Tarutung - Ephorus HKBP Pdt Dr Victor Tinambunan MST, kembali menyerukan penutupan operasional PT Toba Pulp Lestari atau TPL di Tanah Batak.
Seruan disampaikan ephorus dalam pernyataan resmi pada 7 Juli 2025. Seruan ini meneruskan sikap semula pada dua bulan lalu, persisnya 7 Mei 2025.
Ephorus menyatakan seruan penutupan PT TPL berdasarkan atas dasar keprihatinan teologis, ekologis, dan sosial atas dampak jangka panjang yang ditimbulkan oleh aktivitas industri tersebut.
"Seruan ini tidak lahir dari sikap reaksioner sesaat, melainkan merupakan perwujudan dari keyakinan iman yang mendalam, landasan moral yang kokoh, serta komitmen spiritual jangka panjang dari Gereja HKBP," kata Ephorus Pdt Victor dalam seruan resminya diterima Selasa, 8 Juli 2025.
Sebagai gereja yang hidup dalam terang firman Tuhan dan menyatakan imannya melalui konfesi HKBP, gereja HKBP kata dia, memahami bahwa memelihara lingkungan dan bumi bukanlah pilihan sekunder, melainkan bagian hakiki dari panggilan gereja dalam pemeliharaan Allah dan wujud pelayanan bagi jemaat, masyarakat, dan ciptaan.
"Seruan ini mencerminkan kesadaran bahwa segala bentuk kerusakan lingkungan bukan hanya ancaman ekologis, melainkan juga pelanggaran etis terhadap relasi antara manusia, sesama, dan Sang Pencipta. Oleh karena itu, seruan ini sekaligus adalah suara profetis gereja untuk memperjuangkan keberlanjutan hidup bersama di tengah krisis iklim global yang semakin mendesak," tandasnya.
Ephorus Pdt Victor kemudian menyampaikan dasar pertimbangan HKBP terkait sikap ini, yakni adanya krisis iklim sebagai ancaman global tertinggi.
Disebutkannya, berdasarkan berbagai laporan ilmiah internasional yang diterbitkan oleh badan-badan, seperti Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), World Economic Forum (WEF), dan United Nations Environment Programme (UNEP), perubahan iklim secara konsisten menempati urutan teratas dalam daftar sepuluh ancaman global terbesar yang dihadapi umat manusia saat ini.
Risiko yang ditimbulkan oleh krisis iklim bersifat kompleks, saling terkait, dan berdampak luas, meliputi meningkatnya suhu global, perubahan pola cuaca ekstrem, mencairnya es kutub, naiknya permukaan air laut, serta hilangnya keanekaragaman hayati.
Ancaman ini imbuh dia, bukan sekadar teori masa depan, melainkan realitas yang tengah berlangsung. Bumi sedang mengalami tekanan ekologis yang belum pernah terjadi sebelumnya dimana daya dukung lingkungan semakin melemah akibat akumulasi eksploitasi manusia yang melebihi batas keberlanjutan alam.
"Dalam konteks ini, Tanah Batak tidak dapat dipandang sebagai pengecualian atau wilayah yang aman dari dampak perubahan iklim. Justru sebagai kawasan yang kaya hutan dan sumber air, kerusakan ekologis di Tanah Batak berpotensi memberikan dampak sistemik, bukan hanya bagi masyarakat lokal, tetapi juga bagi kestabilan iklim regional," ungkapnya.
Kemudian disebutnya landasan teologis, Konfessi HKBP Pasal 5. HKBP, berdasarkan Konfessi Iman-nya secara tegas mengakui bahwa seluruh alam ciptaan adalah milik Allah, bertanggung jawab untuk merawatnya, menolak serta melawan segala bentuk eksploitasi atau tindakan yang merusak alam.
Dasar berikutnya adalah Ruhut Parmahanion Paminsangon (RPP) HKBP dan Juklak RPP HKBP. Bahwa gereja HKBP dalam pandangan teologinya yang berkenaan dengan Titah Keenam menegaskan bahwa pengrusakan lingkungan dengan cara membakar, menebangi pohon di hutan (Ulangan 20:19-20), mencemari air dan udara serta lingkungan dan perilaku sejenis lainnya merupakan suatu tindakan pelanggaran terhadap perintah Tuhan.
Pernyataan tersebut diperkuat melalui pemahaman terhadap Titah Keenam “Jangan engkau membunuh” yang ditekankan sebagai larangan terhadap segala bentuk tindakan yang dapat menimbulkan penderitaan atau penyakit bagi seluruh makhluk hidup.
Dalam terang iman kristen, kehidupan bukan hanya milik manusia, melainkan anugerah Allah yang menyeluruh bagi seluruh ciptaan. Oleh karena itu, setiap orang percaya dipanggil untuk mengembangkan sikap hati, pola pikir, dan tindakan yang bersifat memelihara, memberdayakan, dan menumbuhkan kehidupan secara adil dan berkelanjutan (roha pangoluhon), sebagaimana dikehendaki Allah Sang Pencipta dan Pemelihara Semesta.
Berikutnya adalah Minggu Ekologi HKBP, yang ditetapkan sebagai bentuk konkret dari komitmen gereja untuk mewujudkan iman yang berdampak pada keutuhan ciptaan. Minggu Ekologi HKBP ditandai dengan penggunaan warna liturgi hijau yang menandakan kehidupan dan pertumbuhan.
Warna hijau dalam Minggu ini menjadi lambang praktik kehidupan umat percaya dalam kuasa penebusan dan keselamatan dari Allah. Minggu ini bukan sekadar momen tematik tahunan, melainkan merupakan tanda pertobatan ekologis gereja, sekaligus panggilan profetis untuk menyuarakan dan mewujudkan tanggung jawab etis terhadap bumi sebagai rumah bersama (oikos).
Ephorus juga menyebut, pihaknya ikut mewujudkan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Pemerintahan Prabowo-Gibran menegaskan soal “Ekonomi hijau” atau green economy, yakni sistem ekonomi yang berfokus pada pembangunan berkelanjutan, dengan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan memaksimalkan kesejahteraan manusia.
Pada Asta Cita Nomor 8 disebutkan “Memperkuat penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan, alam dan budaya, serta peningkatan toleransi antarumat beragama untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur”.
Diungkapnya pula kerusakan ekologis di wilayah Tanah Batak tidak lagi merupakan ancaman laten, melainkan telah mewujud dalam bentuk bencana alam yang berulang dan merusak kehidupan masyarakat.
BACA JUGA: Ephorus HKBP Ungkap Upaya TPL Suap Punguan Marga di Kawasan Danau Toba
Kerusakan lingkungan di Tanah Batak ditandai oleh degradasi hutan, menurunnya debit air sungai, punahnya keanekaragaman hayati, serta meningkatnya bencana alam, seperti banjir, longsor, dan kekeringan.
Dampak dari krisis ekologis ini tidak hanya bersifat lingkungan, tetapi juga sosial, ekonomi, dan spiritual. Aktivitas industri ekstraktif, termasuk keberadaan PT TPL, dinilai turut mempercepat kerusakan ini dan memicu konflik sosial di tengah masyarakat.
"Dalam terang iman, HKBP memandang krisis ini sebagai panggilan untuk pertobatan ekologis, dan tindakan kolektif demi pemulihan keadilan bagi ciptaan. Gereja terpanggil untuk bersuara secara profetis dan aktif memperjuangkan keberlanjutan hidup bersama dalam kasih Allah atas alam semesta," tukasnya.
Pdt Victor lantas membeberkan dampak sosial dari operasi PT TPL selama lebih dari 35 tahun di wilayah Tanah Batak, kehadiran perusahaan telah menimbulkan sejumlah persoalan serius yang melampaui sekadar dinamika ekonomi atau industri.
Meski perusahaan ini kerap mengklaim kontribusi terhadap pembangunan dan lapangan kerja, berbagai evaluasi dari masyarakat adat, lembaga sosial, dan komunitas gereja menunjukkan bahwa dampak negatif yang dihasilkan justru jauh lebih besar dibandingkan manfaat yang diberikan.
Lebih jauh lagi, konflik sosial yang berkepanjangan turut mewarnai sejarah keberadaan PT TPL, terutama dalam bentuk sengketa lahan adat, ketegangan antara masyarakat dengan aparat, serta perpecahan internal antar komunitas marga.
Banyak komunitas adat mengalami keterbelahan antara yang menerima dan yang menolak keberadaan perusahaan, menyebabkan erosi solidaritas lokal yang sebelumnya menjadi kekuatan kolektif masyarakat Batak.
"Dengan demikian, kehadiran PT TPL tidak hanya berdampak pada tubuh ekologis Tanah Batak, tetapi juga merusak jaringan sosial, budaya, dan spiritual masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalamnya," ungkapnya.
Pdt Victor yang konsisten dengan sikap ini, mengaku terus mendapat dukungan dan komitmen lanjutan.
Selama dua bulan terakhir, dukungan terhadap seruan penutupan PT TPL datang dari berbagai kalangan, seperti tokoh adat, aktivis lingkungan, akademisi, lembaga gereja lintas denominasi, serta masyarakat lokal dan diaspora Batak.
"HKBP menyampaikan apresiasi dan terima kasih atas semua bentuk solidaritas dan keterlibatan tersebut. Perjuangan ini adalah panggilan spiritual dan rasional. Ia lahir dari kesadaran iman bahwa bumi bukan milik kita, melainkan milik Allah yang dipercayakan kepada manusia untuk dipelihara dengan kasih dan tanggung jawab," katanya.
"Ketika ciptaan terluka, sungai-sungai mengering, hutan-hutan tergerus, dan masyarakat adat kehilangan ruang hidupnya, gereja tidak dapat berdiam. Tangisan alam adalah juga tangisan nurani manusia yang mulai pudar kepekaannya. Karena itu, menjaga bumi bukan sekadar aktivitas ekologis, melainkan wujud konkret dari ketaatan kepada Sang Pencipta," sambungnya.
Namun ephorus mengakui perjuangan menutup PT TPL di Tanah Batak ini juga rasional, karena bersandar pada realitas yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan sosial.
Data, pengalaman masyarakat, serta krisis yang terjadi hari demi hari membuktikan bahwa kita sedang menghadapi situasi yang mendesak. HKBP berdiri bersama umat, komunitas adat, dan seluruh pihak yang memperjuangkan keadilan ekologis dan pemulihan ciptaan.
"Kami percaya bahwa dunia yang lebih adil dan lestari bukan hanya mungkin, tetapi merupakan cerminan dari kehendak Allah sendiri. Tuhan yang memanggil umat-Nya untuk hidup dalam tanggung jawab, solidaritas, dan pengharapan. HKBP mengakui kekuatan transformasi yang berangkat dari liturgi dan ibadah dalam menghadapi krisis ekologi.
"Krisis lingkungan tidak akan berubah sampai orang-orang berubah. Itu akan terjadi ketika gereja menyuarakan dan mengajarkan tentang Tuhan dan penciptaan, dan ketika gereja membantu umatnya melihat hubungan antara cara hidup mereka dengan apa yang terjadi pada lingkungan alam yang dicintai Tuhan. Gereja HKBP peduli dan tidak tinggal diam dengan segala yang merupakan pengalaman salib dari jemaat, masyarakat, dan lingkungan alam. Kita tidak bisa menyelamatkan manusia, tanpa menyelamatkan bumi. Dengan demikian pembebasan sosial harus berjalan beriringan dengan pembebasan ekologis," tandasnya. []