News Kamis, 10 Juli 2025 | 18:07

Usut Dugaan Kejahatan Agraria dan Lingkungan serta Perbudakan Modern oleh PT TPL

Lihat Foto Usut Dugaan Kejahatan Agraria dan Lingkungan serta Perbudakan Modern oleh PT TPL Aliansi Gerak Tutup TPL gelar audiensi dengan KPK. (Foto: Opsi/Istimewa)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Gerakan Buruh-Tani Tutup TPL bersama seluruh Masyarakat Adat Tano Batak mendesak Toba Pulp Lestari atau PT TPL segera menghentikan perampasan tanah dan wilayah adat masyarakat.

Menghentikan perusakan lingkungan dan pelanggaran hak-hak pekerja, serta menghentikan praktik adu domba antara kelompok masyarakat yang menjadi korban dari operasi industri HTI mereka.

Desakan itu disampaikan perwakilan sejumlah lembaga dalam konferensi pers bersama di Jakarta pada Kamis, 10 Juli 2025. 

Mereka adalah Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Konfederasi Serikat Nasional (KSN).

Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F-Serbundo), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN TANO BATAK), Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL, serta Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil Sumatera Utara (JAMSU)

Lebih jauh mereka sampaikan desakan kepada PT TPL, harus bertanggung jawab dengan mengembalikan tanah dan wilayah adat masyarakat, memulihkan lingkungan dan hak-hak para pekerja yang telah dilanggar.

Kementerian Tenaga Kerja segera mengusut tuntas praktik perbudakan PT TPL, memastikan pemulihan, perlindungan dan jaminan hak-hak para pekerja.

Kementerian Kehutanan segera mengevaluasi dan mencabut HTI PT TPL, Kementerian Kehutanan dan Kementerian ATR/BPN segera melepaskan klaim ‘hutan negara’ dari tanah dan wilayah adat masyarakat sebagai upaya penghormatan, pengakuan, pemulihan dan pemenuhan negara terhadap hak atas tanah dan wilayah Masyarakat Adat Se-Tano Batak.

"Presiden segera melaksanakan Reforma Agraria; menyelesaikan konflik agraria; menata ulang monopoli penguasaan tanah dan kekayaan agraria nasional yang lebih berkeadilan bagi kaum tani, masyarakat adat, nelayan, dan seluruh kelas pekerja untuk mendapatkan hidup yang lebih alat-alat produksi menjadi kolektif, menjadi jalan bagi petani, buruh, masyarakat adat, nelayan dan seluruh kelas pekerja untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik," kata mereka.

Disebutkan, kegiatan PT TPL di Tano Batak telah melahirkan krisis multidimensi, mengukir catatan kelam praktik kotor dan kejahatan industri kehutanan yang dampaknya harus ditanggung oleh masyarakat. Masyarakat Adat Se-Tano Batak, tidak hanya kehilangan tanah dan wilayah adat; mereka juga menanggung dampak atas kerusakan lingkungan yang terus meluas. Saat ini, mereka pun dihadapkan dengan potensi konflik horizontal dengan para pekerja akibat praktik adu domba yang dilakukan oleh PT TPL.

Diungkap, sejak perusahaan tersebut masih bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU) deretan persoalan dan konflik agraria menguak tanpa solusi. Awalnya, PT TPL mendapatkan izin konsesi dari seluas 269.060 berdasarkan SK No.493 KPTS-II/Tahun 1992. Setelah mengalami delapan kali revisi, yang terakhir SK 307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020 menjadi 167.912 hektar. Sebagian umum di wilayah konsesi PT TPL banyak yang tumpang tindih dengan wilayah dan hutan masyarakat adat. 

Klaim negara di wilayah adat dan pemberian izin konsesi kepada PT TPL menjadi akar konflik agraria yang berkepanjangan dan tidak terselesaikan hingga saat ini.

Selama nyaris empat dekade, ratusan masyarakat adat berkonflik dengan PT TPL. Tanah milik masyarakat adat dirampas, sumber-sumber agraria dan ekonomi dari hutan hilang, puluhan orang dikriminalisasi dan banyak yang dipenjara karena bertani di tanah leluhurnya. 

Daftar kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan PT TPL sejak 1980-an silam hingga hari ini seharusnya menjadi dasar dan komitmen bersama untuk berjuang bersama masyarakat adat Tano Batak dalam melawan perampasan tanah dan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh PT TPL.

Setelah merampas tanah adat Masyarakat Batak, temuan terbaru Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL menunjukkan bahwa PT TPL milik Sukanto Tanoto melakukan pelanggaran-pelanggaran hak-hak pekerja; yang mengindikasikan praktik-praktik eksploitatif dan menjebak pekerja dalam ‘perbudakan modern’. Dibanding memperbaiki sistem kerja yang memulihkan dan memenuhi hak-hak pekerja, PT TPL malah mengadu domba buruh TPL dengan Gerakan Rakyat yang turut memperjuangkan hak-hak pekerja untuk penghidupan yang lebih layak.

Berbekal SK 307/Menlhk/Setjen/ HPL.0/7/2020, keputusan ini dikeluarkan oleh Menteri Siti Nurbaya, kini TPL memonopoli tanah seluas 167.912 hektar yang tersebar di 12 kabupaten di Sumatra Utara. 

Namun permasalahan yang disebabkan bisnis PT TPL bukan hanya perampasan tanah, pencemaran lingkungan dan penggelapan pajak (Tempo, 2020) tetapi juga pelanggaran hak-hak pekerjanya. 

Dalam melaksanakan operasinya, PT TPL melakukan perekrutan secara langsung dan perekrutan melalui perusahaan outsourcing. Saat ini, setidaknya terdapat 6.072 buruh yang direkrut melalui perusahaan outsourcing, yang dilekatkan dengan label Buruh Harian Lepas (BHL), hendak melepas tanggung jawab TPL pada para pekerja. 

Para BHL ini berasal dari berbagai daerah pinggiran klaim konsesi TPL dan wilayah sekitarnya, seperti Kepulauan Nias, Siantar, Dolok Sanggul dan Tanjung Balai. Sejak awal, mereka diimingi-imingi dengan pekerjaan tanpa prosedur dan birokrasi yang panjang, serta berbagai dukungan fasilitas pra kerja dan selama bekerja untuk TPL. 

Namun, hingga mereka sampai di lokasi, BHL tidak mendapat perjanjian kerja tertulis dan fasilitas selayaknya dijanjikan.

Ketiadaan perjanjian kerja tertulis membuat PT TPL semakin leluasa untuk melanggar hak-hak pekerja, menempatkan BHL pada kondisi yang sangat buruk dan jauh dari kehidupan layak. Buruh pemeliharaan dibebani dengan target mengurus lahan seluas 10 hektare/orang, untuk 10-12 jam waktu kerja setiap harinya. 

Pekerja yang berhalangan hadir karena sakit akibat beban kerja kebun tidak mendapat upah dan dukungan layanan kesehatan. Termasuk, buruh perempuan tidak mendapatkan hak cuti haid dan melahirkan.

Selain beban kerja yang tidak manusiawi ini, PT TPL dan perusahaan outsourcing kerap melakukan praktek penggelapan iuran dan potongan upah yang tinggi. Secara sepihak, TPL akan memotong upah buruh jika ada pohon eukaliptus yang mati karena terpapar racun hama. Secara rutin, TPL dan perusahaan outsourcing diduga melakukan pemotongan upah sebesar Rp 30,000 - 45,000/hari, dari upah buruh sebesar Rp 130,000/HOK. Potongan upah ini diklaim untuk premi BPJS Tenaga Kerja, pembelian perlengkapan dan alat kerja, biaya fasilitas pemukiman, sembako dan listrik.

Kendati telah membayar untuk fasilitas pemukiman, TPL menempatkan para buruh bersama istri-anak di tenda-tenda berukuran 20 meter dengan alas tanah. Bila ingin memiliki pemukiman dengan fasilitas kamar, tempat tidur, dapur dan kakus, buruh harus menyerahkan upahnya kepada TPL dan perusahaan outsourcing untuk pembangunan rumah. Ketiadaan fasilitas yang memadai ini menambah beban ganda perempuan yang harus mengurusi kebutuhan domestik dan pangan anggota rumah tangga.

Sebagai bagian dari tenaga kerja, Buruh Harian Lepas (BHL) di PT TPL tidak memiliki organisasi serikat buruh. Padahal, Undang-Undang Ketenagakerjaan menjamin kebebasan berserikat dan perlindungan atas hak untuk berorganisasi. Ketiadaan serikat membuat para BHL tidak memiliki wadah kolektif untuk memperjuangkan hak-haknya, berbagi pengalaman dan termasuk saat terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan.

Pelanggaran-pelanggaran hak pekerja di atas membuktikan bahwa PT. TPL tidak memberikan manfaat dalam meningkatkan perekonomian buruh. Dari rangkaian permasalah di atas, derita BHL di PT TPL tidak hanya pada persoalan pelanggaran regulasi semata, melainkan kejahatan terstruktur TPL yang telah berlangsung lama. 

PT TPL belum dimintai konfirmasi atas hasil konferensi pers lembaga-lembaga tersebut. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya