Labuan Bajo - Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) selain memiliki keindahan alamnya yang mempesona juga kekayaan budaya, keragaman suku dan agama yang hidup berdampingan. Potret kerukunan antarumat beragama terjaga dengan kuat karena spirit kekerabatan antar warga NTT yang mengikatnya.
“Kondisi kerukunan antarumat beragama di Nusa Tenggaran Timur (NTT) sampai saat ini syukur dalam keadaan baik. Kerjasama dan toleransi terus dibangun, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama mengambil bagian terus mendengungkan moderasi beragama untuk terciptanya masyarakat yang rukun di NTT,” terang Kakanwil Kemenag Provinsi NTT Reginaldus S.S. Serang.
Reginaldus menjelaskan, kearifan lokal yang dijaga dan dilestarikan mengikatrekatkan kesadaran di antara sesama warga tanpa harus memandang agama dan suku.
“Kearifan lokal muncul sebagai nilai budaya yang terus membuat nuansa terciptanya kekerabatan itu,” ujarnya, Kamis 19 September 2022.
“Salah satu contohnya, di NTT petuah Katong Samua Basodara adalah nilai kearifan lokal yang mendorong agar kehidupan bersama itu diutamakan,” sambungnya.
Reginaldus mengilustrasikan, di Flores Barat atau di Manggarai Barat dan daerah lainnya di NTT, bila ada acara perkawinan atau kematian semua melakukan urun rembug, memberikan bantuan, menyelesaikan, dan dikerjakan bersama.
Dijelaskannya, setiap daerah memiliki bentuk kearifan lokal berbeda, di Kabupaten Mangarai Barat ada istilah Nempung yang artinya bertemu untuk musyawarah. Momentum membahas kepentingan bersama di Sikka dikenal dengan budaya Kulababong.
“Kulababong, nilai-nilai budaya lokal yang menjadi spirit bermusyawarah masyarakat Sikka. Bicara dari hati ke hati untuk memberi solusi dan menyelesaikan masalah. Di Mangarai juga kita kenal budaya Lonto Leok yang membicarakan kemaslahatan bersama dari berbagai suku dan agama. Kepentingan bersama itu ditempatkan di atas perbedaan,” papar Kakanwil.
Menurutnya, tradisi luhur masyarakatnya telah ada dan hidup terlebih dahulu sebelum munculnya agama-agama di NTT. Di Flores misalnya, kebiasaan bermusyawarah digambarkan dalam bentuk rumah adat yang bentuknya melingkar.
Di tengah rumah ada satu tiang penopang, tiang itu disimbolisasi mempersatukan lingkaran rumah dan di dalamnya tinggal kelompok dari berbagai suku dan tidak memandang aliran kepercayaan masing-masing, dapurnya satu.
“Nilai-nilai kearifan masyarakat dahulu tersebut kemudian diinkulturasi dengan munculnya agama-agama besar sehingga nilai positifnya dibawa serta dengan sistem kepercayaan agama-agama besar,” ucapnya.
“Datangnya agama tersebut, kehidupan masyarakatnya sudah bercampur dan memiliki dasar kebersamaan, terbuka, tidak ada pertentangan, dan dibawa pada penghayatan agamanya masing-masing,” kata Reginaldus.
Ia mengutarakan, dalam pembangunan rumah ibadah di NTT karena kekerabatannya kuat, maka kerap ditemukan pembangunan masjid, gereja, pura, dan lainnya dilakukan bersama-sama.
Upaya menjaga kerukunan di NTT, Reginaldus mengatakan, di Kemenag sebagai sumbu utamanya adalah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Kemenag mendorong operasional FKUB ini. “Kita mengerakkan agar FKUB aktif dan rutin mengadakan dialog dan membahas persoalan keagamaan yang sedang hangat diberitakan,” tuturnya.
“Bersama FKUB di Kabupaten/Kota, kita mendorong para Kepala Kankemenag untuk terus melalukan koordinasi cepat tanggap. Kalau ada persoalan kerukunan, harus pro aktif, FKUB harus ada bersama Kemenag berada paling depan. Kalau kemenag hanya satu, tapi kalau bersama FKUB turun kita bisa menyelesaikan bersama,” tandasnya.
Kemenag NTT mendorong pada setiap program di satker harus ada materi moderasi beragama, kerjasama intensif dengan Pokja Moderasi Beragama pusat untuk pelatihan dan pembinaan ASN dan tokoh agama.
“Beberapa Kemenag Kabupaten/Kota sudah melaunching Tahun Toleransi seperti di daratan Sumba, bupati bersama Kepala Kankemenag mengundang tokoh dan umat beragama untuk melaunching Tahun Toleransi,” terangnya.
Dalam menjaga keberlangsungan kerukunan dan toleransi di NTT, kata Reginaldus saat ini tidak mudah. Menurutnya, kondisi kerukunan beragama bukan tanpa tantangan dengan perkembangan dan kemajuan teknologi di mana pengaruhnya sangat massif pada masyarakat dan umat beragama.
“Tentunya itu membuat banyak informasi dan juga berita yang bisa mempengaruhi kerekatan persaudaraan. Misal munculnya berita-berita hoax atau gagasan-gagasan yang justru kalau diikuti terus menerus bisa mempengaruhi kemapanan menerima beragamaan itu, terganggu,”jelasnya.
Gejala merapuhnya ikatan-ikatan kekerabatan itu muncul di kalanan milenal yang terpengaruh teknologi begitu cepat. Keterikatan adat kebiasan tadi seperti kearifan lokal itu pelan-pelan dilepas.
“Tradisi Lonto Leok, Kulababong itu agak berat untuk kelompok milenial yang kurang tertarik. Kalau kelompok milenial butuh energi untuk menggerakannya, tambah lagi informasi bernuansa SARA cepat sekali menyebar terutama melalui internet, media sosial. Itu berat sekali, itu menjadi tantangan yang tidak kecil. Ini sudah ada pada setiap kelompok umur, ini tidak mudah,” tandasnya. (Sumber: Kemenag) []