MEDAN - PT Dairi Prima Mineral, sebuah perusahaan tambang seng dan timbal yang berada di bawah payung perusahaan Tiongkok bersikukuh untuk beroperasi di Kabupaten Dairi, Sumatra Utara.
Meski izin persetujuan lingkungannya sudah dicabut Kementerian Lingkungan Hidup pasca putusan Mahkamah Agung pada 21 Mei 2025, perusahaan kembali mengajukan analisis dampak lingkungan atau Amdal terbaru.
Kementerian Lingkungan Hidup sepertinya merespons usulan Amdal tersebut, hingga kemudian menggelar rapat konsultasi publik pada 27 November 2025 di Sidikalang, Kabupaten Dairi.
Dalam rapat konsultasi itu, kementerian dan perusahaan sengaja hanya mengundang kelompok masyarakat lokal dan pihak-pihak yang ditengarai lebih condong kepada perusahaan.
Sementara kelompok masyarakat yang selama ini getol melakukan penolakan perusahaan itu, termasuk yang menggolkan pencabutan izin persetujuan lingkungan, tidak diundang.
Susandi Panjaitan, warga dari Desa Pandiangan, Kecamatan Lae Parira, Kabupaten Dairi, mengatakan semula sangat melegakan akhirnya persetujuan lingkungan PT DPM dibatalkan kementerian.
"Namun, sekarang mereka kembali lagi dan masih mengusulkan tambang yang bisa mengancam kehidupan dan lingkungan kami,” kata dia dalam keterangan pers pada Kamis, 18 Desember 2025.
Nurleli Sihotang dari Bakumsu, yang selama ini mendampingi warga yang dirugikan, menyebut rapat konstultasi publik itu tidak mengundang pihaknya.
Kementerian dan PT DPM hanya mengundang LSM yang berbasis di Dairi. Hanya saja, mereka menerima undangan pada tanggal 25 dan 26 November.
"Hal ini bertentangan dengan peraturan yang menyatakan bahwa pemberitahuan minimal lima hari harus diberikan,” terangnya.
Hal itu diakui Monica Siregar dari Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK), sebuah NGO yang berbasis di Kabupaten Dairi.
Dia mengatakan, rapat yang dilakukan pada 27 November 2025 itu bukan merupakan konsultasi Amdal yang sah.
"Sepertinya DPM dan Kementerian Lingkungan Hidup sengaja menghindari masukan yang serius,” tutur dia.
Usulan Amdal
Izin persetujuan lingkungan PT DPM sebelumnya diberikan tahun 2022 oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
Lewat perjuangan warga yang menolak kehadiran korporasi itu, izin dimaksud kemudian dibatalkan lewat putusan Mahkamah Agung, hingga dicabut Kementerian Lingkungan Hidup pada Mei 2025.
Tidak menyerah, PT DPM ajukan proposal Amdal terbaru. Terungkap laporan Amdal baru tersebut memuat rencana tambang, yang melibatkan kegiatan mengembalikan semua limbah tambang ke dalam lubang tambang bawah tanah.
Sejumlah ahli menilai rencana itu sesuatu yang mustahil dilakukan karena PT DPM pada akhirnya akan tetap membangun bendungan limbah tambang yang berbahaya.
Dr. Steven Emerman, seorang ahli hidrologi tambang dan pemilik Malach Consulting, yang meninjau Adendum Andal DPM sebelumnya dan adendum bulan November 2025, mengungkapkan soal langkah yang mustahil tersebut.
Menurut dia, materi yang ditambang akan membesar atau bertambah volumenya saat diekstraksi dan diolah.
Begitu konsentrat seng dan timbal diekstraksi dari tubuh bijih, seluruh tailing tidak dapat dimasukkan kembali ke dalam lorong bawah tanah yang telah (ditambang) habis.
Menurut standar dalam industri pertambangan, hanya 50- 60 persen tailing dapat dimasukkan kembali menggunakan pendekatan pasta semen ini, bahkan dengan kondisi tidak ada batuan limbah yang diisikan kembali.
“DPM pada akhirnya harus membangun bendungan tailing di permukaan tanah, untuk menampung mungkin sekitar 2,5 juta ton tailing. Setiap bangunan bendungan tailing di wilayah Dairi tidak akan aman, karena karakteristik geologi dan kondisi di sana. Adendum Analisis Mengenai Dampak Lingkungan DPM yang baru tidak menyebut bendungan tailing sama sekali, meskipun faktanya tambang tersebut akan membutuhkan bendungan tailing yang sangat besar," ungkap dia.
Steven Emerman sangat mengkhawatirkan langkah dan rencana PT DPM ini.
"Saya sudah pernah mengatakan sebelumnya, dan akan saya katakan lagi, tidak disangsikan lagi, ini adalah usulan tambang paling tidak bertanggung jawab yang pernah saya lihat selama bertahun-tahun meninjau rencana tambang dan melakukan Analisis Dampak Lingkungan,” tandasnya.
Adendum ANDAL November 2025 kata dia, juga mengungkap ada sejumlah `persetujuan teknis` yang diberikan kepada PT DPM pada tahun 2024 dan 2025. Salah satunya adalah untuk Manajemen Limbah Berbahaya.
“Mengapa kementerian memberikan persetujuan untuk sebuah aspek tambang tanpa memerika apakah rencana tambangnya sendiri layak secara teknis? Laporan menyimpulkan bahwa `persetujuan teknis` ini semestinya dianggap tidak relevan dan tidak layak untuk tujuan yang dimaksudkan,” tukasnya.
Fakta lain terungkap soal perusahaan induk dari pemilik mayoritas saham PT DPM, banyak bertanggung jawab atas bencana besar yang terjadi di berbagai negara yang berkaitan dengan bendungan tailing, seperti di Zambia, dan sudah berkali-kali mendapatkan peringatan di Tiongkok karena perusakan terhadap lingkungan.
Direktur Bakumsu Juniaty Aritonang mengatakan, Kementerian Lingkungan Hidup tidak seharusnya mempertimbangkan usulan baru dari PT DPM.
Sebab para ahli mengatakan, bendungan yang dirancang sebelumnya akan jebol yang bisa mengirim banjir limbah beracun ke desa-desa.
"Dalam tiga versi sebelumnya dari addendum, mereka mengabaikan saran para ahli. Perusahaan semacam ini tidak seharusnya diizinkan memohon persetujuan lingkungan lagi,” katanya.
Pada Maret 2025, wakil manajer perusahaan induk pemilik mayoritas saham PT DPM dan sebuah perusahaan milik negara, dilaporkan mengatakan bahwa pejabat terkait di Indonesia menyatakan dukungan kebijakan untuk proyek tersebut.
Mengadu ke PBB
Nurleli Sihotang menilai, hukum di Indonesia tidak diterapkan dengan benar. Hak-hak masyarakat dan lingkungan sedang disalahgunakan.
"Peran pemerintah Indonesia dalam mendukung tambang DPM yang berbahaya membuat kami tidak punya pilihan selain membawa kasus ini ke Perserikatan Bangsa - Bangsa,” katanya.
Hal itu diakui Juniaty Aritonang. Warga setempat melalui Bakumsu telah meminta Pelapor Khusus PBB tentang Bahan Beracun untuk menyelidiki kasus ini.
Pengaduan mereka ajukan pada akhir November 2025, dan juga disampaikan kepada Pelapor Khusus lainnya, serta Kelompok Kerja tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia.
"Kami berharap PBB, otoritas hak asasi manusia tertinggi di dunia, akan menyelidiki apa yang sedang terjadi,” katanya.
Opung Gisel dari Desa Bongkaras, Kecamatan Silima Pungga-pungga, Kabupaten Dairi melontarkan keresahannya atas posisi pemerintah, yang seharusnya melindungi mereka.
"Kami harus pergi ke PBB, dengan harapan mereka dapat membawa kemandirian dan transparansi dalam hal ini. Kami membutuhkan perhatian internasional dalam hal ini,” katanya.
Juniaty mengatakan, para pelapor khusus hanya dapat datang ke negara anggota untuk melakukan penyelidikan jika negara tersebut mengundang mereka.
"Kami ingin Pemerintah Indonesia mengundang mereka. Jika pemerintah tidak memiliki apa pun yang perlu disembunyikan, mereka akan mengundang para pelapor khusus. Jika tidak, PBB akan mengandalkan laporan tertulis, dan kita akan tahu bahwa Pemerintah Indonesia takut akan transparansi,” ujarnya. []