Jakarta - Judicial Research Society (IJRS) melakukan penelitian dengan metode analisis data sekunder atau indeksasi terhadap 735 putusan pengadilan tingkat pertama untuk melihat gambaran kekerasan seksual yang dialami perempuan dan diselesaikan melalui jalur pengadilan.
Peneliti IJRS Marsha Maharani membeber hasil temuan mereka dalam webinar yang digelar dalam rangka Hari Perempuan Internasional dengan topik `Urgensi Pengesahan RUU TPKS sebagai Pembaruan Hukum Perlindungan dan Pemulihan Korban Kekerasan Seksual”.
Webinar digelar secara live Zoom dan YouTube pada Senin, 7 Maret 2022 menghadirkan dua narasumber dan tiga penanggap serta dimoderasi Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu.
Marsha dalam pemaparannya menyebut, penelitian menganalisis secara kuantitatif terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dari Direktori Putusan Mahkamah Agung dalam rentang waktu 2018 hingga 2020.
"Secara keseluruhan, terdapat 735 putusan yang dianalisis," kata dia.
Diungkapnya, mayoritas pasal yang digunakan dalam putusan, pasal-pasal UU Perlindungan Anak, yaitu Pasal 81 (persetubuhan terhadap anak) dan Pasal 82 (pencabulan terhadap anak) UU Perlindungan Anak (64,9 persen).
Dalam putusan yang dianalisis, mayoritas jumlah terdakwa merupakan terdakwa tunggal 98,5 persen.
Dari seluruh putusan yang terdakwanya satu orang, ditemukan bahwa 77,3 persen terdakwa melakukan kekerasan seksual berulang kali kepada korban, atau terjadi repetisi tindak kekerasan seksual.
Mayoritas terdakwa sebagai pelaku kekerasan seksual atau 99,0 persen adalah laki-laki, dengan mayoritas korban didominasi anak-anak dan sisanya adalah korban dewasa.
Mayoritas terdakwa sebagai pelaku kekerasan seksual ada dalam rentang usia 18- 25 tahun atau kelompok usia remaja akhir, yaitu 33,5 persen.
Baca juga: IJRS Ungkap Pelaku Kekerasan Seksual Punya Relasi Personal dengan Korban
Kemudian rentang usia 26-35 tahun 21,5 persen, diikuti dengan rentang usia 8-18 tahun yaitu 14,1 persen dan rentang usia 36-45 tahun, yaitu 13,5 persen.
Mayoritas total lama penahanan terdakwa selama menjalani proses hukum dalam putusan perkara kekerasan seksual ada dalam jangka waktu 4 hingga 6 bulan, yaitu 44,2 persen dan 6 hingga 8 bulan, yaitu 26,3 persen.
Dalam putusan yang dianalisis, mayoritas jumlah korban adalah korban tunggal, yakni 96,6 persen.
Dari seluruh putusan yang korbannya satu orang, ditemukan bahwa 74,2 persennya merupakan korban yang berusia anak, yakni rentang usia 2 – 17 tahun.
Hampir seluruh pihak yang menjadi korban adalah perempuan sebesar 99,5 persen. Terdapat juga 0,3 persen putusan di mana korbannya adalah laki-laki.
Mayoritas yaitu 72,1 persen yang menjadi korban adalah perempuan yang masih berusia anak yaitu 6-18 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa anak perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual.
Temuan menunjukkan bahwa terdapat pula korban kekerasan seksual yang memiliki disabilitas, seperti disabilitas mental 1,1 persen, disabilitas fisik 0,7 persen hingga disabilitas intelektual 0,3 persen.
Mayoritas korban, yaitu 87,9 persen mengenal terdakwanya. Pelaku yang dikenal oleh korban adalah pacar korban 25,2 persen, anggota keluarga lain 13,5 persen, anggota keluarga inti 13.3 persen, teman 12,7 persen hingga tetangga 12,4 persen.
"Temuan lainnya menunjukkan bahwa mayoritas perkara kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak masuk ke pengadilan ketika sudah mengalami repetisi atau keberulangan, sebesar 76,9 persen," ungkap Marsha.
Dari hasil temuan penelitian ini ditemukan bahwa mayoritas korban, yaitu 59,6 persen ternyata memutuskan untuk menceritakan terlebih dahulu kekerasan seksual yang dialaminya kepada keluarga sebelum masuk ke proses hukum.
Hasil penelitian ini turut menunjukkan bahwa 25,7 persen korban mengalami kekerasan seksual karena adanya bujuk rayu dari pelaku. Lalu, 9 persen lainnya dikarenakan adanya tipu daya dan 3,8 persen lainnya adalah karena diancam, serta 3,7 persen karena ada janji dinikahi.
Temuan lainnya yang ditunjukkan dalam hasil penelitian ini adalah 59,9 persen mengalami kekerasan seksual di rumahnya sendiri. Lalu ada 6,3 persen yang mengalami kekerasan seksual di kebun, dan 4,6 persen di rumah terdakwa serta 3,7 persen mengalami di sekolah. []