Jakarta -Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak Presiden Jokowi dan DPR RI segera mengevaluasi Kepala Staf TNI AD Jenderal Dudung Abdurachman.
Dalam pernyataan koalisi yang merupakan gabungan dari sejumlah lembaga tersebut, menilai sejumlah masalah terkait TNI/Polri beberapa waktu terakhir menjadi potret persoalan serius dalam tata kelola sektor pertahanan dan keamanan.
Terbaru adalah tindakan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman yang mengarahkan anggotanya agar merespons pernyataan anggota DPR Komisi I Effendi Simbolon.
"Tindakan itu sangatlah tidak tepat serta bertentangan dengan prinsip demokrasi dan negara hukum," kata Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam pernyataan tertulis diterima Opsi pada Kamis, 15 September 2022.
Disebutkan, koalisi menilai bahwa pandangan dari anggota DPR terhadap TNI dalam suatu rapat koordinasi antar kelembagaan negara merupakan hal yang bersifat konstitusional dan dijamin undang-undang.
Hal tersebut menjadi bagian dari fungsi pengawasan legislatif, secara khusus Komisi I DPR yang pada hakikatnya juga memiliki wilayah tugas untuk mengawasi dan mitra kerja institusi TNI.
Dalam kasus terakhir, anggota DPR Effendi Simbolon tengah mempertanyakan Panglima TNI atas pelanggaran HAM yang berulang di Papua.
Kritik ini adalah sejenis evaluasi atas kinerja Panglima TNI dalam memastikan anggotanya menghormati HAM.
"Koalisi menilai, tindakan KSAD atas pandangan seorang anggota DPR sebagai bentuk pembangkangan terhadap otoritas sipil. Tindakan itu tidak dibenarkan dengan dalih dan alasan apapun. Sikap tersebut adalah cermin dari tentara berpolitik dan tidak menghormati supremasi sipil, bukan tentara profesional," tukas Ketua Umum YLBHI Muhamad Isnur dalam pernyataan koalisi tersebut.
Baca juga:
Jenderal Dudung Abdurachman Nyanyi Lagu Batak `Sai Anju Ma Ahu`
Dikatakan, dalam negara hukum dan demokrasi, DPR dan Presiden adalah otoritas sipil yang dipilih oleh rakyat melalui proses Pemilu yang merupakan mekanisme formal demokrasi yang ditegaskan dalam Konstitusi.
Tugas dan fungsi utama Presiden dan DPR salah satunya adalah mengawasi institusi militer. Dalam konteks itu, apa yang disampaikan oleh anggota DPR dalam mengawasi TNI adalah kewenangan otoritas sipil yang diakui dan ditegaskan dalam Konstitusi dalam rangka melakukan kontrol sipil demokratik terhadap militer.
Menurut koalisi, sistem demokrasi menempatkan institusi militer sebagai instrumen pertahanan negara yang harus tunduk terhadap kebijakan maupun pengawasan yang dilakukan oleh otoritas sipil.
Baca juga:
Sindir Effendi Simbolon, Dudung: Komisi I Kerjanya Hanya Minta
Sebagai alat, maka tidak dimungkinkan pimpinan militer melakukan protes atau kritik secara terbuka di luar sarana/forum formil kepada pemimpin sipil. Militer harus tunduk atas kebijakan dan pengawasan yang dilakukan oleh otoritas sipil.
"Koalisi menilai, pernyataan anggota dewan seharusnya dijadikan bahan refleksi dan evaluasi diri atas berbagai permasalahan yang melibatkan anggota TNI. Pernyataan anggota dewan bukanlah representasi perorangan, melainkan representasi rakyat yang dipilih rakyat. Oleh karena itu, protes maupun intimidasi atas kerja-kerja yang dilakukan oleh DPR sama saja artinya pimpinan TNI AD tidak menghargai mandat rakyat yang telah dititipkan kepada anggota DPR terpilih." terang Direktur Imparsial Gufron Mabruri.
Koalisi juga menilai, hingga hari ini TNI masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi, khususnya terkait dengan proses reformasi TNI dan transformasi TNI yang masih mengalami stagnasi.
Dalam rangka itu, kritik terhadap berbagai persoalan di institusi TNI jangan dipandang sebagai bentuk penghinaan atau merusak TNI, namun menjadi bagian dari upaya untuk mendorong TNI sebagai tentara yang profesional, terutama meningkatkan komitmen dalam menjalankan fungsinya sebagai alat pertahanan negara.
"Koalisi mendesak DPR dan Presiden segera mengevaluasi KSAD, karena sikap tindak KSAD itu merupakan bentuk pembangkangan terhadap otoritas sipil yang tidak dibenarkan dalam sistem demokrasi dan negara hukum. Evaluasi juga harus dilakukan terhadap Panglima TNI berkaitan dengan berulangnya kasus pelanggaran HAM oleh anggota TNI khususnya di Papua," imbuh Andi M. Rezaldy yang merupakan Kepala Divisi Hukum KontraS.
Dikatakan bahwa langkah evaluasi itu juga harus dibarengi dengan upaya melakukan tata kelola reformasi TNI dan transformasi TNI ke arah yang lebih profesional.
Sejumlah elemen yang tergabung dalam koalisi, yakni YLBHI, PBHI Nasional, Imparsial, Amnesty International Indonesia, KontraS, LBH Jakarta, ELSAM, dan LBH Masyarakat.
Kemudian, SETARA Institute, Public Virtue Institute, ICW, HRWG, ICJR, LBH Pers, WALHI, LBH Pos Malang, dan Centra Initiative. []