Simalungun - Maraden Sinaga, anggota Fraksi PDIP menyampaikan rencananya untuk mengusulkan pembentukan Panitia Khusus atau Pansus Tutup TPL di DPRD Simalungun, Sumatra Utara.
Hal itu dicetuskan Maraden saat dirinya bersama anggota DPR RI Bane Raja Manalu mengunjungi warga Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun pada Jumat, 26 September 2025 sore.
Pembentukan pansus sebagai respons atas bentrok antara warga Sihaporas dengan petugas PT Toba Pulp Lestari di Sihaporas pada 22 September 2025. Konflik lahan itu menelan 33 korban warga Sihaporas dan juga dari pihak PT TPL sendiri.
"Saya sebagai perwakilan masyarakat, akan menyuarakan pembentukan Pansus Tutup TPL (red, di DPRD Simalungun)," kata Maraden saat berbicara di hadapan warga.
Merespons rencana anggota Fraksi PDIP DPRD Simalungun tersebut, akademisi Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar Rindu Erwin Marpaung mengacungi jempol.
Menurut dia, rencana membentuk pansus untuk menutup PT Toba Pulp Lestari (TPL) adalah langkah yang tepat sekaligus berani.
"Mengapa penting? Karena persoalan TPL bukan lagi sekadar soal izin perusahaan, melainkan sudah menjadi masalah publik yang menyentuh tiga hal pokok," katanya pada Minggu, 28 September 2025.
Dia menyebut yang pertama soal kerusakan lingkungan. Operasi TPL meninggalkan jejak serius pada hutan, tanah, dan sumber air yang seharusnya menjadi penopang hidup masyarakat.
Kedua, kekerasan dan konflik. Masyarakat adat, seperti Sihaporas, berulang kali mengalami intimidasi, bentrokan, bahkan kriminalisasi. Ini jelas pelanggaran terhadap hak warga negara.
BACA JUGA: Pengakuan Ompu Denata boru Hutabarat, Korban Kekerasan TPL: Dikejar dan Sembunyi di Terpal Kompos
Ketiga, ketimpangan ekonomi. Keuntungan besar dinikmati korporasi, sementara masyarakat adat hanya menerima kerugian.
"TPL berdiri di atas derita rakyat dan hutan yang hancur, menutupnya adalah jalan keadilan.” kata Rindu yang juga Ketua Pusat Studi Kebijakan Publik dan Politik (Pustaka Nommensen) Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar.
Dia menambahkan, dari sisi kebijakan publik, TPL jelas tidak efektif, tidak adil, dan tidak berkelanjutan.
Dari sisi politik, DPRD sebagai wakil rakyat punya kewajiban moral untuk hadir membela masyarakatnya.
"Diam berarti membiarkan konflik terus berulang, sementara bertindak berarti mengembalikan kepercayaan rakyat kepada DPRD," katanya.
“Jika DPRD berani menutup TPL, sejarah akan mencatatnya sebagai kemenangan rakyat melawan ketamakan, ” ujar pengajar Ilmu Politik dan Kebijakan Publik tersebut.
Dikatakannya, Pansus Tutup TPL penting karena akan menjadi forum resmi untuk menggali fakta, memanggil pihak terkait, dan merumuskan rekomendasi yang kuat kepada pemerintah pusat.
Dengan dasar itu, pencabutan izin konsesi TPL bukan hanya tuntutan moral, tetapi juga keputusan politik yang sah dan terukur.
Meski demikian imbuh Rindu, menutup TPL bukan berarti mengabaikan masa depan. Justru sebaliknya, menjadi momentum bagi pemerintah daerah bersama DPRD menyiapkan jalan transisi, membuka ruang bagi pengelolaan hutan adat, agroforestry, pariwisata berkelanjutan, dan lapangan kerja baru bagi masyarakat yang selama ini bergantung pada TPL.
"Itu sebabnya kita mendukung penuh langkah DPRD Simalungun," katanya.
Membentuk Pansus Tutup TPL kata dia lagi, bukan hanya soal menghentikan kerusakan, tetapi juga tentang menegakkan keadilan, menjaga lingkungan, dan memastikan masa depan yang lebih adil untuk generasi mendatang.
“Tak ada pembangunan sejati di atas tangisan masyarakat adat—itulah mengapa TPL harus ditutup,” tegas Rindu. []