Jakarta - Terorisme selalu meninggalkan bekas luka mendalam pasca kejadian bagi masyarakat yang terkena dampak karena selalu menimbulkan akibat serius baik itu secara penderitaan fisik, psikologis, psikososial, ataupun harta benda yang diakibatkan oleh aksi kekerasan tersebut.
Tidak hanya itu, aksi terorisme juga kerap menimbulkan situasi kondisi teror yang mencekam seluruh lapisan masyarakat.
Dampaknya yang meluas dan mendalam tersebut menyebabkan, tindak terorisme tidak lagi dianggap masalah yang ringan (soft issues) tetapi sudah berubah menjadi masalah yang strategis (high politic) dan sebagai bagian dari kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan menjadi musuh umat manusia (hostes humanis generis).
Terkait dengan terorisme, sebenarnya sudah ada regulasi yang mengatur hal ini. Namun dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya berjalan seperti yang diharapkan masyarakat korban terorisme. Kendala lainnya dalam upaya pemulihan tindak terorisme adalah, kurangnya penanganan pasca aksi terorisme menggunakan perspektif gender-based approach.
“Sampai saat ini, apa yang dijanjikan pemerintah seperti yang tertuang dalam peraturan, belum sepenuhnya terlaksana. Padahal kita benar-benar butuh perhatian itu,” ujar Wakil Ketua Forum Komunikasi Aktivis Akhlakulkarimah Indonesia (FKAAI) Tony Soemarno dalam Diskusi Media yang digelar Medialink bersama Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) di Jakarta pada 26 Juli 2023.
Menurut Tony yang juga korban tragedi Bom JW Marriot, sampai saat ini perhatian negara terhadap korban terorisme masih terkesan kurang serius dan bernada basa basi. “Program asuransi BPJS yang dijanjikan misalnya, hingga kini belum jelas. Kami pun tidak dapat mengakses sampai di mana perkembangan asuransi yang akan dibayarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT),” sambung Tony.
Senada dengan Tony Soemarno, pakar terorisme yang juga staf pengajar Universitas Indonesia Dr Zora A. Sukabdi melihat masalah terorisme ini merupakan masalah global yang penanganannya tidak sederhana. Janji pemerintah terhadap korban terorisme misalnya, juga tidak segampang yang dirumuskan, terlebih jaminan pemerintah terhadap korban pasca kejadian.
Zora mencontohkan, untuk menyikapi rencana kepulangan para WNI eks TKI yang sebelumnya terpapar radikalisme di sejumlah negara terdapat perbedaan kebijakan di antara lembaga pemerintahan.
“Untuk TKI yang akan diberangkatkan ke luar negeri, perlu diberikan pembekalan, pemeriksaan fisik dan psikis oleh psikiater dan psikolog klinis demikian juga bagi TKI yang akan kembali ke tanah air terutama mereka maupun anak-anak yang terafiliasi dengan terorisme juga penting untuk diberikan pendalaman ideologi Pancasila sebelum diperbolehkan kembali ke daerah asal” ujarnya.
BACA JUGA: 4 WNA Uzbekistan Jaringan Terorisme dari Suriah Ditangkap Densus 88
Menyikapi soal keseriusan negara dalam melindungi korban terorisme, peneliti Medialink, Leli Qomarulaeli memandang bahwa korban terorisme berhak mengetahui kebijakan yang diambil pemerintah terkait upaya perlindungan korban.
“Ini merupakan hak mereka yang dilindungi perundang-undangan. Selain itu, keterbukaan pemerintah dalam memberikan akses informasi kepada korban justru akan menguatkan komitmen pemerintah dalam upaya itu” kata Leli Qomarulaeli.
Di sinilah pentingnya negara hadir dan melindungi korban-korban tindak terorisme, baik korban terdampak langsung maupun tidak langsung. Negara hadir tidak saja dari penguatan dasar hukumnya semata, namun juga memberikan perlindungan non litigasi lainnya sehingga masyarakat menjadi aman lanjutnya.
Untuk mendorong keseriusan pemerintah dalam merealisasikan janji-janji mereka kepada korban terorisme, peran media massa pun sangat diperlukan. Selama ini pemberitaan media terkait terorisme masih seputar jumlah korban dan belum berperspektif korban.
“Dari hasil media monitoring yang dilakukan oleh Medialink, ada kecenderungan pemberitaan oleh media jika ada kaitan dengan kekerasan, ada terorisme, ada persekusi, dan hanya memberitakan tentang angka korban dan dalam kasus radikalisme pun ikut berperspektif pelaku, padahal kita ingin agar korban ini tidak hanya diposisikan sebagai objek tapi juga sebagai subyek,” jelas Direktur Eksekutif Medialini Ahmad Faisol.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Jakarta, Erik Somba menghimbau agar media yang tergabung dalam asosiasi ikut terlibat aktif serta mengulas isu terorisme dan isu-isu strategis lainnya tidak hanya sekedar menitikberatkan pada statistik.
“Soal terorisme, kami menghimbau semua teman-teman asosiasi untuk tetap menjadikan isu ini sebagai sebuah isu karena kita gak melihat isu itu cuma sebagai statistik” jelas Erik Somba.
Pernyataan Erik Somba diperkuat oleh keterangan Direktur Eksekutif Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Adi Prasetya. Menurutnya AMSI sangat concern terhadap soal-soal pemberitaan tata laksana pengelolaan media.
“Kita terus berupaya untuk membangun media yang menyertakan pemberitaan terkait isu-isu strategis yang tidak hanya mengejar traffic tapi menomorduakan perspektif. Keduanya harus berjalan beriringan dan seirama,” kata Adi Prasetya dalam acara tersebut. []