News Minggu, 17 September 2023 | 17:09

Konflik Rempang, Negara Gagal Memaknai Pasal 33 UUD 1945

Lihat Foto Konflik Rempang, Negara Gagal Memaknai Pasal 33 UUD 1945 Rusuh Pulau Rempang. (Foto: Ist)
Editor: Rio Anthony

Jakarta - Bentrok yang terjadi dalam unjuk rasa warga yang menolak pengembangan kawasan Rempang Eco-City, Kota Batam, Kepulauan Riau di depan kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, mengkonfirmasi kegagalan negara dalam memaknai prinsip-prinsip dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah diejawantahkan dalam UUD Tahun 1945. 

Tak terkecuali, prinsip hak menguasai negara atas bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945.

Hal ini sebagaimana disampaikan Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso dalam siaran persnya, Minggu, 17 September 2023.

Disebutnya, prinsip hak menguasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat harus dimaknai sebagaimana ditegaskan dalam beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Di antaranya putusan MK No. 002/PUU-I/2003, putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010, dan putusan MK No. 36/PUU-X/2012, yang pada pokoknya menegaskan bahwa rakyat secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezicht houden daad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

"Sehingga jelas, bahwa Pasal 33 UUD 1945, menghendaki bahwa penguasaan negara itu harus berdampak pada sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Sebab, negara sangat mungkin melakukan penguasaan terhadap tanah dan sumber daya alam secara penuh tetapi tidak memberikan manfaat sebesar-besar kemakmuran rakyat," kata Sugeng. 

Oleh karenanya kata dia, kriteria konstitusional untuk mengukur makna konstitusional dari penguasaan negara adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 

Hal itu seharusnya juga dilaksanakan di Rempang dan Galang. Rakyat penghuni 16 kampung tua yang didiami sejak 1.834 oleh masyarakat suku Melayu dan suku-suku lain yang saat ini diduga berjumlah 10.000 jiwa harus dimakmurkan dan disejahterakan oleh negara sesuai UUD 1945.

IPW kata Sugeng menilai, bahwa pengembangan kawasan Rempang yang telah direncanakan sejak tahun 2004 melalui perjanjian kerja sama antara BP Batam dan Pemerintah Kota Batam dengan PT Makmur Elok Graha (PT MEG), dimana PT MEG telah menyiapkan pelaksanaan investasi melalui Rempang Eco-City Development Strategy dengan rencana investasi sebesar kurang lebih Rp 381 triliun dan ditindaklanjuti dengan menarik pemodal/investor dari Cina dengan Perjanjian Chengdu 28 Juli 2023, tidaklah serta-merta dapat dimaknai untuk kemakmuran rakyat, meskipun dimasukkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. 

PSN seharusnya menurut dia, bermuara pada kesejahteraan rakyat, bukan pada kepentingan kelompok swasta tertentu seperti PT MEG yang terafiliasi dengan pengusaha keturunan Tionghoa Tommy Winata. 

Apalagi pada prosesnya, pada 2007 Polri pernah memeriksa Tommy Winata sebagai pihak yang mewakili PT. MEG terkait proyek Rempang Eco City dalam dugaan kasus korupsi yang merugikan keuangan negara. Penyelidikan kasus ini harus dibuka pada publik proses hukumnya. 

Sebelumnya, telah terjadi bentrok antara polisi dengan masyarakat yang mempertahankan hak hidupnya dan saat ini upaya pelibatan Polri dalam mempengaruhi masyarakat mendaftarkan diri untuk relokasi rakyat Rempang, bukanlah tugas Polri dan bertentangan dengan tugas, fungsi dan wewenang kepolisian berdasarkan UU No. 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 

"IPW mengingatkan agar Polri memahami landasan filosofis kelembagaan Polri yang berjiwa Tri Brata dan Catur Prasetya sebagai sumber nilai Kode Etik Kepolisian yang mengalir dari falsafah Pancasila," tegasnya. 

BACA JUGA: IPW Desak Jokowi Tinjau Ulang Kawasan Rempang sebagai Proyek Strategis Nasional

Tindakan Polri dalam menjaga ketertiban umum ujar Sugeng, harus dilakukan dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai humanisme dan prinsip-prinsip Tri Brata dan Catur Prasetya, serta tidak menjadi alat kekuasaan yang represif dan intimidatif terhadap rakyat. 

Polri sebagai institusi keamanan negara harus menahan diri untuk tidak terlibat lebih jauh dalam urusan pengosongan lahan dan harus menarik anggotanya dari tindakan yang menyakiti hati rakyat. 

Polri harus senantiasa melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban.

Lebih jauh ujarnya, UUD 1945 memberikan mandat khusus kepada institusi kepolisian sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. 

Sesuai Pasal 4 UU 2 tahun 2002 Tentang Polri, dalam mewujudkan tujuannya Polri wajib menjunjung tinggi HAM.

Sebagai hasil reformasi, melalui Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 Polri dipisahkan dari institusi TNI, reformasi kelembagaan ini dipertegas melalui UU 2 Tahun 2002 tentang Polri. 

Paradigma aparat negara seharusnya menjaga berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta kewajiban perlindungan dan pengayoman, semangat penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.

Untuk memastikan implementasi penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia bagi pimpinan dan anggota Kepolisian Republik Indonesia, pimpinan Polri telah menerbitkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. 

Bahkan dalam Perkap tersebut menegaskan pengakuan institusi Polri atas keberadaan masyarakat adat dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya. 

Budaya Lokal yang dimaksudnya dalam Peraturan Polri ini adalah adat, tradisi, kebiasaan atau tata nilai yang masih kuat dianut oleh masyarakat setempat dalam rangka memelihara keamanan, ketertiban dan ketentraman di lingkungan warga masyarakat setempat. Yang dalam hal ini adalah komunitas masyarakat Melayu yg mendiami 16 kampung tua. 

Untuk itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus menempatkan Polri dalam perspektif ke depan sebagai lembaga keamanan sipil yang humanis, menghormati hak asasi manusia dan berpihak pada rakyat serta bisa menolak tekanan kekuasaan agar Polri tidak dinilai tidak berpihak pada rakyat. 

Kapolri Jenderal Listyo Sigit dapat mencontoh teladan mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso dalam kasus penyelundupan mobil oleh pengusaha Robby Cahyadi (pengusaha keturunan Tionghoa) yang bersikap independen tetap memproses hukum walau saat itu diketahuinya Robby Tjahjadi diduga dibekingi oleh Cendana. 

IPW juga menilai bahwa, konflik Rempang mengkonfirmasi kegagalan negara dalam menjalankan amanat Pasal 18 B ayat (2) UUD Tahun 1945, yang mengatur bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat adat dan seharusnya dimanifestasikan dalam sebuah undang-undang. 

Akan tetapi, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang telah beberapa kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak tahun 2004 sampai dengan saat ini, tidak kunjung disahkan. 

Menilik sejarahnya, rakyat Rempang telah mendiami wilayah itu sejak tahun 1834, jauh sebelum Indonesia memproklamasikan diri sebagai sebuah negara merdeka, karenanya pengakuan dan penghormatan rakyat Rempang sebagai warga negara adalah sebuah keniscayaan. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya