News Senin, 07 Juli 2025 | 22:07

Anggota DPD Penrad Siagian Desak Negara Tegas Atas Kasus Gereja GBKP Depok dan Retret Sukabumi

Lihat Foto Anggota DPD Penrad Siagian Desak Negara Tegas Atas Kasus Gereja GBKP Depok dan Retret Sukabumi Anggota DPD RI, Pdt. Penrad Siagian. (Foto:Opsi/Fernandho Pasaribu)

Jakarta — Anggota Komite I DPD RI, Pdt. Penrad Siagian, menyampaikan sikap tegasnya atas penolakan pembangunan Gereja GBKP Studio Alam di Jalan Palautan Eres, Kecamatan Cilodong, Kota Depok pada Sabtu, 5 Juli 2025, serta kasus perusakan rumah yang dijadikan lokasi retret pelajar Kristen di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat, pada Jumat, 27 Juni 2025.

Penrad menekankan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi, sesuai Pasal 28E ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. 

"Hal itu merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), dan itu tidak bisa dikurangi. Siapa pun tidak boleh mengurangi hak asasi terkait dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan,” tegas Penrad dalam keterangan resminya, Senin, 7 Juli 2025.

Ia menjelaskan bahwa Indonesia sudah meratifikasi berbagai kovenan terkait HAM, termasuk kebebasan beragama dan berkeyakinan. 

“Karena itu tidak ada yang boleh menguranginya dan tidak ada yang boleh mengamputasi HAM ini termasuk negara,” ujarnya.

Dia berpandangan, seringnya tindakan intoleransi terjadi karena masih adanya berbagai regulasi yang membuat kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak berjalan sebagaimana mestinya.

“Masih ada berbagai regulasi yang menempatkan kebebasan beragama dan berkeyakinan itu tidak berjalan dengan seharusnya sesuai dengan konstitusi dan jaminan terhadap Hak Asasi Manusia, termasuk Peraturan Bersama Menteri Agama (PBM) Nomor 8 dan 9 tahun 2006,” jelasnya.

Penrad menilai regulasi yang masih diskriminatif terhadap kelompok agama tertentu harus dikaji ulang dan direvisi. 

“Untuk itu harus dikaji atau dilihat ulang dan direvisi, sehingga kebebasan beragama dan berkeyakinan itu mendapatkan jaminannya dan dilindungi oleh negara,” ujarnya.

Penrad juga menyoroti ketidakhadiran negara ketika muncul kasus kekerasan berbasis kebebasan beragama dan berkeyakinan. 

Apalagi, lanjutnya, Kementerian HAM sempat mengeluarkan pernyataan ingin mengajukan penangguhan penahanan bagi tujuh tersangka perusakan rumah yang dijadikan lokasi retret pelajar Kristen di Cidahu, Sukabumi.

“Kemudian, sering kali negara tidak hadir ketika munculnya kejadian atau kekerasan berbasis kebebasan beragama dan berkeyakinan ini,” katanya.

Ia menegaskan bahwa negara seharusnya hadir menjamin setiap hak warga negara tanpa memandang latar belakang mayoritas atau minoritas.

“Ini merupakan bukti dari ketidakhadiran negara dan ketidaknetralan negara yang seharusnya menjadi penjamin atas setiap hak yang dimiliki warga negara dan masyarakat tanpa melihat latar belakang ataupun mayoritas dan minoritas karena ini hak kewargaan yang dijamin oleh negara,” ucapnya.

Oleh sebab itu, Senator asal Sumatra Utara (Sumut) ini mendesak agar penegakan hukum dijalankan dengan tegas.

“Selama penegakan hukum tidak dilakukan terhadap kelompok-kelompok yang melakukan intoleransi dan kekerasan, ini akan menjadi legitimasi terhadap kelompok-kelompok intoleran lainnya untuk melakukan tindakan yang serupa di berbagai tempat,” tegasnya.

Ia menilai kehadiran negara sangat penting untuk memberikan efek jera bagi pelaku intoleransi.

“Jadi penting sekali negara hadir memberikan jaminan dan penegakan hukum, sehingga ini menjadi efek jera terhadap kelompok-kelompok intoleran karena ini adalah bentuk pelanggaran hukum, pelanggaran konstitusi, dan pelanggaran HAM terhadap hak beragama dan berkeyakinan,” katanya.

Penrad juga menyampaikan bahwa dirinya telah berkomunikasi langsung dengan pihak gereja terkait situasi di lapangan. Ia juga akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait agar pendirian rumah ibadah tetap berjalan sesuai izin yang sah.

“Saya juga sudah menghubungi ketua majelis jemaat Gereja GBKP Studio Alam Depok menanyakan situasi di sana dan saya juga akan menghubungi beberapa stakeholder terkait GBKP Studio Alam Depok ini,” ucapnya.

“Gereja GBKP Studio Alam Depok secara prosedural dan peraturan perundang-undangan sudah mendapatkan IMB untuk pendirian rumah ibadah di tempat yang sudah ditentukan,” katanya menambahkan.

Lebih lanjut, Penrad juga meminta aparat keamanan dan pemerintah daerah aktif memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk saling menghormati.

“Kepada stakeholder terkait, pihak aparat keamanan dan pemerintah daerah harus memberikan sosialisasi terhadap masyarakat ini bahwasanya hidup berbangsa dan bernegara ini bukan semena-mena pun sewenang-wenang. Kita tidak menganut undang-undang mayoritarianisme,” katanya.

“Pendirian rumah ibadah di tempat itu sudah mendapatkan IMB. Maka masyarakat juga harus bisa melihat ini sebagai bagian dari hak kewargaan bagi GBKP,” sambungnya.

Tak sampai di situ, Penrad juga meminta aparat keamanan mengusut dugaan provokasi yang berpotensi dilakukan oknum-oknum dari luar Kota Depok.

“Berdasarkan pengalaman kami dalam mengadvokasi berbagai kasus kekerasan berbasis kebebasan beragama dan berkeyakinan, tidak jarang provokasi itu muncul dari luar bukan dari warga sekitar. Oleh sebab itu, pihak keamanan atau kepolisian harus melakukan pengusutan dan penyelidikan lebih lanjut serta melakukan penegakan hukum, sehingga kejadian ini tidak menjadi yurisprudensi terhadap kelompok-kelompok intoleran lain di mana pun,” tegasnya.

Terkait kasus Sukabumi, Penrad menyayangkan logika pemerintah yang dinilainya keliru.

“Yang di Sukabumi, sudah selesai konflik fisiknya. Tetapi rumah itu sendiri dalam kerangka pengawasan aparat keamanan dan stakeholder terkait. Itu yang tidak boleh terjadi. Ini merupakan kesalahan logika berpikir dalam konteks hak kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana dijamin oleh konstitusi dan merupakan hal yang tidak boleh dipisahkan dari HAM,” katanya.

Ia menilai pemerintah tidak netral dan justru melakukan tindakan yang keliru.

“Dalam posisi ini pemerintah sudah tidak adil. Pemerintah sudah menempatkan dirinya bukan menjadi pihak yang netral dengan mengawasi rumah retret itu, apalagi sempat Kementerian HAM melakukan blunder dalam menjamin pelaku kekerasan dan perusakan,” katanya.

Penrad menegaskan bahwa logika penanganan kasus tersebut harus diperbaiki.

“Yang paling penting logikanya itu. Bukannya alih-alih melakukan penyelidikan dan penegakan hukum yang adil terhadap para pelaku ini tetapi malah mengeluarkan statement untuk melakukan pengawasan rumah retret itu. Ini sama sebenarnya menjadikan korban ini sebagai pihak yang diawasi. Sudah menjadi korban, malah mereka pula yang diawasi. Seharusnya yang dilakukan adalah menjamin kebebasan terhadap rumah itu untuk tetap menjadi tempat retret, bukan malah diawasi supaya tidak dilakukan lagi (retret),” pungkas Penrad Siagian.[]

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya