Jakarta - Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Choky Ramadhan menyebut pengadilan tindak pidana korupsi atau tipikor seharusnya dibentuk di setiap kota yang jumlahnya lebih dari 500.
Choky mengungkap hasil penelitian yang sudah dipublikasikan beberapa waktu lalu berjudul "Reviewing the Indonesian Anti-Corruption Court: Cost-Effective Analysis".
Choky kemudian menyampaikan itu ketika berbicara dalam diskusi publik yang digelar Transparency International Indonesia bertajuk "Mencari Sosok Hakim Adhoc Tipikor Berintegritas" pada Rabu, 2 Maret 2022, lewat Zoom dan YouTube.
Dia melalui penelitiannya tersebut menggunakan pendekatan cost-effective analysis untuk me-review keadaan pengadilan tipikor saat ini.
"Pengadilan tipikor seharusnya dibentuk di setiap kota yang jumlahnya lebih dari 500, namun karena keterbatasan hanya ada 34 pengadilan tipikor yang berada di masing-masing provinsi," ungkapnya.
Selain keterbatasan anggaran, masalah lainnya adalah adanya keterbatasan sumber daya manusia dengan integritas dan juga kapasitas untuk menjadi hakim adhoc.
Baca juga: PBHI: Seleksi Hakim Adhoc Tipikor Minim Transparansi
Kemudian ada juga ketidakpercayaan dari masyarakat akibat conviction rate yang menurun dan adanya korupsi di dalam pengadilan tipikor itu sendiri.
Melalui cost-effectiveness analysis, imbuh Choky, dengan data yang digunakan adalah data tahun 2015, didapati bahwa KPK jauh lebih efektif dalam menuntut perkara korupsi.
Biaya yang dikeluarkan oleh KPK dapat kembali sebanyak enam kali lipat lebih banyak dari biaya yang dikeluarkan untuk menuntut perkara korupsi.
"Berbeda dengan Kejaksaan yang hanya mampu mengembalikan sebesar 0,17 dari biaya yang dikeluarkan untuk menuntut perkara korupsi," tukasnya.
Choky menambahkan, bahwa dalam wawancara bersama dengan Hakim Suhadi di tahun 2017, dia menyatakan bahwa idealnya ada sebanyak 2.688 hakim adhoc jika pengadilan tipikor dibangun di seluruh kabupaten di Indonesia.
Baca juga: Seleksi Hakim Adhoc Tipikor Libatkan KPK dan PPATK
Jika hakim adhoc tipikor mendapatkan gaji sebesar Rp 240 juta per tahun, maka rakyat Indonesia perlu mengeluarkan uang sebesar Rp 645 miliar per tahun untuk menggaji para hakim adhoc tersebut.
"Angka ini justru melebihi nilai yang dikumpulkan oleh Kejaksaan dan KPK tadi," tuturnya.
Choky kemudian memberikan beberapa rekomendasi untuk menciptakan kebijakan yang efisien dan hemat biaya, yaitu mengoptimalkan peran jaksa penuntut umum dalam penerapan prinsip satu dan tak terpisahkan.
Kemudian, membuat hakim tipikor berkeliling untuk memeriksa kasus yang ada di kota dan kabupaten, dan memodifikasi pengadilan tipikor untuk memisahkan perkara yang big fish.
"Pengadilan tipikor memiliki sejumlah keterbatasan sumber daya, seperti anggaran, infrastruktur, SDM untuk membiayai pengadilan tipikor yang ideal. Biaya yang diperlukan untuk merekrut jumlah hakim adhoc yang ideal di seluruh kabupaten dan kota juga sangat besar," terangnya.
Di samping itu menurut Choky, meningkatkan biaya penegakan hukum tidaklah mudah karena akan mempengaruhi biaya yang lain, seperti mengurangi biaya penanganan pandemi Covid-19, pembangunan infrastruktur, dan lainnya.
Sehingga dalam kejahatan seperti korupsi, menurut dia, harus memperhatikan upaya untuk monetary sanctions.
Hakim juga perlu konsisten dalam menerapkan Perma 1/2020 untuk mencapai proporsionalitas dan kepastian hukum. []