempertahankan stabilitas pasar mereka sendiri.
Meskipun ini adalah strategi bisnis yang dapat dipahami, kebijakan antitrust yang efektif harus mampu membedakan antara tindakan yang mengurangi biaya transaksi secara sah dan yang merugikan persaingan secara tidak sah.
Melalui pemahaman tentang teori Transaction Cost Economics dan Franchise Bidding, kita dapat menyimpulkan bahwa kebijakan antitrust yang efektif perlu bersikap hati-hati dan cermat dalam menilai praktik bisnis yang tampaknya anti-persaingan.
Kebijakan ini harus dirancang untuk mendorong persaingan yang sehat dan keseimbangan antara efisiensi pasar dan perlindungan konsumen. Kasus Telkom dan Netflix mengingatkan kita bahwa kebijakan antitrust yang baik tidak hanya melarang praktik monopoli, tetapi juga harus memfasilitasi inovasi dan menjaga kestabilan pasar.
Langkah Konkrit untuk Kasus Telkom dan Netflix
Untuk memastikan persaingan pasar digital yang sehat dan melindungi konsumen, kebijakan antitrust di Indonesia harus diperkuat dengan pendekatan progresif yang transparan dan adil.
Telkom, sebagai pemilik infrastruktur utama, perlu diawasi secara ketat agar tidak menyalahgunakan dominasinya untuk membatasi akses atau melindungi produk internal.
Model franchise bidding, seperti yang diusulkan oleh Williamson, dapat diterapkan untuk membuka kompetisi antarpenyedia layanan streaming, menciptakan harga yang kompetitif, dan mendorong inovasi.
Selain itu, langkah transparansi seperti audit berkala dan laporan terbuka terhadap kebijakan pembatasan akses sangat penting untuk menghindari konflik kepentingan.
Pemerintah juga harus membentuk forum kolaborasi antara regulator, perusahaan digital, dan konsumen untuk merancang kebijakan yang seimbang, sekaligus meningkatkan edukasi publik tentang hak konsumen di era digital. Dengan langkah-langkah ini, pasar digital Indonesia dapat berkembang lebih efisien, adil, dan inovatif.[]