News Senin, 07 Maret 2022 | 17:03

IJRS Ungkap Pelaku Kekerasan Seksual Punya Relasi Personal dengan Korban

Lihat Foto IJRS Ungkap Pelaku Kekerasan Seksual Punya Relasi Personal dengan Korban Peneliti IJRS Marsha Maharani menyampaikan hasil penelitian kekerasan seksual yang ditangani peradilan di Indonesia, Senin, 7 Maret 2022. (Foto: YouTube)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Indonesia Judicial Research Society (IJRS) mengungkap banyak fakta sesuai hasil temuan dan penelitian, di antaranya kasus kekerasan seksual kerap melibatkan pelaku sebagai orang yang memiliki relasi personal/privat dengan korban. 

Bahkan, data temuan yang paling banyak adalah pelaku kekerasan seksual memiliki relasi sebagai pacar dari korban. 

"Hal ini menunjukkan perlu pendefinisian kekerasan seksual, khususnya frasa `persetujuan` atau `consent` melalui penyusunan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dan penyusunan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi penting," kata Peneliti IJRS Marsha Maharani saat memaparkan hasil penelitian pihaknya dalam webinar, Senin, 7 Maret 2022.

Webinar digelar menyambut Hari Perempuan Internasional. IJRS menyodorkan topik diskusi “Urgensi Pengesahan RUU TPKS sebagai Pembaruan Hukum Perlindungan dan Pemulihan Korban Kekerasan Seksual”.

Lebih lanjut Marsha menyebut, dalam hal ini juga harus diatur bagaimana aparat penegak hukum perlu memahami bahwa meskipun status relasi antara pelaku dengan korban adalah pasangan, misalnya berpacaran atau menikah, tidak dapat dimaknai semua tindakan seksual yang terjadi sudah pasti memiliki consent atau persetujuan dari salah satu pihak dalam hubungan tersebut.

Disebutnya, tingginya temuan terkait usia muda baik pelaku maupun korban kekerasan seksual, hal ini menandakan bahwa pendidikan seksual sebagai upaya pencegahan kekerasan seksual penting disosialisasikan sejak usia dini. 

"Sehingga perlu adanya perhatian dari pemerintah, terutama Kementerian yang menaungi pendidikan, agar memiliki fokus pendidikan pencegahan kekerasan seksual terhadap para siswa," katanya.

Baca juga: Infografis: Fraksi PKS Menolak, DPR Sepakati RUU TPKS Menjadi RUU Inisiatif DPR

Meskipun demikian, imbuh Marsha, penyusunan bentuk metode dan kurikulum pendidikan perlu melibatkan ahli agar materi pendidikan seks sebagai upaya pencegahan kekerasan seksual sesuai dengan usia dan penalaran pelajar sesuai jenjang pendidikan masing-masing.

Marsha kemudian menyebut, Peraturan Mahkamah Agung atau Perma 3/2017 ternyata dapat menjadi acuan bagi hakim dalam memeriksa perkara. 

Bahkan data temuan yang diperoleh IJRS menunjukkan banyak hakim sudah mengimplementasikan Perma 3/2017, meskipun masih belum keseluruhan hakim. 

Sehingga menjadi penting agar substansi Perma 3/2017 dapat menjadi acuan bagi pemerintah maupun DPR RI ketika nantinya menyusun RUU TPKS dan Rancangan KUHAP.

Disebutnya, mengingat bentuk dakwaan yang paling banyak ditemukan adalah bentuk dakwaan alternatif, menandakan adanya keraguan penegak hukum ketika menentukan pasal yang digunakan, terutama antara tindak pidana persetubuhan dengan pencabulan.

Hal ini terjadi kata dia, karena definisi persetubuhan masih terfokus kepada perbuatan perkosaan yang disertai penetrasi dan adanya air mani.

Kemudian, melihat masih sedikitnya pengajuan ganti kerugian terhadap korban kekerasan seksual, IJRS merekomendasi, ke depannya oleh penuntut umum sebagai yang menentukan bentuk dakwaan dan tuntutan atas suatu perkara. 

Kejaksaan perlu memastikan baik secara kebijakan, pengawasan maupun peningkatan kapasitas untuk memastikan setiap penuntut umum, agar dapat mengidentifikasi dampak kerugian korban kekerasan seksual baik secara fisik, psikis dan ekonomi. 

Apalagi hal ini juga sudah diatur oleh peraturan internal Kejaksaan, yaitu Pedoman 1/2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak.

"Perlu dilakukan perubahan terkait dengan rentang pidana kurungan pengganti denda agar kemudian dapat dijatuhkan secara lebih proporsional sesuai dengan pidana penjara pengganti dendanya," tegas Marsha. 

Selain Marsha, webinar juga menghadirkan pembicara Feri Sahputra selaku Lead for Access to Justice Puskapa UI dan tiga penanggap, yakni Ali Khasan selaku Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian PPPA.

Livia Istania DF Iskandar selaku Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Purwanti selaku Koordinator Advokasi dan Jaringan SIGAB, serta moderator Erasmus Napitupulu dari ICJR. []



Berita Terkait

Berita terbaru lainnya