*Oleh: Afni Sari Silaban, Praktisi Keuangan
Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara dengan konsentrasi ekonomi tertinggi di dunia setelah Rusia dan Thailand. Riset oleh Credit Suisse Research Institute (2019) menunjukkan bahwa 1 persen orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 44,6 persen kekayaan nasional, dan 10 persen orang terkaya berkontribusi pada 74,1 persen kekayaan nasional.
Angka yang sangat fantastis untuk negara yang oleh pemerintah-nya sering diklaim telah mencapai pertumbuhan ekonomi yang baik. Seperti yang disampaikan oleh Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 mencapai 5,05 persen di tengah tantangan global.
Benarkah pertumbuhan dan ketimpangan ekonomi merupakan sesuatu yang sama sekali berbeda dan tidak berhubungan?
Tingginya angka disparitas ekonomi menjadi bukti nyata bahwa perekonomian negeri ini dikendalikan oleh sebagian orang terkaya (oligarki). Melegalkan oligarki berarti pro-kapitalisme. Padahal rakyat Indonesia dituntut menjadi nasionalis dan anti-kolonialisme tetapi perekonomian yang dijalankan masih pro-kapitalisme.
Perekonomian negara ini harus dikembalikan ke akarnya, yaitu sila keempat dalam Pancasila yang menjadi dasar demokrasi ekonomi di Indonesia, ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan berarti memindahkan kedaulatan dari tangan oligarki (para pemilik modal) ke tangan seluruh rakyat. Dengan kata lain, rakyatlah yang menjadi subjek perekonomian.
"Keadaan dan susunan ekonomilah yang menetapkan keadaan manusia tentang budi, akal, agama, dan lain-lainnya", begitu kata Soekarno dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi.
Baginya, kita tidak bisa menciptakan sebuah masyarakat yang adil dan makmur hanya dengan demokrasi parlementer; kita juga harus menciptakan demokrasi ekonomi; tidak hanya persamaan di bidang politik tetapi juga persamaan di bidang ekonomi.
Tentang prinsip ekonomi ini, sudah tertuang jelas dalam Pasal 33 UUD 1945 beserta Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 yang sudah dihapus, bahwa yang menjadi dasar demokrasi ekonomi adalah produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota.
Penerapan demokrasi ekonomi bisa dimulai melalui pembatasan kepemilikan tanah, sehingga tidak ada pihak yang memiliki terlalu banyak dan tidak ada yang tidak memiliki sama sekali (Pasal 7 UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960).
Dengan begitu, semua hak atas tanah akan mempunyai fungsi sosial, yaitu untuk menciptakan ruang produksi masyarakat banyak demi terciptanya kesejahteraan dan keadilan sosial. Selanjutnya, negara berperan mendorong lahir dan besarnya koperasi di Indonesia.
Sebagaimana yang disampaikan Mohammad Hatta selaku Bapak Koperasi, bahwa tujuan koperasi adalah menyiapkan keperluan hidup bersama dan tiap-tiap anggotanya (manajemen, pekerja, ataupun pelanggan) sama-sama aktif mengawal jalannya usaha bersama tersebut.
Variasi bentuk usaha koperasi juga perlu dihidupkan kembali sehingga koperasi tidak melulu soal simpan pinjam, dan masyarakat tidak lagi terkungkung dalam paham "koperasi" si pemberi pinjaman dengan bunga tinggi.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai bentuk mandat rakyat untuk mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hidup orang banyak, tata kelolanya perlu ditinjau kembali.
BUMN harus kembali menjadi perusahaan rakyat yang dikelola dengan demokratis oleh negara dengan melakukan amandemen seluruh undang-undang yang mendukung privatisasi BUMN; memisahkan BUMN dari campur tangan langsung birokrasi pemerintahan dan meningkatkan peranan karyawan, konsumen, dan masyarakat sebagai pemilik modal BUMN; serta membentuk lembaga otonom untuk mengembangkan kinerja manajemen BUMN (Baswir dalam Jurnal Jentera, 2003).
Dengan demikian, BUMN akan kembali berkontribusi pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Terakhir dan yang tak kalah penting, Pasal 33 UUD 1945 perlu disosialisasikan melalui bahan ajar di fakultas ekonomi seluruh Indonesia, bukan malah doktrinasi teori-teori kapitalisme.
Seharusnya, pemikiran tentang pertumbuhan ekonomi sejalan dengan upaya pengentasan kesenjangan. Pertumbuhan harus dirasakan oleh semua sehingga tercipta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tidak ada yang perlu ditunggu, saatnya putar balik ke ekonomi kerakyatan, ekonomi yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Tentu bukan perkara mudah, membahasnya saja butuh penelaahan panjang apalagi menerapkannya. Meskipun demikian, demokrasi ekonomi bukan keniscayaan.
Jika kerakyatan dihidupkan, maka tidak ada lagi si kaya semakin kaya, dan si miskin semakin binasa. Pertumbuhan ekonomi dan pemberantasan kesenjangan akan berjalan beriringan. Semoga, dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa.[] (Sabtu, 16 Maret 2024)