Jakarta - Tengah berproses rekrutmen hakim adhoc tindak pidana korupsi (tipikor). Mahkamah Agung membutuhkan tiga orang hakim adhoc tipikor. Komisi Yudisial pun melakukan serangkaian tahapan seleksi.
Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai proses seleksi hakim adhoc tipikor sejauh ini tidak transparan.
Julius menyebut hal itu saat dirinya menjadi salah satu narasumber dalam diskusi publik yang digelar Transparency International Indonesia bertajuk "Mencari Sosok Hakim Adhoc Tipikor Berintegritas" pada Rabu, 2 Maret 2022, lewat Zoom dan YouTube.
Julius menyampaikan bahwa pada prinsipnya, mencari hakim adhoc tipikor sama seperti mencari hakim agung dengan rujukan Pasal 24A UUD 1945 yang mengatur syarat dan kualifikasi hakim agung yang bak manusia setengah dewa.
Dia mengatakan, bahwa koalisi masyarakat pemantau peradilan memiliki sejumlah catatan terhadap rangkaian proses pemilihan hakim adhoc tipikor. Di antaranya adalah mengenai transparansi.
Baca juga: Korps Pemberantasan Tipikor Polri Dibentuk, Posisi Novel Baswedan Cs Belum Diketahui
"Mencari hakim adhoc tipikor tidak bisa dilakukan dengan menunggu orang-orang melakukan pendaftaran. Melainkan harus dilakukan jemput bola. Selain itu, proses ini juga minus transparansi, tidak banyak informasi mengenai siapa saja yang menjadi calon, siapa saja yang lolos, dan sebagainya," tukasnya.
Julius kemudian menggugah soal akuntabilitas yang juga masih dipertanyakan. Informasi yang minim, masyarakat pun sulit ikut melakukan pemantauan secara detail terhadap profil para calon.
"Keterlibatan publik dalam memberikan saran dan masukan juga menjadi terbatas," tukasnya.
Selanjutnya adalah partisipasi publik yang juga dijamin oleh Pasal 17 ayat (3) UU Komisi Yudisial, masyarakat diberi hak untuk memberikan informasi dan pendapat.
"Namun bagamana masyarakat dapat memahami haknya, jika transparansi dan akuntablitas dari keseluruhan proses ini juga masih kurang," kata Julius.
Kemudian soal manajemen dan beban perkara, menurut dia, bagaimana relasinya dengan hakim adhoc itu sendiri.
Terlebih, hakim adhoc nantinya akan membentuk satu majelis dengan hakim pidana, maka hakim pidana tersebut juga harus melewati proses yang terintegrasi dengan hakim adhoc.
"Supaya jangan sampai hakim adhoc-nya sudah berintegritas, tapi hakim pidananya tidak," tandasnya. []