News Jum'at, 23 Mei 2025 | 22:05

UU Polri Digugat ke MK: Pasal Multitafsir Dinilai Berbahaya

Lihat Foto UU Polri Digugat ke MK: Pasal Multitafsir Dinilai Berbahaya Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (foto: Opsi/Fernandho Pasaribu).

Jakarta — Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Gugatan uji materi ini terdaftar dengan Nomor Perkara 76/PUU-XXIII/2025 dan mempersoalkan pasal-pasal yang dinilai membuka ruang penafsiran subjektif hingga rawan disalahgunakan.

Sidang perdana perkara ini digelar Kamis, 22 Mei 2025, di MK dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Majelis hakim yang memeriksa gugatan terdiri dari Arief Hidayat, Anwar Usman, dan Enny Nurbaningsih.

Pemohon dalam perkara ini, advokat Syamsul Jahidin, menggugat ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l dan Pasal 16 ayat (2) huruf c UU Kepolisian. Ia menilai kedua pasal tersebut memberi celah penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum.

Menurut Syamsul, frasa dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l yang menyebut “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab” bersifat multitafsir dan tidak memiliki tolok ukur objektif.

“Pasal ini membuka ruang tindakan di luar hukum formal hanya dengan klaim tanggung jawab. Ini dapat menimbulkan chilling effect bagi masyarakat,” ujarnya dalam sidang, dikutip dari laman resmi MK.

Sementara itu, Pasal 16 ayat (2) huruf c yang mengatur bahwa tindakan polisi “harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya” juga dipersoalkan.

Syamsul menilai norma tersebut sarat dengan penilaian subjektif, yang dapat digunakan untuk membenarkan tindakan berlebihan aparat tanpa kontrol yang memadai.

“Pasal ini berpotensi menjustifikasi tindakan koersif yang tidak transparan dan hanya sah secara internal dalam institusi,” tambahnya.

Selain perkara tersebut, Syamsul Jahidin bersama seorang anggota Bhayangkari bernama Ernawati juga mengajukan gugatan terhadap Pasal 11 ayat (2) UU Polri terkait mekanisme usulan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.

Gugatan ini terdaftar sebagai perkara Nomor 78/PUU-XXIII/2025.

Keduanya menilai bahwa penjelasan norma mengenai usulan presiden kepada DPR seharusnya dirumuskan dalam batang tubuh pasal, bukan hanya dalam penjelasan.

Menanggapi dua permohonan ini, Hakim MK Enny Nurbaningsih meminta pemohon memperjelas hubungan antara pasal yang diuji dan kerugian konstitusional yang dialami.

“Pahami dulu, apakah kerugian itu bersifat faktual atau hanya potensial,” ujarnya.

Sementara itu, Hakim Anwar Usman menyarankan agar gugatan atas tafsir pelaksanaan pasal-pasal tersebut sebaiknya diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan Mahkamah Konstitusi.

Majelis hakim memberi tenggat waktu kepada pemohon untuk memperbaiki berkas permohonan hingga persidangan lanjutan pada 4 Juni 2025.[]

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya