News Rabu, 10 September 2025 | 09:09

Dua Kakek Korban Kriminalisasi PT TPL Didampingi Pastor dan Pendeta Mengadu ke DPR

Lihat Foto Dua Kakek Korban Kriminalisasi PT TPL Didampingi Pastor dan Pendeta Mengadu ke DPR Masyarakat adat di Kawasan Danau Toba menyerukan Tutup TPL di Gedung DPR RI, Selasa, 9 September 2025. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

JAKARTA - Sorbatua Siallagan (66) dan Mangitua Ambarita (69), bersama puluhan orang dari masyarakat adat dan peduli lingkungan hidup dari kawasan Danau Toba, Sumatra Utara, mengadukan kasus pelanggaran hak asasi manusia dan perusakan lingkungan oleh PT Toba Pulp Lestari (PT TPL), kepada Komisi XIII DPR RI di Senayan, Jakarta, Selasa (9/9/2025) siang. 

Mereka didampingi sejumlah pemuka agama, seperti pastor dari gereja Katolik, pendeta Huria Kristen Indonesia (HKI), juga lembaga non-pemerintah (NGO), organisasi kemasyarakatan, dan mahasiswa.

Sorbatua dan Mangitua, dua tokoh masyarakat adat yang pernah merasakan dinginnya udara sel tahanan atau penjara. Mereka berdua ditahan dalam kasus berbeda dan waktu berlainan. 

Keduanya adalah bagian dari 470 orang korban yang pernah mengalami pelanggaran hak asasi manusia terkait konflik PT Toba Pulp Lestari (dahulu PT Inti Indorayon Utama), perusahaan pabrik kertas di Kawasan Danau Toba.

“Seperti tadi telah disampaikan, saya memang sempat dipenjara karena aduan PT TPL. Terima kasih, saya sudah bebas. Kami meminta agar tanah adat ompung, leluhur kami dikembalikan kepada kami,” kata Sorbatua, dalam Bahasa Indonesia kental logat Batak.

Sorbatua merupakah tokoh masyarakat adat. Ia Ketua Masyarakat Adat Oppu Umbak Siallagan di Desa Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara. 

Sorbatua dan istrinya, Berliana boru Manik dikaruniai delapan anak. Lelaki pemahat dan pematung serta terampil ‘martagading’ atau memainkan alat musik tradisional gondang, memiliki empat orang cucu.

Sorbatua pernah menjadi terpidana, menjalani masa tahanan total delapan bulan, masa penahanan selama proses hukum 6 bulan, dan setelah vonis terpidana dua bulan. 

Sorbatua ditangkap secara paksa oleh aparat Kepolisian Daerah Sumatera Utara, berpakaian preman, tanpa prosedur hukum yang jelas, menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia pada 22 Maret 2024. 

Kakek yang rumahnya di Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, itu dijatuhi hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar oleh Pengadilan Negeri Simalungun pada 14 Agustus 2024. 

Majelis Hakim PN Simalungun yang diketuai Dessy Ginting dengan anggota Anggreana E Roria Sormin dan Agung CFD Laia menyatakan Sorbatua bersalah. 

Namun, Agung menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Dia menyebutkan, negara seharusnya melindungi keberadaan masyarakat adat yang sudah turun-temurun menduduki hutan adat. 

Putusan ini terkait tuduhan pendudukan lahan secara ilegal dan pembakaran hutan di areal konsesi PT TPL, meskipun tidak ada bukti kuat yang mendukung tuduhan tersebut.

Sorbatua banding. Putusan Pengadilan Tinggi (PT) Medan pada 18 Oktober 2024 menyatakan Sorbatua bebas dari tuntutan pidana, membatalkan vonis Pengadilan Negeri Simalungun. 

Putusan bebas dari PT Medan ini kemudian dikuatkan oleh Mahkamah Agung (MA) pada Juni 2025, setelah menolak kasasi yang diajukan oleh jaksa penuntut umum, sehingga Sorbatua secara sah tidak bersalah atas tuduhan pembakaran dan penyerobotan hutan.

Istri Strok dan Anak DO dari Unpad 

Kisah mengenai Mangitua Ambarita pun tidak kalah seru. Terpenjara oleh PT TPL, ayah lima anak itu, menerima kenyataan, istrinya Roni boru Sidabutar, jatuh sakit, kena strok. 

Semua bermula ketika Mangitua kena kriminalisasi hukum oleh PT TPL pada 6 September 2004.

Kala itu, Mangitua bersama anaknya yang masih pelajar, dan Parulian Ambarita, tengah berladang di tanah adat Sihaporas. 

Pihak TPL melapor kepada Polri Satuan Brimob, lalu merazia warga bertani di daerah yang bersengketa. 

Polisi menangkap Mangitua, dan Parulian, kemudian berjalan proses hukum yang tidak adil, keduanya dijatuhi vonis oleh PN Simalungun, penjara selama satu tahun dua bulan.

Setelah Mangitua dipenjara, kondisi kesehatan istrinya terus menurun. Ibu dari lima anak ini pun jatuh sakit hingga akhirnya strok.

Anak-anak tengah butuh keperluan biaya Pendidikan sekolah dan kuliah. Sang istri, belasan tahun sakit strok dan terus menjalani pengobatan dan terapi, hingga berpulang 29 Maret 2024.

Sebelum istri meninggal dunia, Mangitua yang kini  menjabat Ketua Umum Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras), juga mengalami kesedihan mendalam. 

Anak-anaknya juga ikut mengalami goncangan, bahkan anak ketiganya, yakni Donal Ambarita putus kuliah atau dropped out dari perguruan tinggi negeri, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung. 

Kemudian, anak kelima (bungsu), Giovani Ambarita batal kuliah ke UMPTN/seleksi Perguruan Tinggi Prodi Perairan Universitas Bangka Belitung karena ketiadaan biaya. Padahal sudah lolos seleksi, UMPTN, sekarang UTBK.

Ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia belum berakhir dipertontonkan. Lima warga Sihaporas ditangkap secara brutal oleh Polres Simalungun pada 23 Juli 2024. 

Lima orang, yakni Jonny Ambarita, Thomson Ambarita, Prado Tamba, Gio Ambarita dan Dosmar Ambarita, diringkus pukul 03.00 WIB, dinihari, diwarnai penganiayaan dan setrum listrik. Penangkapan tidak sesuai prosedur. 

BACA JUGA: ICJR: Patroli Siber TNI Bertentangan dengan KUHAP dan UU Keamanan Siber bagikan:

Giovani adalah anak bungsu Mangitua. Ia divonis delapan bulan penjara atas tudingan tindak pidana pengeroyokan pekerja PT TPL. 

TPL memang sering membenturkan secara konflik horizontal pekerja dengan masyarakat, untuk menjerat pasal pidana. Padahal perkara pokok perkara perdata, konflik agraria, konflik tanah adat.

Jonny Ambarita, adik bungsu Mangitua, dalam perkara yang sama dengan Giovani, dan dijerat perkara lainnya, divonis total dua tahun. Kini masih terpenjara di Lapas Pematangsiantar.

“Mohonlah anggota DPR RI yang terhormat, serius memperjuangkan keluhan kami, kembalikan tanah adat, jangan ada lagi kriminalisasi. Tutup perusahaan perusak lingkungan. Tutup TPL. Kalau bapak-bapak di DPR RI tidak serius, terus terang kami sebenarnya sudah tidak percaya kepada pemerintah, karena terlalu banyak janji-janji. Sebab kami sudah bertemu banyak pejabat. Ibu Menteri Kehutanan Siti Nurbaya, pernah janji akan bebaskan tanah kami dari konsesi PT TPL, tapi sampai dua periode, tidak jadi,” kata Mangitua.

Penangkapan di Sihaporas telah empat kali berulang terjadi, yakni tahun 20023, 2004, 2019 dan 2024. 

“Kami memperjuangkan tanah leluhur. Kami tidak bodoh. Kalau tidak benar, masak kami mau berulang ditangkap dan dipenjarakan kalau bukan karena memperjuangkan tanah adat warisan ompung, leluhur kami. Saya sendiri sudah generasi ke-8 di Sihaporas,” kata Mangitua. 

Didampingi Tokoh Agama

Dua warga korban pihak PT TPL, yakni Rudolf Pasaribu perwakilan masyarakat adat Natinggir, Kabupaten Toba dan Hotna Panggabean (Masyarakat adat Natumingka, Kabupaten Toba) juga bersuara.

Rudolf adalah korban kekerasan pekerja PT TPL ketika menyerang warga Desa Simare, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Kamis (7/8/2025). 

“Bapak Rudolf Pasaribu, rumahnya dirusak  dan warung miliknya dijarah massa TPL saat peristiwa 7 Agustus 2025 yang lalu,” ujar Ketua Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Tano Batak Jhontoni Tarihoran yang ikut mendampingi warga rapat dengar pendapat dengan Komisi XIII DPR RI.

“Kami tidak bisa lagi berladang, bapak/ibu anggota DPR RI. Tanah kami telah dirampas PT TPL,” kata Rudolf.

Masyarakat adat dari Kawasan Danau Toba mengikuti rapat dengar pendapat  ke DPR RI atas prakarsa Lembaga Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Ordo Fransiskan Kapusin (OFMCap) Provinsi Medan/Yayasan Justice Peace and Integrity of Creation (JPIC). 

Tampak hadir antara lain Ketua KPKC/JPIC Pastor Walden Sitanggang OFM Cap, Pastor Supriyadi Pardosi OFM Cap (JPIC), Bruder Sumitro Sihombing (JPIC), Pendeta Firman Sibarani (Ephorus HKI), Pendeta Happy Bontor Kaprianto Pakpahan (Praeses Huria Kristen Indonesia Daerah XII Jawa Lampung).

Kemudian, Jhontoni Tarihoran (Ketua Pengurus Harian AMAN Wilayah Tano Batak,  Rocky Suriadi Pasaribu (Direktur Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat /KSPPM), Jonris Manutur Simanjuntak (Tokoh Masyarakat Adat Nagasaribu), Rasnius Pasaribu dan Lodewiyk Sihite  (Ikatan Keluarga Katolik Sumatera Utara/IKKSU), Albertus Simamora (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia/PMKRI), Pius Sinurat (Ikatan Sarjana Katolik Indonesia/ISKA), Denny Br. Tambunan (Wanita Katolik Republik Indonesia/WKRI). []

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya