Jakarta - Sekolah Tinggi Pastoral (STIPAS) Keuskupan Agung Kupang mengadakan Seminar Nasional bertema "Pancasila, Demokrasi, dan Moderasi Beragama", di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sabtu, 27 Mei 2023.
Hadir dalam acara tersebut sebagai narasumber antara lain Romo Franz Magnis Suseno, Florens Maxi Un Bria, Fransiskus Bustan, dan Aloysius Liliweri. Moderator pada acara itu, yakni Nobertus Jegalus.
Kegiatann ini juga dihadiri mahasiswa dan rohaniwan yang dari Amerika Serikat, Australia, dan Meksiko. Acara pun diadakan secara hybrid dan diikuti oleh kurang lebih 150 peserta luring dan 90 peserta daring.
Dalam paparannya, Franz Magnis-Suseno menyatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk.
"Orang Indonesia bangga bahwa ia orang Indonesia dan sekaligus bangga dia adalah Muslim, Katolik, atau Jawa, Bugis, Manggarai. Itulah keberagaman Indonesia," kata Romo Magnis seperti meneruskan keterangan yang diterima, Sabtu, 27 Mei 2023.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan kunci keberhasilan Indonesia tetap bersatu walaupun sudah banyak konflik yang terjadi.
"Mainstream Islam yang mendukung Pancasila dan NKRI, serta komunikasi positif antar agama. Hasilnya adalah NKRI berdasarkan Pancasila," ujarnya.
Dalam menyambut tahun politik pada 2024 mendatang, dia menyatakan bahwa Pancasila tidak boleh ditawar-tawar.
"Pancasila itu pemersatu, maka tidak boleh ditawar lagi. Wakil rakyat bertanggung jawab penuh terhadap rakyat. Keagamaan yang moderat perlu terus kita dorong. Sebagai umat, kita harus terus membangun hubungan positif/saling percaya dengan agama-agama lainnya," tutur Romo Magnis.
Sementara itu, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP Antonius Benny Susetyo memaparkan tentang bagaimana umat Katolik sebenarnya terlibat dalam gerakan persatuan dan kemerdekaan Indonesia.
"Kita (umat Katolik) terlibat juga dalam rumusan Sumpah Pemuda lewat organisasi pemuda. Namun pada perkembangannya, kita tidak lagi terlibat pada gerakan, tetapi pada status quo. Dulu takut dengan kekuatan dan pemegang kekuasaan. Itu sejarah dan bisa dilihat dalam riset," ucap Benny.
Selain itu, dia juga menyoroti tren masyarakat khususnya umat Katolik saat ini.
"Budaya copy paste. Mudah saja menyebarkan berita tanpa didalami dulu. Manipulasi media sosial menjadi alat provokasi agama. Umat menjadi tidak cerdas dan masuk dalam perangkap; malah ikut-ikut provokasi. Agama padahal sakral nilainya: kita menghina agama lain, kita menghina Tuhan juga," katanya.
"Formalisme agama di Indonesia ini luar biasa. Indonesia seharusnya masyarakatnya religius, tetapi korupsi kekerasan terus terjadi. Ini sebuah ironi: banyak rumah ibadah, tetapi kualitas masyarakatnya tidak berimbang," sambungnya.
Salah satu pendiri Setara Institute ini juga menyatakan bahwa terjadi darurat Pancasila. Sebab, lanjutnya, sebanyak 83 persen pelajar menyatakan setuju jika Pancasila diganti.
"Mengapa itu terjadi? Berarti ada kegagalan dalam pendidikan kewarganegaraan dan agama. Seharusnya ini juga menjadi pacu bagi Kemendikbud untuk meningkatkan kualitas pendidikan Pancasila dan agama," pungkasnya.
"Padahal Pancasila adalah kesepakatan dan pemersatu kita semua. Apalagi sekarang, akan tahun politik 2024. Isu-isu dikeluarkan yang dapat menghancurkan persatuan dan kesatuan. Pancasila dibutuhkan," tuturnya menambahkan.
Benny pun menutup paparannya dengan sebuah seruan.
"Umat harus hati-hati melihat politik. Jangan terkecoh. Jangan terjebak dengan karisma semata tanpa melihat track record-nya. Jangan memilih yang mengancam Pancasila, karena kalau itu terjadi, kaum minoritas-lah yang terdampak. Anda jangan mau dijadikan korban pertarungan politik," ujar Benny.
Narasumber lainnya, Fransiskus Bustan pun menyatakan bahwa Pancasila adalah identitas Indonesia.
"Kita ragam, banyak jenisnya. Perbedaan seharusnya sebuah kenyataan sederhana yang tidak perlu diperdebatkan. Dalam keagamaan kita, kita beraga, hidup dalam Pancasila. Itulah Indonesia," imbuhnya.
"Pancasila itu identity kita. Itu menjadi pembeda antara bangsa kita dengan bangsa lainnya. Pancasila adalah simpul perajut dan pemersatu bangsa Indonesia. Pancasila menyatukan kita semua," serunya.
Selanjutnya, Aloysius Liliweri mengajak kepada peserta untuk juga memilih calon dalam pemilihan daerah masing-masing untuk tetap bersandar pada nilai Pancasila.
"Pilihlah juga anggota DPR, DPRD, Bupati, Walikota, Gubernur, yang memang memperhatikan kita semua, yang memiliki dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Itu juga harus dipikirkan dan diperhatikan," terang Aloysius.[]