Jakarta - Sempat ramai diperbincangkan karena terpecah menjadi dua kubu, kini Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) berhasil disatukan di Acara Ibadah Syukur yang digelar pada Kamis, 6 Juni 2024.
Diketahui, kepengurusan yang dipimpin oleh Ketua Umum PP GMKI Jefri Gultom dan Sekretaris Umum Artinus Hulu sempat mengalami perpecahan pada tahun 2023 lalu.
Diwawancara Opsi, Jefri Gultom menyebut bahwa jiwa yang besar dan kolaborasi adalah kunci untuk memimpin GMKI menjadi lebih baik.
"Untuk GMKI yang lebih baik dan utuh, perlu hati dan jiwa yang besar serta kolaborasi semua pihak. Sebagai ketua umum, semangat itu yang saya jaga dan harus saya tempuh," ucap Jefri di Jakarta, Jumat, 7 Juni 2024.
Selama memimpin GMKI, sambung dia, pihaknya telah melewati berbagai dinamika dan proses menuju kematangan dalam kepemimpinan.
Oleh sebab itu, Jefri mengajak semua pihak khususnya kepengurusan saat ini untuk mewujudkan hal-hal yang baik untuk organisasi maupun untuk para kader.
"Mari bersama mewujudnyatakan hal-hal baik untuk masa depan organisasi dan juga pengembangan SDM serta distribusi kader," ujarnya.
Lebih lanjut, Jefri mengungkapkan, pihaknya akan menambah aset di cabang 3 sekretariat permanen.
"Dan bantuan pendidikan bagi kader GMKI dengan total 650 juta bagi S1, S2, dan S3," tuturnya.
Di akhir, ia berharap ke depan konsolidasi GMKI dapat semakin solid.
"Konsolidasi organisasi di cabang lebih solid untuk membuat banyak legacy baik dalam kepengurusan dalam bentuk program pendidikan kader serta pengembangan potensi kader di berbagai bidang," ucap Jefri Gultom.
Usai dilakukan penyesuaian kepengurusan, diharapkan Motto GMKI yang berbunyi `Ut Omnes Unum Sint` tersampaikan dengan baik kepada semua pengurus dan anggota.
Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI), di Acara Ibadah Syukur yang digelar pada Kamis, 6 Juni 2024.(Foto:Istimewa)
Isi pidato Jefri Gultom berjudul `Arti Memimpin dan Melayani`:
Hidup memang penuh kejutan. Yang dimulai dengan gegap gempita, tidak selamanya berakhir bahagia. Yang dimulai dengan janji yang membahana tidak selamanya berakhir sesuai dengan gagasan awal. Namun, tantangan dan hambatan apa pun tidak boleh jadi batasan untuk tidak memulai. Sebab, setiap inisiatif dan keputusan selalu menemukan risikonya.
Saya selalu meyakini, setiap pengorbanan tak ada yang sia-sia. Tak ada yang salah, tak ada yang mutlak buruk, tak selamanya berjalan mulus. Seperti halnya dalam berorganisasi, tak ada jalan lurus, apalagi mulus. Di depan sana ada banyak belokan dan tikungan tajam yang menuntut kehati-hatian dan sikap waspada. Itulah refleksi selama ber-GMKI, terutama empat tahun dipercayakan teman-teman untuk memimpin dan melayani rumah biru.
Saya tidak menafi bahwa, memimpin dan melayani organisasi ini otomatis tidak bebas dari kepentingan dan campur tangan multipihak. Justru salah satu tuntutan pengorbanan adalah adanya beragam kepentingan dan campur tangan. Baik yang muncul secara internal maupun datang secara eksternal.
Ini lumrah dalam organisasi. Karena kematangan berorganisasi maupun karakter akan teruji dan terus bertumbuh. Dengan dinamika seperti ini, dalam memimpin dan melayani rumah biru, kadang ada benarnya apa yang dikatakan oleh seorang Betrand Russel, bahwa demokrasi adalah proses di mana orang-orang memilih seseorang yang kelak akan mereka salahkan. Dalam konteks ini, arti tentang memimpin dan melayani menemukan maknanya.
Kita semua yang berada dalam ruangan ini, khusus yang dipercayakan sebagai ketua di nasional dan juga di cabang adalah bagian dari proses demokrasi yang siap untuk dikritik, disalahkan, dan jadi sasaran dengan berbagai macam tuduhan. Sejak terpilih diperiode pertama, dan ketika dilanjutkan ke periode kedua, ada banyak kritik dan tuduhan soal ambisi.
Bagi saya, itu biasa. Fakta yang tak pernah dipikirkan oleh kaum yang seperti itu adalah bahwa para pemimpin di mana pun dan dalam lingkup apa pun pasti punya ambisi. Tentu dengan beragam modusnya masing-masing. Tidak ada yang mutlak negatif soal ambisi, juga tidak mutlak baik.
Intinya setiap pribadi yang punya ambisi harus tahu dan sadar akan batasan dirinya, prinsip nilai organisasi, dan regenerasi. Tiga aspek inilah kata kunci untuk mengevaluasi setiap jejak langkah kepemimpinan seseorang. Kalau saja saya mengabaikan tiga aspek di atas maka, kesempatan istimewa dan baik hari ini mustahil terjadi.
Masih soal ambisi. Tagline saya sejak terpilih adalah kolaborasi. Ada beberapa terobosan dan inisiatif penting dan baik bersama kolega pengurus pusat diperiode pertama yang menjadi simpul akselerasi organisasi ini terutama dalam hal pengembangan dan peningkatan kualitas SDM dan aset organisasi.
Di tengah perjalanan, kami waktu itu menginisiasi kerja sama dengan beberapa lembaga internasional di luar GMKI termasuk 8 Duta Besar untuk
kepentingan peningkatan kualitas SDM organisasi ini. Saya punya fokus untuk menjangkau soal ini, dan itu menjadi pertimbangan penting bagi saya dan tim kerja untuk melanjutkan ke periode berikutnya.
Kekhawatiran kami waktu itu, apa yang sudah digagas, apabila kepemimpinan berganti, tidak menjamin untuk dilanjutkan, apalagi yang berbeda dengan
kita. Dalam pengalaman organisasi ini, fakta menunjukkan demikian. Program yang bagus sekalipun, bila ada perbedaan kepemimpinan sudah pasti akan ditinggalkan.
Di sinilah saya merefleksikan arti penting memimpin dan melayani. Dua kata yang saling mensyarati. Memimpin identik dengan aspek struktural. Melayani melekat dengan aspek kinerja. Memimpin identik dengan atasan dan bawahan. Melayani melekat dengan rekan kerja.
Di era global connection seperti sekarang ini, dan berdasarkan pengalaman ber-GMKI baik memimpin maupun melayani selama 4 tahun ini, saya bersama teman-teman menggaungkan semangat kolaborasi. Semangat kolaborasi melekat dalam prinsip melayani.
Sementara kerja sama identik dalam prinsip memimpin. Tidak ada yang salah dengan kedua bentuk dan prinsip ini. Dua-duanya bisa diharmonisasikan, sesuai konteks waktu, sebagai wujud adaptasi.
Konteks waktu ini menghendaki, setiap generasi ada zamannya dan setiap zaman ada generasinya. Dalam perjalanan waktu, penyakit yang terus menggerogoti organisasi ini adalah, terjebak pada sejarah kebesaran masa lalu. Bukan berarti sejarah masa lalu tidak penting.
Tapi, itu adalah pedoman dan ide penuntun yang tertanam lewat nilai, prinsip serta visi misi yang terus hidup dan menjadi inspirasi di setiap zaman. Catatannya, setiap generasi punya konteks zaman dan tantangan masing-masing. Itulah prinsip kolaborasi.
Seperti dalam permainan sepak bola, semua pemain bergerak sesuai posisinya tanpa ada yang memerintah meskipun ada kapten tim. Membimbing tanpa perlu menekan. Mengarahkan tanpa perlu mengacak-acak. Mengintervensi tanpa perlu provokasi. Yang besar dimasa lalu kita jadikan penuntun, hari ini kita fokus, dan masa depan kita proyeksikan bersama.
Untuk menghadapi semua itu, semua pihak mesti bijaksana. Seorang teolog kawakan, Paul Budi Kleden dalam sebuah kotbahnya, berkisah begini, "Orang yang bijaksana adalah orang yang memiliki idealisme dan serentak hidup dalam realitas. Orang yang bijaksana adalah orang yang idealis sekaligus realistis. Kita tidak boleh menjadi budak idealisme dan hamba realisme.
Orang yang diperbudak idealisme akan menampilkan diri sebagai seorang moralis yang kejam dan pekerjaannya hanya mencatat daftar kesalahan yang dibuat oleh orang lain. Sebaliknya, orang yang diperhamba realisme akan menunjukkan diri sebagai seorang yang tidak punya arah dan orientasi hidup yang jelas".
GMKI dalam tantangan zaman hari ini harus fleksibel menghadapi pengaruh eksternal serentak bijaksana mengelola dinamika secara internal. Pergeseran cara kerja organisasi modern dari prospek kerja sama ke semangat kolaborasi.
Kerja sama masih terikat oleh otoritas jabatan dan struktural. Sementara kolaborasi terikat pada posisi dan sistem berorganisasi. Semua pihak dalam organisasi ini harus sadar posisi. Anggota aktif harus berbuat apa, alumni harus melakukan apa dan pengurus harus bagaimana dalam bersikap. Itulah bijaksana.
Terima kasih untuk hari ini. Kepada rekan-rekan kerja yang sudah bijaksana dan rela berkorban untuk rumah biru yang lebih baik. Mohon maaf untuk semua yang kurang berkenan selama ini. Kita semua punya niat baik untuk organisasi ini.
Namun, ada persimpangan jalan yang membuat kita saling berbeda untuk waktu yang cukup lama dengan masa kerja 2 tahun. Dan momen hari inilah, kita harus mengutamakan bijaksana, membuang egoisme kelompok, dan rela mengorbankan energi di sisa waktu ini untuk rumah biru yang lebih baik.
Perbedaan harus dikolaborasikan. Biarkan yang sudah dimulai harus diselesaikan bersama. Gagasan yang sudah diinisiasi harus jadi aksi nyata. Visi dan misi organisasi harus jadi ide penuntun yang terus bersinar tak lekang oleh waktu.
Seperti, penggalan puisi Asrul Sani, Surat dari Ibu.
Kembali pulang, anakku sayang
kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
"Tentang cinta dan hidupmu pagi hari"
Terima kasih untuk semua keluarga besar PGI, Rumah Biru dan semua pihak yang berkehendak baik dalam kesempatan istimewa ini.[]