News Jum'at, 26 Agustus 2022 | 20:08

DPR ke Menkeu: Mengembalikan Defisit Keuangan Maksimal 3 persen di 2023 Tentu Tak Mudah

Lihat Foto DPR ke Menkeu: Mengembalikan Defisit Keuangan Maksimal 3 persen di 2023 Tentu Tak Mudah Anggota Komisi XI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati. (Foto: Istimewa)

Jakarta - Anggota Komisi XI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati mengapresiasi capaian Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang sudah 11 kali mendapat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dalam pemeriksaan keuangan yang dilakukan BPK.

Apresiasi disampaikan saat Komisi XI DPR RI melangsungkan rapat kerja dengan Menteri Keuangan untuk membahas laporan keuangan Kemenkeu dalam APBN tahun 2021 di Senayan, Jakarta, Rabu, 24 Agustus 2022.

Kendati demikian, Wakil ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini mengingatkan bahwa tantangan yang dihadapi Kemenkeu sangat berat.

"Mengembalikan defisit keuangan negara maksimal 3 persen di tahun 2023 tentu tidak mudah. Tapi dengan kerja keras dari semua unsur, mudah-mudahan kita mampu mengatasi semua itu," kata Anis seperti mengutip keterangannya, Jumat, 26 Agustus 2022.

Dia juga menyampaikan masukan ke Kemenkeu terkait beberapa hal yang harus dilakukan.

Yang pertama, terkait dengan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) Tahun 2021 yang menyebutkan terdapat 27 temuan pemeriksaan.

Anis menegaskan bahwa temuan itu harus tetap ditindaklanjuti.

"Walaupun ditegaskan tidak mempengaruhi kewajaran penyajian laporan keuangan Pemerintah Pusat secara keseluruhan, tetapi kami ingin hal ini tetap ditindaklanjuti," ujarnya.

Selain itu, Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini juga menyoroti masalah pengawasan pajak.

"BPK mengingatkan atas pemberian fasilitas pajak penghasilan badan masih belum memadai pengawasannya. Fasilitas yang diberikan itu seperti tax holliday, tax allowance, super tax deducation, investment allowance dan super tax deduction riset," tuturnya.

"Menurut BPK, kegiatan pengawasan pemberian fasilitas PPH Badan ini belum dilaksanakan secara memadai bahkan BPK juga menemukan masih belum memahami teknis pengawasan atas pemanfaatan fasilitas PPH Badan. Ini menjadi catatan tersendiri untuk DJP," kata dia menambahkan.

Selanjutnya, Anis juga mengungkap catatan BPK terkait piutang pajak macet sebesar Rp 20,84 triliun yang belum dilakukan tindak penagihan yang memadai.

BPK sudah merekomendasikan agar pemerintah melakukan inventarisasi atas piutang macet, kemudian melakukan penagihan aktif sesuai dengan ketentuan.

"Ini catatan kami yang berikutnya," ucapnya.

Dia juga merespons pemaparan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyampaikan bahwa pada tahun 2021, belanja modal merupakan belanja terendah yang hanya sebesar 77,03 persen dibandingkan belanja-belanja lainnya.

Sementara belanja pegawai terealisasi paling tinggi sebesar 98,55 persen, kemudian belanja barang 97,69 persen.

"Patut dipertanyakan mengapa realisasi belanja modal ini begitu kecil dan ke depannya perlu diantisipasi terkait langkah-langkah Menkeu untuk memacu belanja modal tersebut," kata Anis.

Terakhir, dia menyoroti terkait dengan LKPP yang mencantumkan laporan penanggulangan dampak pandemi di lingkungan kementerian atau lembaga.

Disebutkan untuk melindungi aparatur negara yang bertugas dan stakeholder layanan, termasuk di lingkungan Kementerian Keuangan.

Rinciannya, Pagu DIPA sebesar Rp 315.204.794.000. Belanja barang Rp 239.687.988.714, dan belanja modal Rp 1.348.300.294. Dengan realisasinya Rp 241.036.289.008.

"Hal ini perlu dijelaskan sebagai bentuk pertanggungjawaban, dipergunakan untuk apa saja anggaran sebesar ini untuk penanggulangan dampak pandemi di lingkungan kantor kementerian keuangan," ucap Anis Byarwati.[]

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya