Jakarta — Sebuah momentum penting dalam dunia intelektual Islam Indonesia lahir pada Sabtu, 17 Mei 2025. KH. Maman Imanulhaq, anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKB, resmi menyandang gelar Doktor setelah mempertahankan disertasinya dalam sidang terbuka di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Jakarta.
Gelar ini bukan sekadar pencapaian akademik. Ia menjadi penegasan atas satu hal: bahwa Islam di Cirebon tidak tumbuh dari pencampuran tanpa batas, melainkan hasil rekonstruksi budaya yang sadar dan terukur.
Dalam disertasi berjudul “Dinamika Islam dan Budaya Lokal: Studi Interaksi Islam dan Tradisi Cirebon Abad XV sampai XVII”, Kiai Maman menegaskan bahwa proses historis di tanah wali itu merupakan respons kreatif umat Islam terhadap tantangan budaya lokal. Ia menolak istilah sinkretisme yang selama ini lekat dalam narasi ilmiah Barat dan beberapa studi Islam lokal.
“Islam hadir sebagai kekuatan yang bukan hanya memengaruhi, tetapi turut mereformulasi struktur sosial dan nilai budaya di Cirebon,” papar Kiai Maman dalam sidang yang dipimpin oleh Dr. Ahmad Su’adi.
Disertasinya menggunakan pendekatan sejarah dinamis ala Arnold Toynbee, memperlihatkan bagaimana ajaran Islam membaur bukan untuk larut, melainkan untuk membimbing.
Rekonstruksi budaya menjadi kunci. Islam tidak kehilangan akarnya, tetapi justru tumbuh menjadi kekuatan spiritual yang diterima oleh masyarakat dengan sukarela.
Dialog Intelektual yang Terbuka
Sidang yang khidmat itu sempat memanas ketika Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj mengkritisi absennya kutipan ayat Al-Qur’an dalam disertasi setebal ratusan halaman tersebut. Dengan tenang,
Kiai Maman menjawab bahwa itu akan dilengkapi dalam revisi akhir, sebagai bentuk keterbukaan ilmiah sekaligus penghormatan terhadap sumber utama Islam.
Gelar untuk Pesantren dan Politik Kebangsaan
Dalam pidato akademiknya, KH. Maman menyatakan bahwa gelar ini dipersembahkan bagi dunia pesantren dan arah baru politik Islam di Indonesia. Ia menolak menjadikan ilmu sekadar simbol.
“Saya ingin disertasi ini hidup. Menjadi bagian dari perjuangan membangun Indonesia yang inklusif dan religius,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan terima kasih kepada Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atas ruang dialog yang selama ini terjalin. Baginya, diskusi adalah cara merawat nalar publik dan iman politik.
Dukungan dari Para Tokoh
Suasana sidang terasa hangat dengan kehadiran sejumlah tokoh nasional. Dari DPR RI, hadir Dr. Jazilul Fawaid dan Dr. Cucun Ahmad Syamsurijal. Menteri PPPA Arifatul Choiri Fauzi turut menyampaikan apresiasinya.
Plt. Rektor UNUSIA dr. Syahrizal Syarif juga menyebut Kiai Maman sebagai “representasi akademisi-santri yang konsisten menyeimbangkan spiritualitas, intelektualitas, dan kebangsaan”.
Momen itu pun menjadi bukti bahwa jalur politik tidak harus meninggalkan jalan ilmu. Di usia 52 tahun, Kiai Maman menunjukkan bahwa seorang politisi masih bisa merayakan ilmu sebagai jalan perjuangan.[]