Jakarta, - Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Kejaksaan Agung, Reda Manthovani, menilai pembangunan infrastruktur saat ini begitu masif dengan didukung alokasi yang besar dari APBN. Namun, dalam pelaksanaannya masih dihadapkan dengan persoalan tindak pidana korupsi.
Hal itu terlihat dengan terungkapnya indikasi korupsi dalam beberapa proyek infrastruktur nasional, seperti perkara pembangunan menara Base Transceiver Station (BTS) 4G dan Infrastruktur Pendukung tahun 2020-2022, kasus korupsi Pembangunan Jalan Tol-Layang Cikampek II MBZ Tahun 2016-2017 dan Pembangunan Jalur Kereta Api Besitang-Langsa tahun 2017-2023.
“Seperti yang kita ketahui bersama, konsep korupsi sektor infrastruktur pada pokoknya merupakan suatu perbuatan atau tindakan melawan hukum yang dilakukan dengan maksud atau tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan, memberikan keuntungan kepada orang lain atau kepentingan tertentu,” kata Reda pada Kick Off kegiatan Penerangan Hukum oleh Kejaksaan Agung di lingkungan PT PLN (Persero) dengan materi ”Tindak Pidana Korupsi dan Upaya Pencegahannya” di Jakarta, Senin (12/8/2024).
Menurutnya, hampir seluruh kasus korupsi dalam proyek infrastruktur dilatarbelakangi modus operandi atau cara-cara melanggar hukum yang dilakukan secara terencana, rapi, dan sistematis.
Berdasarkan rilis pemberitaan penanganan korupsi oleh Kejagung, modus operandi tindak pidana korupsi yang ditemukan di antaranya pengkondisian pemenang tender, upaya mark up, memanipulasi atau mengabaikan rekomendasi hasil studi kelayakan, dan penyalahgunaan kewenangan atau praktik suap-menyuap/gratifikasi.
“Dari sekian modus operandi yang disebutkan tadi, maka suap-menyuap atau gratifikasi termasuk perbuatan yang paling sering terjadi sebab hampir lebih dari 60 persen kasus tindak pidana korupsi terkait suap-menyuap,” ujarnya.
Apabila ditarik lebih jauh, Reda mengungkap sebenarnya perbuatan suap-menyuap sebagian besar dilatarbelakangi oleh pembangunan infrastruktur yang masih ditangani oleh pemerintah termasuk BUMN/BUMD yang mendapatkan penyertaan modal negara atau mendapatkan penugasan dari pemerintah, sehingga memungkinkan munculnya “moral hazard” yang dilakukan oleh oknum tertentu.[]