Hukum Selasa, 01 Juli 2025 | 20:07

8 Tahun Tak Ada Kejelasan, Warga Terdampak Normalisasi Kali Pesanggrahan Tuntut Pemprov Ganti Rugi

Lihat Foto 8 Tahun Tak Ada Kejelasan, Warga Terdampak Normalisasi Kali Pesanggrahan Tuntut Pemprov Ganti Rugi Hendrik Sinaga, SH., MH Kuasa Hukum Korban Normalisasi Kali Pesanggrahan. (Foto : Opsi.id)
Editor: Richard Saragih

Jakarta,- Pemilik lahan terdampak proyek normalisasi Kali Pesanggrahan, Jakarta Barat, kembali menuntut kejelasan ganti rugi kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta. Pasalnya, persoalan yang sudah berlangsung sejak tahun 2017 ini belum ada kejelasan hingga saat ini.

Kuasa hukum pemilik lahan, Hendrik Sinaga, menegaskan bahwa kliennya, Lukman Astanto, telah menempuh berbagai jalur hukum, termasuk mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, namun seluruh gugatan itu dicabut demi membuka ruang dialog.

Upaya pendekatan juga telah dilakukan ke berbagai instansi, termasuk Dinas Sumber Daya Air (SDA) dan Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi periode 2019-2024.

“Dari 2017 sampai sekarang, kami tidak pernah mendapat balasan resmi terkait permohonan ganti rugi. Bahkan kami masih tetap membayar pajak meskipun lahan itu kini sudah menjadi bagian dari badan sungai dan jalan inspeksi,” kata Hendrik saat ditemui di Jakarta, Senin (1/7/2025).

Hendrik menuturkan, lahan yang dimaksud tercatat dalam dua sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB), yakni SHGB No. 1078 seluas 3.634 meter persegi dan SHGB No. 1068 seluas 1.599 meter persegi yang berlokasi di Jalan Pos Pengumben, Kelapa Dua, Jakarta Barat.

“Berdasarkan pengukuran resmi dari Kantor Pertanahan Jakarta Barat pada November 2023, total luas lahan yang terdampak mencapai 5.233 meter persegi,” tuturnya.

Hendrik menjelaskan bahwa proyek normalisasi tersebut memang bertujuan untuk pengendalian banjir dan manfaatnya telah dirasakan masyarakat.

Namun, ia menegaskan bahwa hak-hak pemilik lahan tetap harus dihormati.

“Kami sangat mendukung program normalisasi untuk kepentingan publik. Tapi bukan berarti hak atas tanah bisa diabaikan. Kami menuntut penyelesaian yang adil, transparan, dan sesuai aturan,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa tuntutan tersebut memiliki dasar hukum yang jelas, antara lain merujuk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum, Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 juncto Perpres Nomor 102 Tahun 2016, serta Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021.

“Dalam aturan jelas disebutkan bahwa ganti rugi wajib dibayarkan sebelum lahan dimanfaatkan. Tapi faktanya, sudah lebih dari tujuh tahun lahan itu digunakan tanpa kompensasi,” papar Hendrik.

Ia juga menyinggung potensi maladministrasi jika pemerintah terus mengabaikan penyelesaian ganti rugi ini.

“Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, pengabaian atas kewajiban pelayanan publik dapat dikategorikan sebagai maladministrasi,” tandasnya.

Pihaknya berharap, permasalahan ini tidak harus diselesaikan lewat jalur hukum perdata maupun pidana.

Kendati demikian, Hendrik menyatakan, jalur musyawarah untuk mufakat masih menjadi opsi terbaik.

“Kami berharap Bapak Gubernur, Kepala Dinas, dan pihak terkait segera mengundang kami untuk duduk bersama. Pembangunan boleh berjalan, tetapi hak masyarakat jangan dikorbankan,” pungkasnya.[]

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya